Kamis 08 Jul 2021 11:45 WIB

Sistem Pendidikan Dinilai Belenggu Guru Puluhan Tahun

Peran guru di masa depan bukan hanya mengajar atau menyelesaikan materi kurikulum.

Guru sedang mengajar (ilustrasi)
Foto: padang-today.com
Guru sedang mengajar (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Selama ini, stagnansi kualitas pendidikan dan SDM di Indonesia disinyalir disebabkan rendahnya kualitas guru. Meskipun permasalahan ini sudah dikenali sejak lama, akan tetapi solusi tidak kunjung didapatkan untuk melakukan perubahan atas hal tersebut.

Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Muhammad Nur Rizal, memiliki pendapat berbeda mengenai penyebab stagnansi kualitas pendidikan.  Menurut dia, justru sistem pendidikan Indonesia sendiri yang telah membelenggu guru selama puluhan tahun. Sehingga, solusi persoalan tersebut tak kunjung tercipta.

"Pola pengembangan profesionalisme guru di Indonesia selama ini berorientasi pada pemenuhan administrasi, sehingga penilaiannya lebih bersifat karikatif, atau tidak nyata. Sebatas konsep yang teknokratis," kata Rizal dalam acara webinar daring yang diselenggarakan Balai Besar Pengembangan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Vokasi bidang Pertanian, Selasa (6/7).

Meskipun Kementerian pendidikan telah  mencoba mengembangkan pelatihan Guru Penggerak, menurut Rizal, hal tersebut tidak efektif karena pemerintah daerah masih berorientasi pada pemenuhan administrasi.

Menurut Rizal, ada tiga aspek yang harus diubah dalam pengelolaan pengembangan profesionalisme guru, yaitu aspek pemberian otonomi kepada guru untuk memiliki kekuasaan dalam mengambil keputusan atau kepemilikan atas praktik pengajaran mereka, pembentukan komunitas guru yang saling berbagi praktik pengajaran dan mendukung satu sama lain dalam rangka mempertahankan standar kualitas pengajaran dan tidak terlalu berorientasi pada pemenuhi administrasi, dan kesempatan luas untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan baru yang sesuai dengan kebutuhan zaman. 

Ketiga aspek ini diharapkan dapat meningkatkan kompetensi profesional, pedagogi, sikap kepribadian dan ketrampilan sosial guru. "Sayangnya, pelatihan kita lebih banyak berorientasi pada peningkatan pedagogi dan profesionalisme karier guru, kurang pada aspek sikap kepribadian dan sosial," ujar Rizal.

Salah satu contoh praktik otonomi guru adalah bagaimana pemerintah baik kementerian, khususnya pemerintah daerah, memberikan ruang bagi guru untuk membuat kurikulum sekolah sendiri yang dapat menerjemahkan kurikulum pusat. 

"Ruang itu bisa dalam bentuk kebijakan daerah yang memberikan alokasi seperempat waktu dari kewajiban guru bekerja selama 24 jam seminggu untuk mendapatkan sertifikasi digunakan untuk kegiatan pelatihan atau bertukar pengalaman antar guru dalam membuat kurikulum sekolah," saran Rizal dalam siaran pers yang diterima Republika, Kamis (8/7).

Menurutnya, pemberian otonomi ini penting karena antar guru punya peluang untuk saling berbagi dan mendukung satu sama lain dalam rangka meningkatkan standar kualitas pengajarannya.  Jika kebijakan ini terus-menerus terjadi, maka akan tercipta budaya baru di mana guru merasa percaya diri dan memiliki kemandirian untuk mengambil keputusan atas praktik pengajaran selama ini. Guru akan menjadi pelaku utama bagi pengembangan siswanya secara holistik karena gurulah yang paling memahami kondisi mental dan kompetensi siswanya.

Selain itu, pembentukan komunitas guru yang saling berbagi praktik pengajaran dan mendukung satu sama lain dalam rangka mempertahankan standar kualitas pengajaran yang tinggi perlu dilakukan untuk memberikan kebanggaan atau kepuasan pada profesi guru, kepuasan pada lingkungan kerjanya dan kepercayaan diri. 

Sayangnya, komunitas guru seperti Kelompok Kerja Guru (KKG), Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Kelompok Kepala Sekolah (KKS), lebih banyak dipakai untuk menyeragamkan proses belajar antar sekolah serta capaian belajar yang diharapkan dari siswa didiknya, seperti pembuatan soal ujian bersama, pembuatan RPP bersama, dan administrasi pengajaran lainnya. Sehingga, guru-guru secara tidak sadar terbentuk rasa tidak memiliki kewenangan untuk pengetahuan dan kompetensi profesionalismenya.

Hal itu diakibatkan tuntutan yang terlalu fokus pada pemenuhan administrasi oleh pemerintah daerah. "Kondisi inilah yang perlu dibongkar agar guru tidak terkukung dalam budaya feodalisme standarisasi," kata dosen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi Universitas Gadjah Mada itu.

Rizal menceritakan, di lapangan, guru lebih banyak mengeluhkannya karena program baru berarti penambahan beban administrasi baru, seperti program Sekolah Adiwiyata, Sekolah HAM, dan berbagai macam program lain tidak berdampak pada peningkatan profesionalisme pengajaran guru serta memberikan kontribusi langsung pada hasil belajar siswa, tetapi lebih pada tujuan politis kelancaran program baru tersebut. 

"Pola pengembangan profesionalisme guru seperti ini akan berdampak pada kualitas hasil belajar siswanya. Dengan bukti, stagnannya kemampuan literasi penalaran siswa kita selama 20 tahun sejak era reformasi," ujar Rizal.

Rizal pun mengajak pemerintah untuk berperan lebih dalam memfasilitasi dan menciptakan iklim untuk mewujudkan pengembangan profesionalisme guru yang baru ini. Jika profesionalisme guru yang baru ini diterapkan secara konsisten, maka akan tercipta budaya guru yang sadar dan mampu untuk merevisi pengajarannya terus menerus bagi peningkatan kualitas hasil belajar siswa. 

Guru akan menjadi fasilitator yang mendorong siswanya dalam proses belajar, menemukan solusi-solusinya sendiri dan berfokus pada penalaran dan analitis, bukan di konten kurikulum. "Peran guru di masa depan bukan hanya mengajar atau menyelesaikan materi kurikulum, tetapi meneladani dan menjadi among bagi pengembangan individual siswanya, seperti yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara," kata Rizal.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement