Senin 12 Jul 2021 15:36 WIB

Digadang-gadang Jadi Negara Maju, RI Malah Turun Kelas

Bank Dunia saat ini menempatkan Indonesia sebagai negara kelas menengah ke bawah.

Suasana gedung bertingkat perkantoran di Jakarta. Bank Dunia baru saja menetapkan Indonesia sebagai negara berpendapatan kelas menengah ke bawah (lower-middle income). (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Hafidz Mubarak A
Suasana gedung bertingkat perkantoran di Jakarta. Bank Dunia baru saja menetapkan Indonesia sebagai negara berpendapatan kelas menengah ke bawah (lower-middle income). (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Novita Intan, Idealisa Masyrafina, Dedy Darmawan Nasution

Per 1 Juli 2021, Bank Dunia menempatkan Indonesia sebagai negara berpendapatan kelas menengah bawah atau lower-middle income. Status Indonesia melorot setelah sebelumnya, sempat menjadi negara berpendapatan menengah atas.

Baca Juga

Mengutip laporan Bank Dunia, asesmen terkini mencatat gross national income (GNI) per kapita Indonesia pada 2020 turun menjadi 3.870 dolar AS. Pada tahun lalu, Indonesia berada level atas negara berpendapatan menengah atas dengan GNI atau pendapatan nasional bruto sebesar 4.050 dolar AS per kapita.

“Indonesia saat ini sejajar dengan Belize, Iran, dan Samoa. Sedangkan Panama, Mauritius dan Romania juga mengalami turun peringkat dari negara high class menjadi negara upper middle income atau negara berpendapatan menengah atas,” tulis laporan Bank Dunia seperti dikutip Kamis (8/7).

 

Bank Dunia mengungkapkan Indonesia, Mauritius, Rumania, dan Samoa sangat dekat dengan ambang batas klasifikasi pada 2019 dan semuanya mengalami penurunan Atlas GNI per kapita akibat Covid-19, yang mengakibatkan klasifikasi lebih rendah pada 2020.

Bank Dunia telah mengubah klasifikasi GNI untuk menentukan peringkat tiap negara. Adapun, klasifikasi berubah karena setiap negara, faktor-faktor seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar, dan pertumbuhan penduduk mempengaruhi GNI per kapita.

Turunnya kelas Indonesia ini dinilai akan memiliki beberapa konsekuensi besar terhadap perkembangan ekonomi negara. Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, yang paling utama adalah, proses menuju menjadi negara maju akan semakin tertunda.

"Harusnya dari upper-middle income ke high-level income, kalau sekarang turun peringkat, berarti proses ke negara maju makin terlambat," ujar Bhima kepada Republika, Kamis (8/7).

Efeknya, Indonesia bisa terjebak dalam jebakan kelas menengah atau middle income trap, karena dalam 25 tahun ke depan Indonesia tetap jadi negara pendapatan menengah. Konsekuensinya, masyarakat akan semakin sulit mencari lapangan pekerjaan atau serapan tenaga kerja kurang optimal.

Apalagi saat ini ada bonus demografi yang puncaknya pada 2030. Pada saat itu, anak muda banyak yang lulus dari perguruan tinggi, tetapi karena ekonominya tidak tumbuh signifikan, maka lapangan kerja menjadi sangat terbatas.

"Tingkat pengangguran usia muda menjadi tinggi. Sekarang Indonesia menjadi negara dengan pengangguran usia muda tertinggi, salah satunya di Asia Tenggara." papar Bhima.

Kedua, Indonesia akan menjadi tua sebelum kaya. Artinya, Indonesia akan masuk sebagai generasi yang perlindungan sosial juga kecil dari pemerintah, pendapatan rata-rata tidak mengalami kenaikan yang tinggi, dan alhasil kualitas hidup tidak akan meningkat.

Tidak ada kenaikan kualitas hidup warga Indonesia secara umum, baik dalam kesehatan dan pendidikan, ini juga akan berpengaruh terhadap kesejahteraan mereka yang termasuk lansia.

"Anak mudanya, milenial dan Gen Z, akan semakin banyak yang menjadi generasi sandwich, sehingga generasi sandwich ini akan jadi generasi yang berat, bahkan lebih berat dari generasi sebelumnya." jelasnya.

Ketiga, Indonesia akan kurang diminati dalam hal investasi, karena dianggap sama saja dengan negara miskin seperti Timor Leste. Jadi, Indonesia tidak akan menjadi negara dengan tujuan investasi yang secara profil risiko aman, dan masuk negara risiko tinggi.

Artinya, minat investasi dari luar negeri untuk menanamkan modalnya dalam jangka panjang di Indonesia ini akan berkurang minatnya. Investor akan mencari negara lain yang berpendapatan menengah ke atas.

Keempat, Indonesia akan ketagihan meminjam utang. Ketika turun kelas, akan banyak kreditur yang memberikan pinjaman, karena Indonesia dianggap belum mampu mendorong penerimaan pajak sendiri yang optimal atau sumber-sumber pembiayaan di dalam negeri.

Konsekuensinya adalah Indonesia menjadi negara yang meminta pinjaman kepada para kreditur dan semakin semangat menambah utang. Padahal saat ini utang luar negeri sudah cukup menjadi beban, dimana per tahunnya negara harus membiayai bunga utang sekitar Rp 370 triliun.

"Positifnya cuma satu, Indonesia masih tetap mendapatkan fasilitas perdagagan seperti general system of prefrence (GSP). Jadi kalau mau kirim barang ke luar negeri tarifnya sangat rendah karena dianggap sebagai negara menengah ke bawah atau masih perlu asistensi dari negara maju." ujarnya.

Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan menyatakan, perubahan klasifikasi Indonesia dari upper-middle income countries menjadi lower-middle income countries dapat dijadikan sebagai salah satu faktor untuk mengevaluasi kondisi perekonomian nasional. Namun, hal tersebut jangan serta merta mengubah fokus pemerintah yang sedang menangani pandemi.

“Pemerintah perlu terus fokus pada penanganan pandemi karena penanganan pandemi akan sangat menentukan keberhasilan memulihkan perekonomian. Data ini boleh menjadi bahan evaluasi tetapi jangan dijadikan fokus dan sampai menomorduakan penanganan pandemi,” kata Pingkan, Jumat (9/7).  

Perubahan posisi Indonesia dalam klasifikasi Bank Dunia memang cukup disorot. Mengingat, bahwa saat ini Indonesia masih berupaya untuk memulihkan ekonomi yang terdisrupsi sejak pandemi tahun lalu.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal pertama tahun ini dilaporkan masih terkontraksi di minus 0,74 persen year-on-year (yoy). Pemerintah menargetkan pertumbuhan di kuartal dua tahun ini dapat menembus 7 persen, namun target tersebut dirasa cukup ambisius jika melihat lonjakan kasus Covid-19 terus terjadi sepanjang pertengahan Mei hingga minggu kedua Juli tahun ini.

Penanganan pandemi Covid-19 juga ikut memengaruhi kegiatan ekonomi dari segala sisi termasuk pendapatan, konsumsi, produksi, investasi, hingga perdagangan internasional yang mencakup kegiatan ekspor dan impor.

“Implementasi PPKM Mikro dan sekarang yang sudah beralih menjadi PPKM Darurat diperkirakan akan memukul pertumbuhan ekonomi kuartal III. Untuk saat ini, pemerintah perlu fokus pada penyediaan kebutuhan pokok, seperti pangan, obat-obatan, peralatan medis, fokus pada pada kelangsungan sektor kesehatan, transportasi dan logistik,” jelasnya.

 

Saat ini, kondisi Covid-19 dengan varian Delta telah mencatatkan lonjakan kasus bahkan rekor angka kematian perhari yang menembus empat digit per 7 Juli 2021. Jumlah ketersediaan fasilitas kesehatan di berbagai provinsi juga sudah cukup mengkhawatirkan karena banyak pasien yang tidak dapat tertangani dengan cepat.

Kebijakan pengendalian pandemi yang berfokus pada kesehatan masyarakat menjadi semakin penting untuk dikedepankan. Sebaiknya pemerintah terus memusatkan kebijakan yang ada pada proses pengendalian dan penanganan pandemi.

"Kami mengapresiasi diberlakukannya PPKM hingga tanggal 20 Juli mendatang dan upaya pemerintah untuk terus menggenjot vaksinasi. Walaupun demikian, pemerintah juga perlu terus membenahi diri dalam hal komunikasi publik terkait kebijakan dan program-program yang ada," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement