Kamis 05 Aug 2021 22:15 WIB

Perludem: Penyederhanaan Surat Suara Gagasan Progresif

Kompleksitas pemilu berdampak pada pada gangguan terhadap kemurnian suara pemilih.

Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini mengatakan penyederhanaan surat suara pemilu merupakan gagasan yang progresif dan konstruktif. Kompleksitas pemilihan umum (pemilu) berdampak pada pada gangguan terhadap kemurnian suara pemilih. (Foto: Titi Anggraini)
Foto: Republika/Mimi Kartika
Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini mengatakan penyederhanaan surat suara pemilu merupakan gagasan yang progresif dan konstruktif. Kompleksitas pemilihan umum (pemilu) berdampak pada pada gangguan terhadap kemurnian suara pemilih. (Foto: Titi Anggraini)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini mengatakan penyederhanaan surat suara pemilu merupakan gagasan yang progresif dan konstruktif. "Ini merupakan salah satu jawaban atas kompleksitas dan kerumitan pemilu kita," kata Titi ketika dihubungi dari Jakarta, Kamis (5/8).

Kompleksitas pemilihan umum (pemilu) berdampak pada pada gangguan terhadap kemurnian suara pemilih. Mengacu pada data Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), tercatat sebanyak 17,5 juta suara yang dinyatakan tidak sah di pemilu DPR pada tahun 2019. 

Baca Juga

Angka tersebut, kata Titi, telah melampaui standar toleransi suara tidak sah dalam praktik global. Adapun, standar suara tidak sah berada pada kisaran 2-4 persen.

"Sedangkan pemilu DPR 2019 bahkan mencapai 11,12 persen (suara tidak sah, red)," tutur mantan direktur eksekutif Perludem ini.

Karena itu, ia menyatakan masyarakat membutuhkan penyederhanaan surat suara untuk mengatasi kompleksitas pemilu Indonesia. Khususnya, untuk memudahkan pemilih dalam memberikan suara dan memudahkan petugas dalam memahami intensi pemilih di surat suara.

Selain kerumitan surat suara, Titi Anggraini mengatakan bahwa terdapat faktor-faktor lain yang juga memengaruhi mudah atau tidaknya suara diberikan. Faktor-faktor tersebut adalah seberapa mudahnya pemilih mencapai tempat pemungutan suara, mutakhir tidaknya daftar pemilih, dan sejauh mana pemilih yakin bahwa suara yang diberikannya bersifat rahasia.

"Penyederhanaan surat suara hanya salah satu dari upaya untuk mengurai kerumitan pemilu kita," ucap Titi melanjutkan.

Di sisi lain, kerumitan pemilu juga bisa membuat beban kerja petugas pemilihan menjadi berlebihan. Sebagaimana yang terjadi pada Pemilu 2019, petugas pemilihan mengalami kelelahan dan bahkan menimbulkan lebih dari 500 korban jiwa.

Berangkat dari pengalaman tersebut, penyederhanaan surat suara diharapkan bisa membuat kerja-kerja petugas pemilihan di lapangan menjadi lebih proporsional dan logis. Akan tetapi, sambung Titi, pemilu tidak akan bermakna bagi rakyat apabila pada akhirnya suara mereka tidak membuat perbedaan dalam cara suatu pemerintahan berjalan. 

Guna memenuhi hal tersebut, penting bagi pemilih untuk memahami calon dalam pemilu atau partai yang mencalonkan diri. Dengan demikian, rakyat akan merasa bahwa suara yang mereka berikan memiliki pengaruh pada jalannya suatu pemerintahan.

Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah melakukan simulasi pada enam model surat suara yang telah didesain ulang dalam rangka melakukan penyederhanaan. Upaya tersebut disambut positif oleh beberapa kalangan, meski masih terdapat perdebatan akibat perubahan yang dianggap terlalu fundamental.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement