Jumat 06 Aug 2021 15:11 WIB

Menggagas Cetak Biru Guru Indonesia

Negara masih bisa melakukan pengadaan barang, tapi mengangkat guru honorer gak bisa.

Sejumlah Guru honorer melakukan aksi jalan kaki menuju Istana Negara untuk bertemu Presiden Joko Widodo di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Senin (26/4/2021). Aksi jalan kaki tersebut menuntut pembayaran gaji guru honorer yang belum dibayarkan Dinas Pendidikan Kabupaten Bekasi dari Bulan Januari 2021.
Foto: Antara/Fakhri Hermansyah
Sejumlah Guru honorer melakukan aksi jalan kaki menuju Istana Negara untuk bertemu Presiden Joko Widodo di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Senin (26/4/2021). Aksi jalan kaki tersebut menuntut pembayaran gaji guru honorer yang belum dibayarkan Dinas Pendidikan Kabupaten Bekasi dari Bulan Januari 2021.

Oleh : Tamsil Linrung, Ketua Pansus Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer DPD RI.

REPUBLIKA.CO.ID, Sejak menerima audiensi organisasi guru honorer, DPD RI serius memperjuangkan aspirasi tenaga pendidik honorer. Komitmen ini dibuktikan dengan dibentuknya Pansus Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer sebagai usul inisiatif Komite I dan Komite III DPD, yang disahkan melalui Sidang Paripurna ke-11 DPD RI, 6 Mei 2021.

Persoalan guru dan tenaga kependidikan honorer memang harus dituntaskan agar tidak menjadi polemik berkepanjangan. Selama ini, kebijakan pemerintah bukannya memberi solusi tetapi justru menjadi sumber kontroversi. Termasuk kebijakan terakhir bernama Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Dasar hukum PPPK adalah UU No 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Kehadiran UU ini membuat istilah guru dan tenaga pendidik honorer tidak lagi dikenal secara hukum. Yang ada guru ASN dan guru yayasan.

Guru ASN sendiri terdiri atas PNS dan PPPK. Gol yang didambakan para guru honorer sekolah negeri tentu saja PNS.  Namun, yang ditawarkan adalah PPPK, sebuah ikatan perjanjian kerja yang secara substansi adalah tenaga kontrak juga.

Dulu, di masa Pemerintahan SBY, guru honorer punya jalan pasti. Kepala sekolah atau pemerintah daerah merekrut guru honorer dalam porsi yang wajar, dan negara mengapresiasi dengan promosi menjadi CPNS lalu PNS, secara berkala. Namun program ini berganti kebijakan di rezim Presiden Joko Widodo menyusul berlakunya UU ASN.

Masalahnya, pemberlakuan UU ASN tidak diiringi rancangan induk atau grand design tentang guru. Akibatnya, terjadi ketimpangan antara realisasi dan kebutuhan guru. Kondisi ini tak bisa dihindari karena di satu sisi suplai guru PNS dari pemerintah begitu lama, sementara di sisi lain tenaga pendidik berkurang setiap saat oleh adanya guru-guru yang pensiun, mengundurkan diri, dan musabab lain.

Alhasil, pihak sekolah berselimut dilema. Guna menjaga efektivitas proses belajar mengajar, kepala sekolah seringkali mengambil jalan pintas. Mereka merekrut guru honorer dan menggajinya melalui anggaran Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Situasi itu menjadi bom waktu yang dapat meledak kapan saja. Termasuk saat PPPK ditawarkan pemerintah. Nyatanya, kebijakan ini menjadi sumber kontroversi. Sebagian guru honorer bahkan menolaknya dengan berbagai argumentasi.

*

DPD RI berkomitmen memperjuangkan aspirasi para guru, apapun status mereka. Melalui Pansus Guru dan Tenaga Pendidik Honorer, DPD mengetuk komitmen negara agar lebih bertanggungjawab dalam melindungi, menyejahterakan, dan menjamin masa depan kehidupan guru.

Semua agenda pembenahan tentu berangkat dari data. Maka, yang utama dilakukan adalah membuat.....

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement