Kamis 22 Jul 2021 14:16 WIB

Militer China Ledakkan Bendungan untuk Alihkan Air

Curah hujan yang seharusnya turun dalam setahun, kini hanya tiga hari.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Teguh Firmansyah
Situasi banjir di Zhengzhou, China, Rabu (21/7)
Foto: (Chinatopix Via AP)
Situasi banjir di Zhengzhou, China, Rabu (21/7)

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Militer China meledakkan sebuah bendungan untuk melepaskan air yang mengancam salah satu provinsi berpenduduk terpadat. Diversifikasi pengalihan air ini dilakukan ketika jumlah korban tewas dalam banjir terus meningkat menyentuh 33 orang.

Seperti dilansir laman The Guardian, operasi tindakan atas bendungan dilakukan pada Selasa (20/7) malam waktu setempat di kota Luoyang, saat banjir besar melanda Zhengzhou, ibu kota provinsi Henan. Banjir menjebak penduduk di sistem kereta bawah tanah dan membuat mereka terdampar di sekolah, apartemen, dan kantor.

Baca Juga

Tujuh orang lainnya masih dilaporkan hilang. Korban tewas diperkirakan akan meningkat pada Kamis karena tim penyelamat masih mengevakuasi wilayah yang hancur.

Laman Independent mengatakan, hujan mengubah jalan menjadi sungai yang mengalir deras, menghanyutkan mobil dan membanjiri rumah. Pemadaman listrik mematikan ventilator di sebuah rumah sakit sehingga memaksa staf menggunakan kantong udara yang dipompa dengan tangan untuk membantu pasien bernafas.

Curah hujan selama satu tahun yang mencapai 640mm turun di wilayah tersebut hanya dalam tiga hari. Media Cina mengatakan, curah hujan belum pernah terjadi sebelumnya dalam "1.000 tahun" terakhir.

Beberapa khawatir bahwa mengingat skala kerusakannya, rekonstruksi pascabencana akan sangat menantang bagi salah satu provinsi terpadat di Cina. Zhengzhou sendiri adalah rumah bagi 12 juta orang dan perkiraan awal mengatakan 1,2 juta telah terkena dampak langsung oleh banjir.

Media pemerintah pada Rabu menunjukkan air setinggi pinggang, dan hujan masih turun. Di sebelah utara Zhengzhou, Kuil Shaolin yang terkenal, yang dikenal karena penguasaan seni bela diri para biksu Buddha, juga terkena dampak parah.

China secara rutin mengalami banjir selama musim panas, tetapi pertumbuhan kota dan konversi lahan pertanian menjadi subdivisi telah memperburuk dampak peristiwa tersebut. Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres pada Rabu (21/7) mengirim surat kepada presiden China, Xi Jinping, untuk menyampaikan belasungkawa yang tulus atas hilangnya nyawa dan kehancuran yang tragis.

Banjir terjadi tepat ketika China mendapat tekanan dari utusan iklim Amerika Serikat (AS) John Kerry, yang meminta para pemimpin negara Cina untuk mengintensifkan tindakan mereka untuk mengekang krisis iklim. "Tanpa pengurangan emisi yang cukup oleh Cina, tujuan global menjaga suhu di bawah 1,5C adalah pada dasarnya tidak mungkin," kata Kerry.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement