Ahad 11 Jul 2021 13:52 WIB

OJK: Sektor Keuangan Perlu Cermati Perubahan Sikap The Fed

The Fed pernah sebabkan taper tantrum pasar keuangan negara berkembang di 2013

Rep: Novita Intan/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Gedung kantor The Federal Reserve.  Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai pelaku bisnis sektor keuangan perlu mencermati perubahan sikap atau
Foto: AP Photo/Manuel Balce Ceneta
Gedung kantor The Federal Reserve. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai pelaku bisnis sektor keuangan perlu mencermati perubahan sikap atau "stance" bank sentral Amerika Serikat The Federal Reserve terhadap pergerakan pasar ke depan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai pelaku bisnis sektor keuangan perlu mencermati perubahan sikap atau "stance" bank sentral Amerika Serikat The Federal Reserve terhadap pergerakan pasar ke depan. 

Deputi Komisioner Stabilitas Sistem Keuangan OJK Agus E Siregar mengatakan secara historis, sekitar dua tahun sebelum rencana kenaikan suku bunga, The Fed akan mulai pelan-pelan mengurangi secara bertahap pemulihan likuiditas dari pasar. 

“Indonesia punya pelajaran yang bisa dijadikan acuan, pada 2013 kita sudah pernah menghadapi taper tantrum, dan itu memberikan tekanan terhadap pasar keuangan emerging market," ujarnya dalam keterangan resmi seperti dikutip Ahad (11/7).

Agus menyampaikan taper tantrum (gejolak keuangan sebagai dampak dari pengurangan pembelian obligasi oleh bank sentral AS Federal Reserve) pada 2013 menekan pasar keuangan di negara berkembang, khususnya yang memiliki ketidakseimbangan eksternal tinggi.

Saat ini, keseimbangan eksternal negara-negara berkembang membaik, termasuk The Fragile Five yaitu Turki, Brazil, Indonesia, Afrika Selatan, dan India. Namun, kerentanan baru perlu diperhatikan, terutama apabila memiliki beban pembiayaan yang sudah cukup tinggi.

"Kalau kita lihat Indonesia current account deficit atau CAD-nya dibandingkan PDB, kondisi sekarang lebih baik dibandingkan 2013. Demikian juga beberapa faktor lain. Hanya satu faktor Indonesia yang lebih jelek dibandingkan 2013 yaitu Debt to Service Ratio, tapi ini aspek yang pengaruhnya tidak signifikan," kata Agus.

Pada 2013, defisit neraca transaksi berjalan (CAD) Indonesia mencapai 2,03 persen, sedangkan saat ini berada posisi 0,36 persen. Inflasi pada 2013 melonjak 8,08 persen, sedangkan saat ini inflasi mencapai 1,68 persen. Porsi kepemilikan asing surat utang negara (SUN) pada 2013 mencapai 32,5 persen, sedangkan saat ini posisi 23,8 persen.

Kemudian Debt to Service Ratio (DSR) pemerintah pada 2013 mencapai 7,9 persen, sedangkan saat ini lebih tinggi posisi 17,4 persen."Kondisinya berbeda, sehingga dengan kondisi berbeda itu mudah-mudahan impact dari taper tantrum apabila dilakukan oleh The Fed, tidak terlalu berdampak signifikan ke Indonesia namun tetap harus dicermati," ujar Agus. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement