Ahad 01 Aug 2021 13:05 WIB

Lima Pemahaman Keliru Soal Korban KDRT

KDRT sering berakar pada dominasi kekuasaan pelaku yang membuat korban sulit pergi.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Qommarria Rostanti
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Foto: Foto : MgRol112
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) memiliki dampak psikologis yang amat besar bagi para korban. Di sisi lain, pemahaman yang keliru mengenai korban KDRT juga memiliki dampak yang tak kalah merusak.

KDRT bisa dialami oleh perempuan dan juga laki-laki. Menurut Crime Data Brief dari Bureau of Justice Statistics, Amerika Serikat (AS), sekitar 85 persen korban KDRT merupakan perempuan.

"Seperempat perempuan di dunia mengalami kekerasan dalam rumah tangga di kehidupannya," ujar terapis Allison Young MD, seperti dilansir Everyday Health,  beberapa waktu lalu.

Kesalahpahaman mengenai korban KDRT yang dimiliki oleh orang lain atau korban itu sendiri dapat mengurungkan niat korban KDRT untuk mencari pertolongan yang mereka butuhkan. Berikut ini adalah kesalahpahaman mengenai KDRT dan korban KDRT yang menyesatkan tersebut:

1. Ada yang salah pada korban

Banyak dari korban KDRT meyakini bahwa mereka juga "memainkan peran" dalam kekerasan yang mereka terima. Korban KDRT kerap merasa memiliki kesalahan yang membuat pasangan mereka "pantas" melakukan kekerasan terhadap mereka.

Kecenderungan untuk menyalahkan diri sendiri ini akan semakin besar bila korban KDRT mencoba bercerita kepada orang lain dan mendapatkan respons yang tidak tepat. Misalnya, orang yang mendengar cerita korban KDRT merespons dengan "Tetapi dia (pelaku KDRT) orang tua yang baik" atau "Dia (pelaku KDRT) seorang pekerja yang baik".

Pelaku KDRT mungkin tampak memiliki karakter yang baik. Namun perlu diingat, tak ada alasan yang dapat membenarkan KDRT.

2. Korban "menarik" pengalaman traumatis

Korban KDRT sering kali tak hanya memiliki satu tetapi beberapa riwayat pengalaman traumatis. Menurut sebuah studi dalam BJOG: An International Journal of Obstetrics and Gynecology, sekitar 60,5 persen perempuan mengalami trauma seumur hidup, termasuk KDRT.

Hal ini membuat sebagian orang menilai bahwa korban mengalami KDRT karena memiliki riwayat pengalaman traumatis sebelumnya. Padahal, riwayat trauma di masa lalu tak seharusnya menjadi pembenaran bagi korban untuk mengalami KDRT.

3. Korban seharusnya meninggalkan pelaku KDRT

Tak jarang korban KDRT disalahkan oleh orang lain karena tidak menjauhi dan meninggalkan pelaku KDRT. Padahal, hal tersebut tak mudah untuk dilakukan oleh para korban.

KDRT sering kali berakar pada dominasi kekuasaan yang membuat korban merasa tak mampu untuk pergi. Para korban KDRT juga kerap memiliki kekhawatiran bahwa pelaku akan menemukan mereka lagi bila mereka berusaha kabur.

Ada beragam alasan lain yang bisa membuat korban KDRT tak bisa meninggalkan pelaku. Sebagian di antaranya adalah hak asuh anak dan masalah ekonomi.

4. Korban seharusnya menghubungi polisi

Tak semua korban bisa menghubungi telepon darurat atau polisi ketika mengalami KDRT. Perasaan takut bahwa tindakan tersebut akan berujung pada penyiksaan yang lebih berat kerap menghantui para korban KDRT.

Bila korban merupakan anak-anak, atau pelaku merupakan satu-satunya sumber penghasilan dalam rumah tangga, akan ada kekhawatiran bahwa menghubungi polisi akan memengaruhi kehidupan anak atau membuat korban kehilangan tempat tinggal.

Selain itu, polisi tidak bisa serta-merta mengeluarkan pelaku KDRT dari rumah yang ditinggali pelaku dan korban. Laporan yang berhasil dikumpulkan oleh sekelompok konselor menunjukkan bahwa kekerasan justru semakin meningkat kepada korban setelah polisi memeriksa dan meninggalkan rumah mereka.

5. Cerita korban berubah

Korban KDRT tak selalu bisa mengingat secara rinci pengalaman yang mereka lalui. Mereka mungkin akan kebingungan mengenai beberapa rincian dan mencerita kisah yang sedikit berbeda ketika ditanya dalam beberapa waktu yang berbeda.

Ada alasan psikologis mengapa sebagian korban KDRT tak bisa mengingat trauma mereka. Salah satu di antaranya adalah kecenderungan memisahkan pengalaman sensori dan kesadaran diri selama trauma, yang kemudian mengganggu pembentukan memori. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement