Jumat 09 Jul 2021 05:29 WIB

Wakil Panglima TNI untuk Jenderal tidak Ambisius

Wapang TNI dicari dari para jenderal yang mau kerja, bukan yang mau cari jabatan.

Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto (kedua kanan) didampingi KSAD Jenderal Andika Perkasa (kiri), KSAL Laksamana Yudo Margono (kedua kiri), dan KSAU Marsekal Fadjar Prasetyo (kanan) berbincang saat berziarah di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat (2/10/2020).
Foto: Antara/Aprillio Akbar
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto (kedua kanan) didampingi KSAD Jenderal Andika Perkasa (kiri), KSAL Laksamana Yudo Margono (kedua kiri), dan KSAU Marsekal Fadjar Prasetyo (kanan) berbincang saat berziarah di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat (2/10/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting/Wartawan Senior Republika

Ramai spekulasi siapa yang akan dipilih oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menjadi Panglima TNI. Termasuk siapa yang akan menjadi Wakil Panglima (Wapang) TNI. Posisi Wapang TNI terakhir ada pada tahun 2000. Persis 21 tahun lalu.

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2019 sudah ditandatangani Presiden Jokowi pada 18 Oktober 2019 lalu. Di situ disebutkan ada posisi Wapang TNI. Namun hingga kini, posisi Wapang TNI belum terisi juga.

Padahal pada November 2019, Kepala Staf Presiden (KSP) Jenderal TNI (Purn) Moeldoko sudah sesumbar jabatan Wapang TNI segera diisi. Kini, sudah hampir dua tahun, posisi orang kedua di Mabes TNI ternyata dibiarkan kosong. Spekulasi pun bermunculan.

Muncul pertanyaan. Apakah Presiden Jokowi sudah menawarkan posisi itu kepada para Kepala Staf Angkatan? Jika sudah menawarkan, kepada siapa orangnya? Apakah yang bersangkutan menolak? Apakah bisa menolak perintah Presiden?

Tentu publik penasaran. Kapan peristiwa itu terjadi? Mengapa, bagaimana, bilamana, di mana dan lain-lain, seperti pertanyaan wartawan untuk melengkapi tulisannya.  

Spekulasi ini harus diakhiri. Rumor harus dijawab dengan realitas. Pemerintahan Jokowi harus segera menjelaskan siapa yang akan menduduki posisi Wapang TNI untuk membantu Panglima TNI pengganti Marsekal TNI Hadi Tjahjanto.

Hadi diperkirakan dalam hitungan hari akan segera diganti mengingat ia sudah menjadi Panglima TNI sejak Desember 2017 lalu. Artinya sudah lebih dari 3,5 tahun menjadi orang nomor satu di Mabes TNI. Waktu yang cukup bagi jabatan ini di era reformasi.

Rata-rata jabatan Panglima TNI dalam kisaran 2-3 tahun. Hanya Jenderal TNI Endriartono  Sutarto yang paling lama menjabat di era reformasi (tahun 2002-2006) selama 3 tahun, delapan bulan. Setelah ia mengalami perpanjangan masa dinas militer, hingga usianya 58 tahun, 10 bulan. Atau menjelang 59 tahun.

Jenderal Endri diperpanjang oleh Presiden Megawati, dan diperpanjang lagi di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kembali ke Hadi Tjahjanto. Pada November 2021, ia henap 58 tahun. Usia pensiun dari dinas militer. Namun seperti Panglima TNI sebelumnya, Jenderal TNI Gatot Nurmantyo diganti tiga bulan jelang pensiun.

Kemungkinan besar Hadi juga akan diganti dengan pola yang hampir sama, yakni pada Juli atau Agustus 2021 ini. Soal siapa pengganti Marsekal Hadi, sudah diulas dalam tulisan sebelumnya di Republika Online, Selasa (6/7/2021) dengan judul Win-Win Solution untuk Cilangkap. Tulisan berikut akan fokus pada masalah Wakil Panglima TNI.   

Di bawah Panglima TNI

“Panglima dibantu oleh Wakil Panglima,” demikian bunyi Pasal 14 ayat (3) Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2019 tentang Susunan Organisasi TNI. Wakil Panglima (Wapang) TNI, menurut Perpres ini, merupakan koordinator pembinaan kekuatan TNI guna mewujudkan interoperabilitas/Tri Matra Terpadu, yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Panglima TNI.

Garis bawahi: berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Panglima TNI. Dari kalimat itu jelas, Wapang TNI bukan ‘rival’ dari Panglima TNI, justru membantu melaksanakan tugas harian Panglima TNI. Sehingga dibutuhkan loyalitas yang tinggi kepada Panglima TNI.

Panglima TNI sesungguhnya merupakan perpanjangan tangan Presiden selaku Kepala Negara. Sebagaimana dalam Pasal 10 UUD 1945 menyatakan “Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.”

Yang menarik dalam Perpres 66 Tahun 2019 tersebut, tidak disebutkan jabatan Wapang TNI harus yang sudah menduduki posisi Kepala Staf Angkatan. Sehingga selain para Kepala Staf Angkatan yang sudah berbintang empat, maka perwira tinggi bintang tiga (Letnan Jenderal, Laksamana Madya, Marsekal Madya) dapat menduduki jabatan tersebut sekaligus promosi menjadi bintang empat (Jenderal, Laksamana, Marsekal).

Berbeda dengan jabatan Panglima TNI seperti tertuang dalam UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI. Pada pasal 13 ayat (4) kandidat Panglima TNI adalah perwira tinggi bintang empat yang sedang atau pernah menjabat Kepala Staf Angkatan. Jadi semua Kepala Staf Angkatan memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi Panglima TNI.

Hanya yang sudah berpangkat bintang empat dan telah menduduki posisi Kepala Staf Angkatan yang bisa menduduki jabatan Panglima TNI. Jelas dan terang benderang.

Seperti diketahui KSAD Jenderal TNI Andika Perkasa (abituren/lulusan sekolah militer Akmil 1987), KSAL Laksamana TNI Yudo Margono (abituren AAL 1988-A), dan KSAU Marsekal Fadjar Prasetyo (abituren AAU 1988-B). Mereka memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi Panglima TNI pengganti Marsekal Hadi.  

Apabila jabatan Wapang TNI ini diambil dari para Kepala Staf Angkatan, sesungguhnya wajar saja jika mereka berambisi menjadi Panglima TNI. Lain halnya jika jabatan Wapang TNI diambil dari para jenderal bintang tiga AD, AL, AU yang tidak memiliki latar pernah menjadi Kepala Staf Angkatan.

Sebagaimana jabatan Wapang TNI saat dijabat Jenderal TNI Fachrul Razi (Oktober 1999- September 2000). Dia tidak pernah menjadi KSAD. Sebelumnya Facrul menjadi Kepala Staf Umum ABRI (1998–1999) dan Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan (1999).

Jadi, seperti kasus Fachrul Razi, maka jabatan Wapang TNI, misalnya, bisa diambil dari bintang tiga yang berada di bawah lingkup Mabes TNI, seperti Kasum TNI, Irjen TNI, Danjen Akademi TNI, Dansesko TNI, Dankodiklat TNI, Kepala Bais TNI, serta tiga Panglima Kogabwilhan.

Atau pun dari pejabat bintang tiga di lingkungan Kementerian Pertahanan, seperti Wakil Menhan, Sekjen Kemenhan, Irjen Kemenhan, Rektor Unhan, Wagub Lemhannas. Bisa pula dari bintang tiga yang ada di matra darat, laut, maupun udara.

Pola tersebut lebih memungkinkan terjadinya harmonisasi antara Panglima TNI dan Wakil Panglima TNI. Menghindari gesekan atau disharmoni, akibat rivalitas antara Panglima TNI dengan Wapang TNI, seperti contoh yang terjadi pada 1973-1974.

Lagi-lagi itu adalah hak prerogratif presiden selaku pemegang kekuasan tertinggi atas AD, AL, dan AU. Namun walau pun memiliki hak prerogratif, Presiden juga jangan sampai salah memilih pejabat tinggi militer tanpa mengindahkan persyaratan umum.

Misalnya, untuk menjadi KSAD, KSAL, dan KSAU. Diberikan kepada perwira tinggi yang pernah menjadi panglima komando utama operasional di matranya masing-masing. Seperti pernah menjadi Panglima Kodam di TNI AD, Panglima Komando Armada di TNI AL, dan Panglima Komando Operasi di TNI AU.  

Hal ini penting, karena para Kepala Staf Angkatan adalah calon Panglima (perang) TNI. Bagaimana mungkin Panglima TNI tidak pernah menjdi Panglima Kotama Operasi dan tidak paham tentang operasi gabungan, namun dijadikan Kepala Staf Angkatan, Wapang TNI, apalagi Panglima TNI. Jangan sampai dunia militer menertawakan Tuan Presiden.

Konflik Jenderal

Rivalitas antara Panglima TNI dengan Wapang TNI pernah terjadi pada 1973-1974. Kala itu Menteri Pertahanan Keamanan (Menhankam) merangkap sebagai Panglima ABRI (Pangab) Jenderal TNI Maraden Panggabean. Sebagai Wakil Panglima ABRI (Wapangab) Jenderal TNI Soemitro, merangkap sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkobkamtib).

Usai pecah peristiwa malapetaka 15 Januari 1974 (Malari) Jenderal Soemitro mengundurkan diri. Bukan hanya dalam kapasitas sebagai Pangkopkamtib saja, melainkan juga sebagai Wapangab. Soemitro berkonflik dengan Mayjen TNI Ali Moertopo sebagai Asisten Pribadi (Aspri) Presiden Soeharto, bidang Politik, Hankam, dan Intelijen.  

Ali Moertopo pun jabatannya rangkap sebagai Wakil Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin), kini disebut Badan Intelijen Negara (BIN). Bahkan sebagai pengendali opsus (operasi khusus), sebuah operasi intelijen khusus. Hubungan antara Ali Moertopo dan Kepala Bakin Letjen TNI Sutopo Yuwono, pun akhirnya tidak akur. Ada dua matahari kembar di Bakin.

Konflik elite militer saat itu tak terhindarkan. Soemitro juga tidak sejalan dengan Pangab Maraden Panggabean dalam melihat kasus malari 1974. Soemitro dan juga Gubernur DKI Jakarta Letjen TNI (Marinir) Ali Sadikin, juga dituding berambisi menjadi Presiden melalui jalur Pemilu yang akan berlangsung tahun 1977.

Soemitro lengser, lalu jabatan Aspri Presiden pun dibubarkan. Ali Moertopo 'menang' dan tetap di Bakin. Panggabean tetap sebagai Menhankam/Pangab. Ali Sadikin pun berhenti sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 1977.

Usai peristiwa Malari 1974, Presiden Soeharto yang masih jenderal aktif, menyusun formasi baru. Kepala Bakin dicopot dari Letjen TNI Sutopo Yuwono diserahkan kepada Letjen TNI Yoga Sugama. Jabatan Wapangab diganti dari Jenderal TNI Soemitro diserahterimakan kepada Jenderal TNI Surono Reksodimedjo yang sebelumnya menjadi KSAD.

Jabatan KSAD dari Surono diserahkan kepada Jenderal TNI Makmun Murod. Jabatan Wakil KSAD dari Letjen TNI Sayidiman Suryohadiprojo diserahkan kepada Letjen TNI Wahono. Gubernur Lemhannas dari Letjen TNI A Kosasih diserahkan kepada Letjen TNI Sayidiman Suryohadiprojo.

Jabatan Pangkopkamtib dari Jenderal TNI Soemitro langsung diambil alih kembali oleh Jenderal TNI Soeharto, sang presiden. Sebagai pelaksana tugas harian Kopkamtib, diserahkan kepada Laksamana TNI Sudomo. Ia pun menjadi jenderal Angkatan Laut yang sangat dipercaya Presiden Soeharto.

Wapang loyalis

Perlahan tapi pasti Laksamana Sudomo mendapatkan perhatian khusus dari Presiden Soeharto. Soeharto merasa puas dengan hasil kerja Sudomo, mantan KSAL pada 1969-1973. Setelah empat tahun (1974-1978) menjadi Kaskopkamtib, Sudomo menjadi Pangkopkamtib pada 1978. Sekaligus menjadi Wapangab mendampingi Pangab Jenderal TNI M Jusuf.

Jusuf juga merangkap sebagai Menhankam (1978-1983). Sudomo memang unik. Ia adalah pelaut sekaligus komando. Sebagai perwira Korps Pelaut, ia pernah mengikuti Sekolah Para Komando KKO (Korps Komando) Angkatan Laut, kini disebut Marinir (pasukan pendarat amfibi).

Sudomo merupakan perwira tinggi matra laut yang terlama menjadi Wapangab dalam catatan sejarah. Ia menjadi Wapangab selama lima tahun pada (17 April 1978-29 Maret 1983). Lelaki kelahiran Malang tahun 1926, kala itu menjadi jenderal yang ‘sangat berkuasa’ di era Orde Baru.

Sudomo adalah orang kepercayaan Presiden Soeharto di luar jenderal Angkatan Darat. Sebagai pelaksana tugas Kopkamtib, bisa dibilang Sudomo sebagai ‘Panglima’ Kopkamtib tidak resmi. Jadi sesungguhnya, ia berada di elite Kopkamtib selama sembilan tahun.

Bagi Presiden Soeharto, Sudomo adalah sosok yang tidak ada duanya di dunia militer. Sudomo memiliki loyalitas, integritas, kecerdasan, keteguhan, dan memiliki kualifikasi mengurusi banyak hal untuk kepentingan negara. Sampai-sampai ada istilah SDSB (Sudomo Datang Semua Beres).

Belum ada perwira tinggi Angkatan Laut hingga kini yang seperti Sudomo. Tidak ada. Dia manusia langka, seperti juga keberadaannya sebagai pelaut yang berkualifikasi komando. Yang menarik, dia bukan jenderal yang mau menonjolkan diri. Tetapi jenderal yang tahu diri dan tahu menempatkan diri di depan atasannya, yakni Presiden Soeharto.

Daya tarik Sudomo bagi Soeharto, karena arek Malang itu tidak memiliki ambisi yang besar untuk menjadi Pangab, apalagi menjadi Presiden RI. Soeharto melihat ambisi itu ada pada diri Jenderal TNI Soemitro dan Letnan Jenderal TNI Ali Moertopo. Keduanya kemudian ‘ditendang’ dari lingkaran Istana.

Soeharto pun curiga dengan popularitas Pangab (1978-1983) Jenderal TNI M Jusuf dan operasi senyap Pangab (1983-1988) Jenderal TNI LB Moerdani. Jusuf pun di 'BPK'-kan. Dijadikan ketua BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Moerdani pun dicopot dari jabatan sebagai panglima ABRI selang dua pekan jelang Sidang Umum MPR 1988.

Kopkamtib yang jadi arena 'mainan' Benny Moerdani pun dimuseumkan. Diganti dengan lembaga baru, Badan Koordinasi Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstanas). 'De-Benny-isasi' pun dilakukan. Orang-orang yang menjadi pendukung Benny dipreteli.

Bagaimana dengan Sudomo? Dia tetap terpakai oleh Soeharto dengan beragam jabatan elite. Sudomo pensiun dari dunia militer tahun 1983 di usia 57 tahun. Mengalami dua kali perpanjangan masa dinas militer. Saat itu, usia pensiun perwira militer adalah 55 tahun.

Usai pensiun Sudomo diberikan jabatan Menteri Tenaga Kerja pada 1983-1988. Setelah itu, menjadi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (1988-1993). Kemudian terakhir sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) 1993-1998.

Tipikal seperti Laksamana Sudomo kini dibutuhkan untuk mengisi jabatan Wapang TNI yang segera akan dihidupkan kembali tahun ini. Ya, tipikal loyalis, memiliki integritas tinggi, dan tidak memiliki ambisi untuk naik jabatan. Apalagi sampai berkeinginan menjadi Presiden, seperti kecurigaan Soeharto terhadap sejumlah jenderal yang melingkari kekuasaannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement