Selasa 27 Jul 2021 17:13 WIB

Guru Besar UI: Penyusunan Statuta UI tak Cermat

Statuta UI yang ditandatangani Presiden pada 2 Juli 2021 berpotensi cacat materiil.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Agus Yulianto
Universitas Indonesia (UI)
Foto: Humas UI
Universitas Indonesia (UI)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar FISIP Universitas Indonesia (UI) Sudarsono menilai, penyusunan statuta UI tidak cermat dan tidak teliti. Pasalnya, Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 2 Juli 2021 berpotensi cacat materiil.

Sudarsono mengatakan, rumusan Pasal 41 ayat (5) PP 75/2021 sangat bermasalah, khususnya terkait dengan frasa “mengangkat dan/atau memutuskan”. Dia berpendapat, frasa ini mengandung kelemahan mendasar dari sudut pandang hukum administrasi.

"Sayang sekali, rumusan pasalnya sangat bermasalah, khususnya terkait dengan frasa “mengangkat dan/atau memutuskan”," ujar Sudarsono dalam keterangan tertulisnya, Selasa (27/7).

Bunyi Pasal 41 ayat (5) PP 75/2021 yakni, "Rektor sebagai pimpinan satuan pendidikan tinggi berhak mengangkat dan/atau memutuskan jenjang jabatan akademik, termasuk jabatan fungsional peneliti, fungsional lektor kepala, dan guru besar, berdasarkan hasil penilaian terhadap kualifikasi akademik, kompetensi, dan pengalaman yang dimiliki".

Anggota Dewan Guru Besar (DGB) UI itu menyampaikan, apabila Pasal 41 ayat (5) PP 75/2021 dimaksudkan sebagai pelimpahan kewenangan dari menteri kepada rektor dalam mengangkat pejabat fungsional UI, tentu sangat bagus dan diapresiasi. Mungkin pertama kalinya rektor Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) mendapat pelimpahan kewenangan seperti ini.     

Namun, jika Pasal 41 ayat (5) PP 75/2021 dimaksudkan mengatur kewenangan rektor terkait promosi pejabat fungsional UI, maka paket pengaturannya adalah juga harus termasuk demosi, bahkan mestinya pula mutasi dan pemberhentian. Menurut Sudarsono, frasa “mengangkat” dalam ketentuan tersebut tentu hanya terkait dengan promosi.

"Pertanyaannya, di mana pasal yang mengatur tentang demosi? Apakah kata “memutuskan” itu yang dimaksud sebagai kewenangan demosi? Atau mungkin “memutuskan” itu dimaksudkan sebagai pemberhentian? Jelas, rumusan ini sangat membingungkan," kata dia.

Sudarsono menjelaskan, tindakan rektor sebagai pejabat administrasi saat melakukan promosi pejabat fungsional UI dengan cara mengangkat, pastilah dibarengi dengan tindakan memutuskan. Produk hukumnya berupa surat keputusan yang memiliki kapasitas beschikking, bukan regelling.

Frasa “mengangkat dan memutuskan” masih dimengerti tindakan hukumnya apabila diartikan saat rektor akan melakukan promosi, misalnya seorang dosen dari jabatan lektor kepala menjadi guru besar. Namun kalau sebaliknya, frasa “mengangkat atau memutuskan” sangat bermasalah.

"Saya kira Rektor UI juga akan bingung membayangkan seperti apa bentuk tindakan hukum “mengangkat atau memutuskan” itu? Kalau kedua kata itu dipisah pun, antara “mengangkat” dengan “memutuskan”, juga sangat bermasalah, lucu, dan tidak masuk akal. Inilah contoh nyata betapa PP 75/2021 disusun dengan cara yang tidak cermat," ucap Sudarsono.

Masalah lain yang sangat serius dalam Pasal 41 ayat (5) PP 75/2021 ini adalah tidak adanya pengaturan tentang demosi. Dia mengatakan tak jelas kewenangan siapa demosi itu dalam PP 75/2021.

Persoalan timbul ketika terjadi sengketa demosi, misalnya antara seorang dosen dan pimpinan departemen, fakultas, atau pimpinan UI, kemudian dibawa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sudarsono tak tahu hakim dan para pihak yang akan bekerja berdasarkan pasal mana.

Sudarsono sangat menyayangkan para perancang Statuta UI tidak bekerja dengan cermat. Statuta UI ini justru cacat materiil.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement