Sabtu 10 Jul 2021 10:43 WIB

'Belajar Agama tidak Cukup Melalui Internet'

Belajar secara daring memiliki sisi positif dan negatif,

Jaringan internet (ilustrasi).
Foto: Www.freepik.com
Jaringan internet (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, REMBANG – Di era serba digital, kita bisa melakukan pembelajaran agama secara digital. Namun kita tidak bisa beragama secara digital. 

"Shalat atau ibadah manusia kepada tuhan penciptanya, tidak bisa dilakukan secara virtual. Begitu juga masalah terkait akhlak. Yang bisa dilakukan lewat beragam media di internet misalnya belajar agama, mendengarkan ceramah agama, atau melakukan transaksi jual beli barang," kata Katib Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf saat mengisi webinar literasi digital yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk masyarakat Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Kamis (8/7). Bersama tiga narasumber lain, Gus Yahya tampil dalam diskusi virtual yang mengusung tema "Tantangan dan Adaptasi Pendidikan Agama Melalui Media Online" dan dihadiri lebih dari 700 peserta tersebut.

Gus Yahya tak menepis fakta, maraknya pembelajaran agama secara daring (online) oleh kalangan Muslim, termasuk siswa madrasah atau pesantren, dilakukan untuk menyiasati situasi pandemi Covid-19. Untuk alasan kedaruratan seperti itu, kata dia, pendidikan melalui internet jelas sangat dibutuhkan.

Hanya saja, Gus Yahya mengingatkan, meskipun setelah masa pandemi berakhir akan ada ketergantungan terhadap internet, namun untuk beragama tetap tidak cukup dilakukan hanya dengan internet. Menurut Gus Yahya, pembelajaran agama itu bersifat kognitif, terkait pikiran atau akal. Sedangkan hal menyangkut perilaku itu mesti ada pertemuan langsung.

"Intinya, untuk hal-hal berkenaan dengan akhlak, tidak bisa dilakukan lewat internet. Begitu pun aktivitas beragama yang menyangkut keyakinan hubungan manusia dengan penciptanya. Demikian halnya dengan pendidikan, tetap harus ada hubungan langsung (tatap muka) antara guru dan murid," jelas mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) itu.

Gus Yahya menambahkan, sebagai pendidik agama, guru adalah pintu masuk atau jalan menuju Tuhan. Di sini guru mengemban tugas berat, karena bertanggungjawab terhadap Tuhan.

Di masa pandemi, persentuhan langsung antara guru dengan murid sebagai peserta didik memang tak bisa dilakukan. Meski kemudian ada pembelajaran lewat daring, lanjut Gus Yahya, namun teknologi tetap tidak bisa menggantikan pendidikan agama. "Walau demikian, teknologi harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk pendidikan agama," ujarnya. 

Sesuai tema webinar, di akhir paparan Gus Yahya mengungkapkan, kita harus menyebarkan ajaran agama yang diturunkan kepada manusia untuk kemaslahatan. Dengan beragama, kita berusaha mencapai tujuan akhir (ultimate goal), yaitu memelihara kehidupan, akal, agama, hak milik, dan kehormatan.  "Maka, tujuan agama adalah menggayuh apa yang bermanfaat (kemaslahatan) dan menolak kerusakan. Jadi, menolak kerusakan itu lebih utama, baru kemudian menggayuh manfaat," katanya.

Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Tengah Musta’in Ahmad, yang juga menjadi narasumber webinar, ikut urun rembuk. Kata dia, belajar secara online itu memiliki sisi positif dan negatif, baik ilmu secara umum maupun ilmu agama. 

"Sisi baiknya, sumber informasi agama sangat banyak dan variatif. Kita bisa mendapatkan dari sumber literatur akademik, buku, video ceramah, esai, bahkan blog. Namun tidak semua sumber konten agama itu otoritatif dan tidak semuanya sesuai kaidah agama," jelas Musta'in.

Oleh karenanya, untuk benar dalam memahami agama, butuh panduan dari guru yang tepat, mengkaji ilmu agama secara komprehensif, bukan sepotong-sepotong sesuai keinginan atau kebutuhan, serta tidak menjadikan sumber dari media daring sebagai sumber utama tanpa guru. 

"Media online memang mempermudah belajar apa pun, termasuk agama. Tapi agama tanpa kesinambungan dengan penyampai agama terdahulu, berarti ada yang putus kepastian kebenarannya. Memahami agama dari sumber media online harus jelas otoritas sumber keilmuan pemberi info agamanya. Sebab, butuh ilmu yang banyak untuk memahami sumber utama agama Islam, yakni Alquran dan hadis," katanya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement