Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Miftakhul Azizah

Mengapa Milenial Perlu Memiliki Sikap Moderasi Beragama?

Eduaksi | Wednesday, 14 Jul 2021, 07:06 WIB
Sumber: google.com

Beragam fenomena fanatisme dengan bumbu perbedaan kelompok kembali menyerbak harum di bumi pertiwi. Seperti sebuah tradisi yang terjadi antar komunitas beragama di negara berkembang ini, mengingat bukan sekali-dua kali aksi teror tersebut berlangsung. Motif yang pelaku gunakan pun tidak bisa disamakan meski memiliki tujuan yang hampir mirip. Terkadang, oknum terorisme berdalih ingin mencapai surga-Nya ketika melakukan aksi keji bom bunuh diri, karena kesalahpahaman dalam menafsirkan mati syahid di jalan Tuhan. Di samping itu, motif besar dibalik tindakan amoral ini berupa menciptakan konflik panas yang berujung pada ketidakpercayaan massa terhadap rezim negara. Poin penting inilah yang perlu digarisbawahi karena sangat memungkinkan untuk memecah belah keharmonisan bangsa. Biasanya, kelompok dengan motif seperti ini memiliki ambisi untuk mengubah ideologi negara dengan ajaran agama yang diyakininya. Sebagai contoh, gerakan Islamic State of Iraq and Syiria atau ISIS yang saat ini berpusat di Suriah.

Jika berdasar pada fakta di lapangan, insan manusia tidaklah mampu menemukan titik ujung ketika membicarakan aksi kejam terorisme yang menjadi problematika di berbagai belahan bumi. Layaknya keberadaan teodisi yang beriringan dengan kebaikan, teror-teror mengerikan akan semakin bermunculan jika framming pelaku selalu mengarah pada mendewakan ego masing-masing. Doktrin-doktrin menyesatkan yang mereka lahap mentah-mentah terlihat seperti makanan lezat penggugah selera.

Tidak hanya itu, mudahnya melakukan indoktrinasi melalui media sosial menjadi strategi baru bagi oknum radikal untuk menyebarluaskan ajaran, dengan menjadikan kalangan milenial sebagai sasaran utama. Tak ayal jika mereka menyasar usia produktif, di samping memiliki semangat yang tengah membara milenial juga sering menghabiskan waktu senggangnya dengan berselancar di media sosial. Secara psikologis, taktik menyerang yang mereka pergunakan ialah lone wolf atau strategi menyerang berskala kecil dan acak. Sehingga, tidak mengherangkan jika milenial mudah terperangkap oleh ideologi radikal yang bertebaran di dunia maya tanpa mereka sadari.

Di satu sisi, keliaran berpikir yang dipergunakan oleh oknum radikal seakan turut mendapat sokongan dari hukum alam. Penempatan kelas sosial yang diterima oleh kelompok mayoritas selalu berada di atas angin berhasil menjadi momok menakutkan bagi kaum minoritas. Bayang-bayang kelam menjadi korban dari keserakahan kaum mayoritas membuat kenangan noda hitam di masa lalu semakin sulit untuk dihapuskan. Apalagi jika peristiwa tragis serupa kembali terulang di muka bumi. Sebagai contoh, aksi bom bunuh diri pasangan suami-istri (pasutri) di Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan pada 28 Maret lalu. Aksi anarkis dari pasutri berusia 26 tahun ini disinyalir sebagai tindakan balas dendam atas tewasnya salah satu Jamaah Ansharut Daulah atau JAD yang gagal bergabung dengan ISIS. Sebelumnya, Densus 88 telah menembak anggota JAD tersebut yang berujung menewaskan korban pada 6 Januari 2021 di Makassar.

Berbanding lurus dengan aksi radikalisme di Indonesia, gerakan Islamophobia ternyata mengalami perkembangan yang signifikan di negara Barat. Tercatat sebanyak 632 kasus kebencian dan radikalisme terjadi di Jerman dalam kurun waktu Januari sampai November pada 2020 lalu. Vandalisme, pelecehan verbal yang diterima muslimah berjilbab, gangguan praktik keagamaan, maupun ancaman pembakaran rumah ibadah telah menjadi kabut hitam bagi empat jutaan pemeluk Islam di negara Nazi. Bukan tanpa alasan, beragam tindakan rasisme yang mereka perbuat ini bertujuan untuk menimbulkan ketakutan bagi pemeluk agama Islam dan imigran yang tinggal di negara dengan populasi penduduk 80 juta orang ini.

Peran Milenial dalam Realisasi Sikap Tenggang Rasa

"Tugas maha besar dari generasi kita adalah mewariskan toleransi, bukan kekerasan."

Kutipan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil yang pernah diunggah oleh akun @kangEmilQuotes pada platform media sosial twitter 26 Agustus 2014 lalu, agaknya memang pantas untuk menggelitik kesadaran milenial dalam mewujudkan sikap tenggang rasa. Alih-alih dimanjakan dengan kemajuan teknologi, kelompok dengan rentang usia 24-39 tahun perlu menjadi benteng pertahanan untuk meminimalisir gerakan radikalisme yang gencar disuarakan oleh oknum intoleran.

Berkaca pada tinta merah sejarah yang baru saja terjadi bulan Maret lalu, pelaku radikalisme ternyata bisa saja berasal dari berbagai kalangan usia termasuk golongan milenial sekali pun. Apalagi motif penyebaran ideologi radikal mulai mengalami perkembangan meski outputnya tidak sekeji dahulu. Dengan kata lain, milenial perlu memiliki pemahaman yang memadai tentang semua aspek ajaran agama, khususnya ayat-ayat jihad yang sering disalahartikan. Sehingga, penafsiran ayat-ayat kitab suci yang terkesan abstrak tidak hanya dilakukan secara tekstual, tetapi juga dipertimbangkan menurut perspektif kontekstual zaman tanpa menyalahi ajaran agama.

Sejalan dengan hal tersebut, Mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menjelaskan mengenai pentingnya memiliki sikap moderasi beragama, khususnya bagi kaum milenial. Pemaknaan moderasi beragama sendiri menurut Lukman ialah sikap membentengi diri dari ideologi radikal dan tindakan fanatisme yang terus bermunculan di publik. Dengan demikian, perlu adanya suatu tindakan untuk memberi batasan terhadap paham radikalisme agar tidak menyebar luas ke berbagai kalangan.

Di sinilah letak kevitalan peran milenial dalam mewujudkan sikap tenggang rasa. Milenial perlu memberikan contoh nyata tentang bagaimana cara berdiri di tengah kaum ekstrem dan ultra ekstrem yang memahami naskah kitab suci hanya dari segi teks saja, ataupun dari perspektif nalar saja. Jika milenial tidak memiliki pemahaman agama yang memadai dan belum mampu menyeimbangkan penafsiran secara tekstual dan kontekstual, maka ia akan mudah terombang-ambing oleh ideologi radikal yang saat ini marak bertebaran. Apalagi telah ada pelaku teror yang masih berusia milenial, sepatutnya perlu menimbulkan rasa prihatin di diri kaum seusianya itu sendri.

Di samping itu, milenial perlu menyadari bahwa agama diturunkan secara langsung oleh Tuhan kepada para utusan-Nya. Melihat kenyataan di samping, tentu milenial dapat memaknai peristiwa ini sebagai wujud nyata dari ajaran agama yang mengandung nilai-nilai universal kemanusiaan. Dengan kata lain, milenial tidak perlu merasa terkejut ketika menyadari fakta bahwa perilaku sehari-hari yang terjadi di masyarakat, khususnya di Indonesia yang masih kental dengan nilai religiusitas dapat dipastikan mengandung ajaran agama dalam penerapannya.

Sementara itu, sikap mudah melabeli kaum beragama yang sedikit memiliki perbedaan sebagai suatu bentuk kekafiran, kebid'ahan, bahkan kesyirikan perlu dihindari oleh milenial. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari sikap tinggi diri dan berujung pada arus radikalisme yang menyerang diri. Parameter kemanusiaan dalam ajaran agama itu sendirilah yang semestinya ditegakkan karena mengandung nilai martabat setiap makhluk. Sehingga, peran milenial dalam mewujudkan moderasi beragama yang terbalut sikap tenggang rasa dapat diwujudkan.

Tanpa disadari, kita telah tenggelam dalam berbagai problematika tersebut. Tak mengherankan jika sudah selayaknya milenial untuk turut berperan aktif dalam menyuarakan sikap moderasi beragama. Misalnya begini, jika keindahan pelangi tercipta karena adanya perbedaan spektrum warna, mengapa manusia masih saja sibuk memperdebatkan perkara-perkara keberagaman yang justru berujung pada pertikaikan? Mari renungkan bersama.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image