Senin 02 Aug 2021 09:05 WIB

'Peretasan Situs Setkab Bukti Keamanan Siber Lemah'

Kejadian ini menjadi catatan bagi DPR RI untuk mengevaluasi kinerja BSSN.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Ratna Puspita
Anggota Komisi I DPR, Christina Aryani, menyikapi peretasan situs resmi Sekretariat Kabinet. Menurut dia, kejadian tersebut memperlihatkan bahwa sistem keamanan siber situs web yang dikelola pemerintah terbukti masih lemah. (Foto: Ilustrasi peretasan)
Foto: Piqsels
Anggota Komisi I DPR, Christina Aryani, menyikapi peretasan situs resmi Sekretariat Kabinet. Menurut dia, kejadian tersebut memperlihatkan bahwa sistem keamanan siber situs web yang dikelola pemerintah terbukti masih lemah. (Foto: Ilustrasi peretasan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi I DPR RI, Christina Aryani, menyikapi peretasan situs resmi Sekretariat Kabinet. Menurut dia, kejadian tersebut memperlihatkan bahwa sistem keamanan siber situs web yang dikelola pemerintah terbukti masih lemah.

"Khusus peretasan terhadap situs Sekretariat Kabinet, kami mencatat setidaknya sudah terjadi sebanyak tiga kali, yaitu kejadian Sabtu kemarin (30/7), tahun 2015 yang lalu dan pada era pemerintahan Presiden SBY," kata Christina dalam keterangan tertulisnya, Senin (2/8).

Baca Juga

Ia mengatakan, Indonesia memiliki Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang telah melakukan koordinasi dengan berbagai instansi [pemerintah dan instansi lainnya untuk memastikan keamanan siber berjalan optimal. Namun, kejadian ini memperlihatkan koordinasi terkait keamanan siber masih belum sesuai harapan dan perlunya peningkatan kerja-kerja BSSN. 

"Dalam kerangka fungsi pengawasan DPR-RI, tentu saja kejadian ini menjadi catatan bagi kami untuk mengevaluasi kinerja BSSN serta mendorong upaya perbaikan yang perlu dilakukan," ujarnya.

Menurutnya, peretasan situs pemerintah secara berulang menunjukkan betapa pentingnya keberadaan regulasi berupa Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi yang akan mengatur kewajiban pengelola data pribadi untuk menjaga sistem keamanan sibernya.

Regulasi tersebut akan memastikan audit bisa dilakukan terhadap pengelola data, yaitu badan publik, instansi pemerintah maupun perusahaan swasta untuk memastikan yang bersangkutan telah mengimplementasikan sistem pencegahan terhadap peretasan/kebocoran data dengan optimal atau tidak. 

"Kegagalan pengimplementasian sistem pengamanan yang optimal akan membawa konsekuensi pertanggungjawaban baik berupa denda administratif maupun sanksi pidana," ucap politikus Partai Golkar itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement