Kamis 15 Jul 2021 17:45 WIB

Amnesty: UU Otsus Mengancam Hak Orang Papua

Implementasi UU Otsus selama ini dinilai tidak konsisten.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ilham Tirta
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.
Foto: Republika/Flori Sidebang
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Amnesty International Indonesia mendesak pemerintah dan DPR memastikan hak-hak masyarakat Papua benar-benar dilindungi oleh Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) Papua. Mereka menilai ada banyak fakta yang terlihat, pemerintah tidak serius melaksanakan hak itu meski UU Otsus Papua sudah memuat banyak pasal yang melindungi hak orang asli Papua.

“Bahkan sering melanggar hak-hak tersebut selama 20 tahun. Kini, kebijakan otonomi khusus itu ditolak, terlebih karena tanpa konsultasi yang memadai dari orang asli Papua,” ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, dalam keterangannya, Kamis (15/7).

Usman menyatakan, pemerintah harus memastikan UU Otsus Papua yang baru akan benar-benar melindungi masyarakat adat. Menurut dia, hal tersebut hanya bisa dilakukan jika pemerintah benar-benar melibatkan masyarakat Papua dalam perancangan dan pelaksanaan otonomi khusus.

Usman melihat substansi di dalam naskah final RUU Otsus Papua terbaru bermasalah. Salah satunya, pada Pasal 76 yang mengatur tentang pemekaran dinilai jelas melanggar UU sebelumnya. Aturan itu melemahkan wewenang Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai representasi kultural orang asli Papua dan memperkuat wewenang pemerintah pusat di Papua.

"Termasuk melalui pembentukan badan khusus Otsus yang diketuai Wapres. Ke depan, jaminan perlindungan hak-hak orang asli Papua berpotensi semakin terancam," kata dia.

Dia mengatakan, UU Otsus Papua pertama kali disahkan pada tahun 2001 sebagai tanggapan atas seruan untuk penentuan nasib sendiri Papua yang menguat setelah jatuhnya rezim Orde Baru. UU itu dimaksudkan memberi orang Papua lebih banyak ruang untuk mengatur diri mereka sendiri, sementara masih menjadi bagian dari Indonesia.

Salah satu fokus utama dari UU tersebut, kata dia, adalah tentang perlindungan hak-hak orang asli Papua, yakni masyarakat adat. Istilah “masyarakat adat” dan “masyarakat hukum adat” muncul 62 kali dalam teks UU Otsus Papua jilid pertama tersebut.

"Dalam praktiknya, perlindungan-perlindungan itu tidak berjalan. Pengelolaan sumber daya alam seringkali diabaikan oleh peraturan yang bertentangan. Hal itu dapat dilihat dengan berlanjutnya deforestasi di wilayah tersebut," jelas Usman.

Dia memaparkan, menurut data Forest Watch Indonesia, antara tahun 2000 dan 2009, laju deforestasi di Papua sekitar 60.300 hektar per tahun. Kemudian, di antara tahun 2013 dan 2017, angka tersebut meningkat lebih dari tiga kali lipat menjadi 189.300 hektar per tahun.

"Implementasi undang-undang yang tidak konsisten telah mengakibatkan ketidakpuasan yang meluas terhadap otonomi khusus, yang menyebabkan sejumlah protes di Papua dan daerah lain merebak di Indonesia selama setahun terakhir," kata dia.

Hari ini, DPR resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang. Pengambilan keputusan tersebut dilakukan dalam Rapat Paripurna Penutupan Masa Sidang V Tahun Sidang 2020-2021.

"Apakah RUU tentang perubahan kedua atas Undang-Undang 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dapat disetujui dan disahkan menjadi undang-undang?" kata Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, meminta persetujuan kepada anggota, diikuti seruan setuju dari sejumlah anggota yang hadir dalam rapat tersebut.

Dalam laporannya Ketua Panitia Khusus (Pansus) Otonomi Khusus (Otsus) Papua, Komarudin Watubun, mengatakan, sebanyak 18 pasal mengalami perubahan serta dua pasal baru. Salah satu perubahan yang penting tersebut di antaranya mengakomodir perlunya pengaturan kekhususan bagi orang asli Papua dalam bidang politik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement