Rabu 21 Jul 2021 14:16 WIB

3 Derajat Ulama dan Pentingnya Kekuasaan Menurut Buya Hamka

Buya Hamka menekankan pentingnya kekuasaan untuk perkuat posisi ulama

Rep: Ali Yusuf/ Red: Nashih Nashrullah
Buya Hamka menekankan pentingnya kekuasaan untuk perkuat posisi ulama. Ilustrasi ulama
Foto: dok. Republika
Buya Hamka menekankan pentingnya kekuasaan untuk perkuat posisi ulama. Ilustrasi ulama

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Para ulama merupakan pewarisnya nabi. Ada tiga tingkatan martabat ulama yang menerima warisan para nabi.

Prof Dr H Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) atau akrap disapa Buya Hamka berpendapat, bahwa tingkatan yang pertama, ulama terhadap Allah SWT, kedua,  ulama dengan sifat-sifat Allah dan ketiga ulama dengan hukum-hukum Allah.

Baca Juga

Buya Hamka menuturkan, ulama dengan Allah, ialah ulama ahli hikmat, yaitu yang dengan melihat kulit mengertilah dia akan isi.  

"Melihat yang lahir ariflah ia akan yang batin. Memperhatikan pangkal tahulah dia akan ujung,” tulis Buya Hamka dalam kitab tafsirnya, Al-Azhar.    

 

Tentang hal ini Buya Hamka mengutip Alquran surat Al Baqarah ayat 269 yang artinya: 

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ "Dia (Allah) memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa yang diberi hikmah, maka sesungguhnyalah dia telah diberikan kebaikan yang banyak." 

Terhadap derajat kedua, ulama terhadap sifat-sifat Allah, Buya Hamka menyampaikan bahwa dia itulah orang-orang yang mengerti akan pokok (ushul), sehingga mudahlah dia mempertimbangkan ranting.  

Derajat ketiga, ulama terhadap hukum-hukum Allah, itulah dia ahli-ahli fiqh, yang panjang pikirannya, yang tahu 'illat dengan ma'lul, sebab dengan akibat. 

"Bagi tiap-tiap dari tiga maqaam itu adalah pengajian bertingkat-tingkat lagi,  yang tidak akan berkesudahan. Karena itu maka dakwah kepada Allah itu tidak pula akan sudah-sudah," tutur Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar surat Al Fusshilat ayat 33 tentang dakwah (tablig)

Seterusnya raja-raja atau penguasa pun memegang teguh pedangnya untuk mempertahankan kekuasaan, untuk tujuan dakwah. Sebab adakalanya dakwah wajib dipertahankan dengan pedang. Kalau tidak tentu musuh-musuh dakwah itu akan berusaha menghambat, bahkan membunuh perjalanan dakwah itu.

"Karena mereka merasa mengganggu bagi tegaknya kekuasaan mereka yang didasarkan atas kekafiran," katanya.

Tentang hal ini Buya Hamka, mengambil pendapat Ar Razi, di mana dia memberikan kesimpulan dari menilik isi ayat, yang menanyakan siapakah yang lebih baik perkataannya dari orang-orang yang menyeru, melakukan dakwah kepada Allah, bahwa usaha dakwah adalah sangat baik dan lebih baik, bahkan segala kegiatan agama berpuncak pada dakwah.  

Lantaran itu Ar Razi mengambil kesimpulan bahwa melakukan dakwah adalah wajib menurut hukum fiqh. Yaitu berpahala jika dilaksanakan dan berdosa jika ditinggalkan. "Begitu dari kesimpulan uraian Ar Razi dalam tafsirnya," katanya.

Dari hal perlunya dakwah mendapat perlindungan kekuasaan, adalah sesuai dengan perkataan Sayyidina Utsman bin Affan, Amirul Mu'minin, khalifah Rasulullah III: 

"Sesungguhnya Allah melancarkan dengan sulthan (kekuasaan) barang yang tidak dapat dilancarkan dengan Alquran saja."  

Maka banyaklah kehendak Alquran kata Buya Hamka tidak dapat terlaksana, kalau tidak ditegakkan dengan kekuasaan.    

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement