Kamis 22 Jul 2021 00:03 WIB

'Otsus Papua Bentuk Abuse of Power Penguasa'

Mereka tidak memperhatikan aspirasi maupun partisipasi rakyat Papua.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Agus Yulianto
Saor Siagian memberikan keterangan kepada media.
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Saor Siagian memberikan keterangan kepada media.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perbuatan para pembentuk undang-undang (UU) dalam pengusulan, pembahasan, dan pengesahan perubahan kedua UU Otonomi Khusus Provinsi Papua (Otsus Papua) dinilai sebagai perbuatan penyalahgunaan kekuasaan. Sebab, dalam semua proses itu, mereka tidak memperhatikan aspirasi maupun partisipasi rakyat Papua melalui prosedur lembaga Majelis Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRP-MRPB).

"Dapat dikualifikasi sebagai perbuatan abuse of power yang dilakukan penguasa dalam hal ini pembentuk UU (pemerintah dan DPR RI)," ujar Ketua Tim Kuasa Hukum MRP dan MRPB, Saor Siagian, dalam pernyataan pers, Rabu (21/7).

Saor mengatakan, ketentuan Pasal 77 UU Nomor 21 Tahun 2001 menyatakan, usulan perubahan atas UU Otsus Papua dapat diajukan oleh rakyat provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ketentuan pasal itu, kata dia, dapat bermakna setiap perubahan UU Otsus harus dimaknai sebagai kewenangan khusus yang diberikan oleh pembentuk UU kepada rakyat Papua untuk mengusulkan perubahan UU Otsus.

"Artinya, dengan adanya pemberian otonomi khusus ini, pembentuk UU memberikan hak kekhususan pada kesempatan pertama kepada rakyat Provinsi Papua untuk mempergunakan haknya untuk mengusulkan perubahan UU Otsus," jelas dia.

Secara prosedural, semestinya MRP dan DPRP yang memiliki hak dan kewenangan untuk menyampaikan hak usul perubahan itu kepada DPR atau pemerintah. Selanjuntya, secara prosedural rancangan undang-undang tersebut dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Atas dasar itu mereka melihat apa yang dilakukan pemerintah dan DPR sebagai tindakan penyalahgunaan kekuasaan.

Dia menjelaskan, usulan perubahan kedua UU Otsus Papua yang didasarkan pada Surat Presiden (Surpres) Nomor: R- 47/Pres/12/2000 yang ditujukan kepada Ketua DPR RI sama sekali tidak memperhatikan aspirasi masyarakat Papua melalui MRP dan MRPB. Pada saat pembahasan RUU ini pun, Tim Pansus maupun Panja Otsus Papua di DPR RI tidak melibatkan sama sekali orang asli Papua (OAP).

"OAP sama sekali tidak dilibatkan atau didengarkan aspirasinya dalam  proses pembahasan perubahan kedua UU Otsus. Padahal MRP dan MRPB sebagai lembaga negara, sebagaimana diatur dalam UU No. 21 Tahun 2001, secara konstitusional diakui keberadaannya," kata dia.

Kemudian, pihaknya kembali menegaskan, secara yuridis-konstitusional, pengusulan perubahan materi RUU, pembahasan, dan pengesahan perubahan kedua RUU Otsus Papua tidak memenuhi syarat formil. Sebab, proses itu mereka nilai cacat prosedur. Secara syarat material pun RUU Otsus Papua juga tidak memenuhi.

"Material RUU bukan aspirasi rakyat Papua, bertentangan dengan UU Nomor 21 tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua jo. Pasal 18A ayat (1) jo. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 atau inkonstitusional," kata dia.

Hari ini, MRP-MRPB menarik permohonan sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN) atas perubahan kedua Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua, terhadap Presiden Republik Indonesia. Meski begitu, mereka tetap menilai pengesahan RUU Otsus menciderai hak-hak konstitusional MRP dan MRPB yang merupakan representasi kultural OAP.

"Atas penarikan SKLN ini pimpinan sidang, Prof Aswanto, menerima surat tersebut dan sidang ditutup dan dinyatakan selesai," ujar salah satu kuasa hukum MRP dan MRPB, Esterina D Ruru, dalam konferensi pers daring, Rabu (21/7).

Sidang tersebut dilakukan hari ini pada pukul 11.00 WIB dengan agenda pemeriksaan pendahuluan. Sidang dihadiri oleh kuasa hukum pemohon dan principal. Sedangkan termohon diwakili oleh Menko Polhukam, Menteri Dalam Negeri, dan Wakil Menteri Hukum dan HAM. Dalam persidangan, kuasa hukum pemohon, Rita Serena Kolibonso, membacakan Surat Penarikan SKLN yang sebelumnya sudah disampaikan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) pada 19 Juli 2021.

Penarikan kembali permohonan SKLN tersebut dilakukan atas dasar telah disahkankannya RUU Otsus Papua dan kemudian telah diundangkan pada tanggal yang sama oleh Menteri Hukum dan HAM RI. Dia menyatakan, usulan RUU Otsus Papua itu sama sekali tidak memperhatikan aspirasi OAP melalui MRP dan MRPB.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement