Jumat 06 Aug 2021 10:53 WIB

'Masyarakat Harus Didorong Peroleh Informasi Keragaman'

Untuk sampai pada sikap terbuka, masyarakat harus mengembangkan pola pikir terbuka.

Toleransi (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Toleransi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Toleransi bukanlah sekedar istilah dan penegasan akademik semata, tetapi praktik keberagamaan dalam menyikap keragaman. Toleransi membutuhkan aksi nyata dalam setiap tindakan. Karena itulah, mengarusutamakan prinsip, wawasan, dan praktik toleransi di tengah situasi pandemik seperti sekarang ini merupakan keniscayaan.

Peneliti senior di bidang toleransi dan keberagaman dari The Wahid Foundation, Alamsyah M Djafar, mengatakan bahwa untuk bisa mengarusutamakan toleransi di Indonesia tentunya masyarakat perlu didorong atau perlu mendapatkan informasi tentang keragaman agama dan keyakinan yang ada di Indonesia. Ia mencontohkan seperti kejadian Menteri Agama (Menag) yang mengucapkan selamat kepada aliran Baha’i.

"Misalnya setelah kejadian Menag itu muncul pernyataan bahwa Baha’i sesat, atau agama baru. Itu sesungguhnya menunjukkan bahwa masyarakat belum mengerti bahwa sebetulnya agama Baha’i itu sudah lama masuk ke Indonesia," ujar Alamsyah di Jakarta, Rabu (4/8).

Karenanya Alamsyah menyebut agar masyarakat makin sadar dan semakin tahu, maka diperlukan usaha, di mana bisa melalui pendidikan mengenai keragaman agama yang ada di Indonesia. Bahwa ada banyak agama di luar enam agama yang sudah diakui. Apalagi menurutnya, di masa pandemi Covid-19 seperti sekarang ini tentunya masyarakat mungkin punya lebih banyak waktu menggunakan internet, baik melalui di media sosial dan juga media massa. Di mana hal itu informasinya pasti akan semakin beragam.

"Jadi pertama adalah menginformasikan kepada masyarakat. Kedua adalah memberikan pendidikan kepada anak-anak tentang keragaman agama dan keyakinan yang akan terus tumbuh di Indonesia karena globalisasi dan lain-lain," jelas pria yang juga menjabat sebagai Program Manager di Wahid Foundation ini.

Oleh karena itu, pria yang fokus pada isu kebebasan beragama ini menyampaikan bahwa untuk sampai pada sikap yang terbuka, maka masyarakat harus mengembangkan pola pikir yang terbuka sekaligus kritis. Sehingga ketika menemukan informasi yang baru tidak mudah langsung berburuk sangka dan lain-lain, tetapi bisa bersikap kritis.

"Karena intoleransi itu dalam banyak studi sebenarnya masalah utamanya adalah soal perasaan terancam. Jadi orang-orang yang merasa terancam, bisa jadi kelompoknya, agamanya ataupun kehidupannya terhadap kelompok lain yang tidak dia sukai," kata peraih gelar pascasarjana bidang Kebijakan Publik dari School of Government and Public Policy (SGPP) Indonesia ini.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement