Kamis 22 Jul 2021 04:32 WIB

Guru Zilenial vs Kendala Pendidikan Indonesia

Guru zilenial harus mampu berperan sebagai penggerak peserta didik berpikir kritis

Pegiat Pendidikan di Dompet Dhuafa Agung Pardini.
Foto:

Saat ini pendekatan pembelajaran aktif telah bergeser menjadi pembelajaran untuk pemecahan masalah nyata yang terjadi di sekeliling kehidupan sosial peserta didik. Karena itu guru zilenial harus mampu berperan sebagai penggerak bagi terwujudnya iklim atau budaya akademik yang mendorong peserta didik agar makin terlatih dalam berpikir kritis dan kreatif.

Dua kemampuan berpikir inilah yang disebutkan oleh Bank Dunia (2019: 72) sebagai keterampilan yang makin dihargai oleh pasar tenaga kerja untuk menopang kemampuan beradaptasi, yakni kecepatan untuk merespons keadaan yang berubah secara tidak terduga. Kemampuan beradaptasi membutuhkan kombinasi antara keterampilan kognitif—untuk berpikir kritis dan cara pemecahan masalah—dengan keterampilan sosiobehavioral, yakni pengembangan rasa ingin tahu dan optimalisasi kreativitas.

Kendala keempat adalah infrastruktur teknologi yang belum dinikmati secara merata di semua wilayah. Isu kesenjangan pengetahuan dalam penguasaan informasi beserta keterampilan penggunaan teknologi juga menjadi ancaman nyata bagi efektivitas pembelajaran, terutama pada masa pandemi ini. Walaupun relatif lebih akrab dengan penggunaan teknologi, tapi kesenjangan seperti ini memaksa para guru zilenial untuk mencari alternatif lain agar kesempatan belajar yang hilang (learning loss) bisa dikurangi dampak negatifnya.

Kesempatan belajar yang hilang sendiri merupakan dampak dari pembatasan pembukaan sekolah akibat bahaya pandemi Covid-19. Laporan yang dikeluarkan oleh OECD pada bulan April 2021 kemarinmenyatakan bahwa pada 2020 lalu, sekitar 1,5 miliar siswa di 188 negara tidak dapat bersekolah. Banyak dari mereka tidak memiliki akses ke sumber belajar digital atau tidak memiliki dukungan dan motivasi untuk belajar sendiri.

Dampak penundaan pembelajaran tatap muka secara penuh bukan hanya menimbulkan risiko hilangnya pengalaman belajar, tetapi dikhawatirkan juga akan melahirkan generasi yang hilang.

Hilangnya kesempatan belajar ini tentu menjadi salah satu ancaman besar bagi sistem pendidikan kita.

Sebelum pandemi saja, menurut laporan Bank Dunia tahun 2020 menyatakan bahwa secara rata-rata anak Indonesia hanya akan menerima pembelajaran setara 7,9 tahun sekolah (walaupun secara umum mereka akan menyelesaikan pendidikan rata-rata selama 12,3 tahun). Mutu pendidikan yang rendah, ditambah dengan hilangnya kesempatan belajar akibat pandemi tentu adalah musibah yang menjadi amanah bagi para guru zilenial untuk turut berkontribusi dalam menyusun peta jalan solusinya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement