Selasa 03 Aug 2021 20:18 WIB

Ketua Majelis Hakim Perkara Ahok Singgung Tren Sunat Hukuman

Dwiarso menjadi salah satu dari 24 hakim yang mengikuti seleksi calon hakim agung.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Mas Alamil Huda
Ketua Komisi Yudisial Mukti Fajar Nur Dewata (kanan) bersama Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata (tengah) dan Jubir Bidang Pencegahan KPK Ipi Maryati (kiri) memberikan keterangan pers usai melakukan audiensi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (4/3/2021). Dalam pertemuan tersebut Komisi Yudisial meminta dukungan KPK agar ikut memantau proses rekrutmen calon hakim agung seperti menelisik LHKPN dan penelusuran rekam jejak agar mendapatkan hakim agung dengan kapasitas dan integritas yang mumpuni, demi peradilan yang bersih.
Foto: ANTARA/Indrianto Eko Suwarso
Ketua Komisi Yudisial Mukti Fajar Nur Dewata (kanan) bersama Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata (tengah) dan Jubir Bidang Pencegahan KPK Ipi Maryati (kiri) memberikan keterangan pers usai melakukan audiensi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (4/3/2021). Dalam pertemuan tersebut Komisi Yudisial meminta dukungan KPK agar ikut memantau proses rekrutmen calon hakim agung seperti menelisik LHKPN dan penelusuran rekam jejak agar mendapatkan hakim agung dengan kapasitas dan integritas yang mumpuni, demi peradilan yang bersih.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hakim ketua kasus penistaan agama yang melibatkan mantan gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Dwiarso Budi Santiarto, menjadi salah satu dari 24 hakim yang mengikuti seleksi calon hakim agung yang diselenggarakan Komisi Yudisial (KY). Ia menjalani sesi wawancara terbuka pada Selasa (3/8) hari ini yang disiarkan secara daring melalui saluran Youtube KY. 

Dalam sesi wawancara terbuka, Ketua KY, Mukti Fajar Nur Dewata, menanyakan kepada Budi terkait apa yang menjadi dasar seorang hakim menaikkan atau menurunkan hukuman dalam sebuah putusan. Diketahui, saat ini tren sunat hukuman menjadi hal yang paling disoroti masyarakat. Terbaru Pengadilan Tinggi Jakarta menyunat hukuman Jaksa Pinangki Sirna Malasari serta Djoko Tjandra. 

Menjawab pertanyaan Mukti, Budi menyatakan, dalam sistem peradilan terdapat judex juris dan judex facti. Di mana judex facti itu tingkatan pertama dan tingkat banding. Menurutnya, pada tingkatan tersebut, hakim lebih bebas menaikkan atau menurunkan pemidanaan karena masalah pemidanaan masuk ke dalam ranahnya judex facti

"Kemudian kalau ke judex juris, sebelum tahun 2008, para hakim agung sangat patuh terhadap asas bahwa berat-ringannya hukuman tidak tunduk pada putusan kasasi. Jadi, putusan kasasi hanya menguatkan, kemudian kalau mengabulkan ya membebaskan, " tambahnya. 

Namun, sambung Budi, perkembangannya sekarang ada penurunan pemidanaan di tingkat kasasi atau judex juris. Menurutnya, hal itu tidak seluruhnya bisa dipersalahkan karena masalah penurunan pemidanaan juga tergantung pada penerapan hukum.

"Kalau salah menerapkan pasal atau pasal yang terkena berbeda apa yang diputus oleh judex juris dan judex facti, tentunya judex juris dalam hal ini bisa mengoreksi putusan ini," terangnya. 

Menurut Budi, pengurangan hukuman atau penambahan hukuman adalah suatu yang biasa, hal yang sudah lumrah. Asalkan, lanjutnya, sesuai dengan ketentuan yang ada. 

"Misal, perkara tipikor dakwaan Pasal 2 atau Pasal 3 kemudian terbukti. Dalam menjatuhkan pidana, hakim tidak mempertimbangkan empat kriteria (kerugian keuangan negara, masalah keuntungan yang diterima, kemudian berat-ringannya), kalau itu tak dipertimbangkan tentu diperbaiki oleh pengadilan tingkat banding, " terangnya. 

Sehingga, kata Budi, bisa tampak bahwa ada penurunan ada juga penambahan. Hanya saja, saat ini yang lebih populer atau lebih jadi berita kalau itu terjadi penurunan hukuman pidana. 

"Saya secara pribadi tidak bisa memberi komentar kalau belum membaca secara utuh pertimbangan putusan. Karena hakim dalam menjatuhkan pidana, kalau hakim yang baik tentu mempertimbangkan segala hal yang terkait dengan perkara. Tidak sedemikian gampang untuk menurunkan," tegasnya. 

Menurut Budi, ada dua sifat yang harus dimiliki seorang hakim. Pertama, terkait integritas dan kedua terkait profesionalitas. 

"Kalau hakim tidak berintegritas, dia akan mudah diintervensi, digoda. Kalau hakim tak berintegritas kemudian digoda bisa, tentu putusan ini bisa jadi, tolong saya tidak membuat statement putusan yang didiskon karena hakimnya tidak berintegritas. Tidak. Ini salah satu pendapat saya yang saya tuangkan dalam tugas untuk menyusun makalah tadi. Salah satu sumbernya itu integritas," ujarnya. 

"Demikian juga profesionalitas. Kalau hakim tidak meng-upgrade ilmu seperti tadi dia nggak membaca Perma 1/2020, hanya secara konvensional apa yang meringankan apa yang memberatkan, nanti dijatuhkan ini, ini akan terjadi disparitas seperti yang saya sebutkan di muka," tambahnya. 

Komisi Yudisial RI menggelar wawancara calon hakim agung 2021. Seleksi akan berlangsung pada Selasa (3/8) hingga Sabtu (7/8). Seleksi diikuti oleh 24 calon hakim agung. Dari 24 peserta tersebut, 15 orang merupakan calon hakim agung kamar pidana, 6 orang calon hakim agung kamar perdata, dan 3 orang calon hakim agung kamar militer. Mereka akan menjalani tahap wawancara di Komisi Yudisial. Adapun penguji dalam tahap ini adalah tujuh anggota KY, satu negarawan, dan satu pakar hukum. 

Pada Selasa (3/8), sebanyak lima CHA sudah menjalani wawancara terbuka. Mereka adalah Hakim Aviantra yang merupakan Inspektur Wilayah I Badan Pengawasan  MA RI , Hakim Dwiarso Budi Santiarto, Kepala Badan Pengawasan MA; Hakim Suradi, Hakim Tinggi Pengawas pada Badan Pengawasan MA; Hakim Jupriyadi, Hakim Tinggi Pengawas Badan Pengawasam MA dan Hakim Artha Theresia Silalahi, Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Jakarta. Kelimanya merupakan CHA dari kamar pidana. 

Dijadwalkan pada Rabu (4/8) besok sebanyak lima CHA akan menjalani wawancara terbuka. Mereka adalah, Hakim H Adly, Hakim Ad Hoc Pengadilan Tipikor Jambi; Hakim Catur Irianto, Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Tanjung Karang; Hakim Suharto, Panitera Muda Pidana Khusus MA; Hakim Subiharta, Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Bandung dan Hakim Pri Haryadi,  Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum MA.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement