Jumat 30 Jul 2021 19:38 WIB

Rangkap Jabatan Rektor Ari Cederai Marwah UI

Mengubah aturan sesuka hati dapat menjadi preseden buruk untuk dunia pendidikan.

Rektor Universitas Indonesia (UI), Prof Ari Kuncoro.
Foto:

Lantas apakah setelah Ari Kuncoro mengundurkan diri Revisi Statuta UI perlu dicabut?

Ketua Badan Ekskutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) Leon Alvinda Putra mendesak PP tentang Statuta UI segera dicabut. Sebab, dia menilai, penyusunan statuta baru ini tidak melibatkan mahasiswa sebagai salah satu pemangku kepentingan di lingkungan kampus.

"Intinya kita sama-sama dorong untuk dicabut statuta baru ini," ujar Leon saat dikonfirmasi republika.co.id, Selasa (27/7). 

Dia tidak menolak atas keinginan beberapa pihak untuk merevisi Statuta UI. Namun, apabila statuta UI akan direvisi, dia berharap mahasiswa dilibatkan dalam penyusunannya. 

Leon menegaskan, penyusunan perubahan Statuta UI harus melibatkan semua unsur pemangku kepentingan kampus. Sehingga nantinya Statuta UI dapat diterima sebagai kesepakatan bersama semua pihak yang terlibat di UI, seperti guru besar, senat akademik, dosen, tenaga pendidikan, dan mahasiswa, demi kemajuan kampus.

 

photo
Gedung Universitas Indonesia (UI).

 

 

Dukungan untuk pencabutan statuta datang Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji. Ia enyarankan pemerintah sebaiknya mencabut Peraturan Pemerintah (PP) tentang Statuta UI. PP Nomor 75 Tahun 2021 tersebut sebaiknya dicabut karena mencederai nilai-nilai yang dikembangkan di kampus.

"Kalau tidak dicabut pastinya akan mengubur kebebasan akademik dan independensi kampus," katanya, Kamis (22/7). Ia mengaku khawatir kalau PP ini tidak dicabut bisa jadi Rektor UI menjadi komisaris merangkap di perusahaan lain. "Jadi, bisa saja dia mundur dari BRI hanya akal-akalan saja," kata dia.

Ia menambahkan, aksi tersebut bila terwujud akan menjadi bentuk petanda legalisasi politisasi dan komersialisasi kampus. "Mungkin ini yang dimaksud dengan Kampus Merdeka. Jika iya, maka kami semua merasa kena prank oleh Pak Menteri," kata dia.

Meski dihantam kritik dari berbagai arah, toh revisi Statuta UI tetap mendapatkan dukungan. Salah satunya dari anggota DPR Komisi X Sofyan Tan yang menilai PP Statuta UI agar UI siap dan lebih cepat menghadapi tantangan global serta meningkatkan rangking universitas.

"Karenanya perlu dukungan dan kerja keras dari segenap pihak civitas akademika UI," ujar Sofyan Tan.

Ia berkata sebagai mitra kerja pemerintah, Fraksi PDI Perjuangan tentunya akan mencermati terus masukan-masukan konstruktif yang muncul di masyarakat, terutama dari civitas akademika UI sebagai bagian dari tugas pengawasan dan penyerapan aspirasi masyarakat. Namun tentunya, UI sebagai institusi di bawah naungan Kemendikbudristek harus tunduk terhadap peraturan pemerintah.

Menurut politikus dari Fraksi PDI Perjuangan itu perubahan PP yang terus menuai polemik itu tidak perlu ditanggapi secara berlebihan apalagi sampai mengaitkan dengan berbagai motif hubungan antara pemerintah dengan kampus UI. Ia berkta, proses perubahan PP itu sama seperti perubahan PP yang lain. Apalagi Majelis Wali Amanat (MWA) yang ikut sejak awal pembahasan juga sudah melalui mekanisme dan tata aturan yang berlaku.

"Tentu kita harus bisa menghormati keputusan tersebut apalagi PP sudah ditandantangani oleh Presiden Jokowi," katanya.

Meski demikian perubahan PP Statuta UI memang tidak tepat waktunya. Seperti pendapat Rektor Universitas Airlangga (Unair), Prof M Nasih yang berpendapat revisi tersebut tidak tepat lantaran berbarengan dengan Ari Kuncoro yang rangkap jabatan antara rektor UI dan wakil komisaris BRI.

"Waktunya tidak tepat. Pengesahan PP bareng dengan isu rangkap jabatan," kata Prof Nasih. Tidak banyak rektor yang rangkat jabatan. Namun ia tidak mempermasalahkan. "Jadi, sebenarnya bukan karena jabatannya tapi lebih karena kapasitas dan keahliannya," ujarnya.

Pendapat serupa datang dari Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Prof Komarudin. Menurutnya, rektor bisa saja merangkap jabatan, bila memang keahliannya sangat dibutuhkan. "Kalau keahliannya sangat dibutuhkan dan tidak melanggar peraturan, menurut saya boleh saja," kata dia.

Yang penting rektor tetap fokus pada tugas utamanya, dan bisa berbagi waktu untuk memberikan manfaat bagi tugas lainnya. Namun jika dengan rangkap jabatan mengganggu tugas utama atau bahkan menimbulkan konflik interest, maka sudah seharusnya rektor bisa menakar diri untuk tidak rangkap jabatan.

Pendapat Prof Komarudin pun ditanggapi Wakil Ketua Komisi X DPR, Hetifah Sjaifudian. Memang idealnya seorang rektor perguruan tinggi seharusnya tidak merangkap jabatan, terlepas ada atau tidaknya peraturan. "Sebaiknya, kalau pun tidak ada larangan, rektor suatu perguruan tinggi bagusnya tidak merangkap jabatan," kata Hetifah.

Rangkap jabatan cenderung akan memunculkan konflik kepentingan. Kepentingan pribadi seseorang yang rangkap jabatan juga dinilai bisa mengorbankan institusi. Kalau pemikiran dan ide-ide perguruan tinggi sangat diperlukan untuk masyarakat, dunia usaha, dunia industri, sebaiknya dilakukan melalui kerja sama kelembagaan melalui fakultas, prodi, atau melalui lembaga pengabdian masyarakat yang ada di hampir semua perguruan tinggi. Dibuat MOU misalnya.

"Rangkap jabatan yang lazim atau bisa diterima bila masih dalam satu rumpun, atau satu jajaran tetapi sifatnya sementara," imbuhnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement