Senin 19 Jul 2021 00:26 WIB

Survei Sebutkan 3 Alasan Warga Takut Divaksinasi

KIPI menjadi salah satu alasan masyarakat takut divaksinasi.

Rep: Mabruroh/ Red: Dwi Murdaningsih
Petugas medis (kanan) mengukur tekanan darah warga yang akan mengikuti vaksinasi di Terminal Pulogebang, Jakarta Timur, Ahad (18/7/2021). Vaksinasi yang diadakan pada 17-18 Juli 2021 dengan target 10 ribu peserta diikuti warga, pegawai perusahaan otobus (PO) dan awak bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP).
Foto: ANTARA / Fakhri Hermansyah
Petugas medis (kanan) mengukur tekanan darah warga yang akan mengikuti vaksinasi di Terminal Pulogebang, Jakarta Timur, Ahad (18/7/2021). Vaksinasi yang diadakan pada 17-18 Juli 2021 dengan target 10 ribu peserta diikuti warga, pegawai perusahaan otobus (PO) dan awak bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Walikota Bogor Bima Arya mengatakan ada tiga hal yang membuat masyarakat ragu untuk mengambil suntikan vaksin Covid-19. Salah satunya adalah kejadian ikutan pasca-imunisasi (KIPI).

KIPI ini bukan saja menghantui warga Bogor, tetapi juga pada semua masyarakat di pelbagai daerah lainnya. KIPI menjadi alasan bagi masyarakat awam takut akan disuntik vaksin.

 

Menurut Bima Arya, saat ini 22 persen warganya masih ragu melakukan vaksin Covid-19 karena alasan medis. Informasi yang menyebar di masyarakat dan viral, adalah kejadian-kejadian mereka yang meninggal pasca imunisasi Covid-19.  

 

"Kalau saya membaca 22 persen ini sebagian karena masih karena faktor medis tadi, masih banyak yang terpengaruh kejadian pasca-imunisasi, kejadian-kejadian fatal bahkan sampai meninggal ketika divaksin, menyebar dan viral," kata Bima Arya dalam paparan survei LSI, Ahad (18/7).

 

Selain aspek medis, lanjut Bima, masih ada aspek agama dan politis yang mempengaruhi warga Bogor. Misalnya bahwa vaksin Covid-19 adalah bisnis dan banyak kepentingan di dalamnya.

 

"Kemudian ada juga aspek politis yang digoreng sana, digoreng sini, ini yang saya kira sangat menyesatkan bahwa vaksin ini bisnis, vaksin ini kepentingan," kata Bima.

 

"Survei ini mengkonfirmasi apa yang terjadi di lapangan. Jadi, saya kira semua yang ditemui oleh survei ini juga selaras dengan yang kami temui di lapangan," tambahnya.

 

Yang menarik lanjut Bima, bahwa tahun lalu Bogor melakukan survei dengan tim Lapor Covid, hasilnya ada 19 persen warga kota Bogor yang tidak percaya Covid-19, yang melihat bahwa Covid-19 ini konspirasi. Sebanyak 29 persen percaya dan ada 50 persen warga antara percaya dan tidak.

 

Bima mengatakan, kondisi tahun lalu banyak warga Bogor yang terpengaruh oleh teori konspirasi. Sedangkan, hari ini fakta di lapangan menunjukkan banyak warga yang sudah mulai percaya, setelah orang-orang terdekat mereka terinfeksi Covid-19.

 

"Saya menyimpulkan bahwa yang dulu tidak percaya, sekarang sudah percaya, mungkin karena semakin dekat lingkaran mereka dengan yang terpapar Covid-19 ini, semakin didekatkan dengan kenyataan dan fakta," ungkapnya.

 

"Dulu, jangankan bicara vaksin, bicara masker, bicara Covid-19 saja mereka tidak percaya. Jadi, bayangkan bagaimana kami berhadapan dengan warga yang tidak percaya Covid. Tapi, hari ini karena kondisi memburuk, lingkaran semakin dekat akhirnya membuat menjadi orang percaya," tutupnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement