Kamis 08 Jul 2021 17:18 WIB

8 Miliar Orang Berisiko Malaria dan DBD karena Krisis Iklim

Mengurangi emisi gas rumah kaca dapat mencegah jutaan orang tertular malaria dan DBD

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
Nyamuk adalah salah satu penyebar penyakit malaria (ilustrasi).
Foto: AP
Nyamuk adalah salah satu penyebar penyakit malaria (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Studi terbaru yang dipimpin oleh London School of Hygiene & Tropical Medicine (LSHTM) mengatakan, bahwa lebih dari delapan miliar orang berisiko terkena malaria dan demam berdarah (DBD) pada 2080 karena krisis iklim. Risiko tersebut akan terjadi jika emisi gas rumah kaca terus meningkat tanpa henti.

Menurut proyeksi terbaru yang diterbitkan dalam jurnal Lancet Planetary Health itu, malaria dan demam berdarah akan menyebar hingga mencapai miliaran orang. Para peneliti memperkirakan bahwa hingga 4,7 miliar lebih banyak orang dapat terancam oleh dua penyakit yang ditularkan oleh nyamuk paling menonjol di dunia, dibandingkan dengan angka tahun 1970-1999.

Baca Juga

Angka-angka tersebut didasarkan pada proyeksi pertumbuhan populasi sekitar 4,5 miliar selama periode yang sama, dan kenaikan suhu sekitar 3,7 Celcius pada tahun 2100. Studi tersebut menemukan bahwa jika tingkat emisi terus meningkat pada tingkat saat ini, efeknya pada suhu global dapat memperpanjang musim penularan lebih dari satu kali lipat untuk malaria dan empat bulan untuk demam berdarah selama 50 tahun ke depan.

Asisten profesor di LSHTM dan salah satu penulis laporan Felipe J Colon-Gonzalez mengatakan, penelitian ini sangat menyarankan bahwa mengurangi emisi gas rumah kaca dapat mencegah jutaan orang tertular malaria dan demam berdarah. Menurutnya, hasil menunjukkan skenario rendah emisi secara signifikan mengurangi lama penularan, serta jumlah orang yang berisiko. Tindakan untuk membatasi kenaikan suhu global jauh di bawah 2C [3.6F] harus dilanjutkan.

"Tetapi pembuat kebijakan dan pejabat kesehatan masyarakat harus bersiap untuk semua skenario, termasuk skenario di mana emisi tetap pada tingkat tinggi. Ini sangat penting di daerah yang saat ini bebas penyakit dan di mana sistem kesehatan cenderung tidak siap untuk wabah besar," ujarnya dikutip laman The Guardian, Kamis (8/7).

WHO mencatat, malaria membunuh lebih dari 400 ribu orang setiap tahun, kebanyakan anak-anak. Pada 2019, lebih dari 90 persen dari perkiraan 230 juta kasus terjadi di Afrika. Saat ini, terapi kombinasi berbasis artemisinin adalah pengobatan terbaik yang tersedia untuk bentuk malaria paling berbahaya, P falciparum, yang menyumbang 90 persen kasus.

Demam berdarah tidak memiliki pengobatan khusus. Penyakit itu kurang dilaporkan meski hampir setengah populasi dunia berisiko. Demam berdarah diperkirakan menginfeksi 100 juta hingga 400 juta orang setiap tahun, dan membunuh 20.000 orang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement