Kamis 08 Jul 2021 10:51 WIB

Kenapa China Pereteli Perusahaan Teknologi Sendiri?

Tencent menguasai data yang lebih besar ketimbang PKC.

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
Fan Jiashan/Costfoto/picture alliance
Fan Jiashan/Costfoto/picture alliance

Siapapun di China saat ini "tidak dianjurkan untuk masuk dalam daftar orang paling kaya,” kata Maximilian Mayer, Guru Besar Politik Teknologi Global di Universitas Bonn, Jerman.

Alasannya, laku Pemerintah China yang belakangan giat mengekang perusahaan-perusahaan teknologi terbesar. Korban teranyar, perusahaan layanan jasa transportasi, Didi Chuxing, yang baru-baru ini berhasil mencatatkan diri di bursa saham New York.

Lembaga Pengawas Siber Cina (CAC) menuduh Didi melanggar UU Keamanan Nasional. Akibatnya saham perusahaan anjlok lebih dari 5 persen pada Jumat (2/7) silam.

Hal serupa melanda Colin Huang yang oleh Forbes ditaksir memiliki kekayaan 42 miliar dolar AS dan termasuk manusia paling kaya di bumi. Belum lama ini, dia secara mengejutkan mengumumkan pengunduran diri dari Pingduoduo, platform bisnis pertanian yang membesarkan sang miliarder.

Perusahaan lain, Yunmanman dan Huochebang di sektor transportasi, serta Biss Zhipin yang menawarkan layanan tenaga kerja, termasuk dalam bidikan CAC. Sejak Minggu (4/7), semua platform internet di Cina diwajibkan mencabut aplikasi milik semua perusahaan tersebut.

Adapun pendiri situs Alibaba, Jack Ma, telah lebih dulu berurusan dengan Presiden Xi Jinping dan akhirnya mundur sebagai direktur utama. Hal serupa dilakukan pendiri-pendiri lain.

Kekuasaan atas data

Selain soal perlindungan data, laku Partai Komunis (PKC) mengebiri perusahaan teknologi didorong oleh insting kekuasaan.

"Dalam seratus tahun, PKC mengumpulkan 90 juta anggota. Sebuah ekosistem internet seperti yang dibangun perusahaan layanan pesan pendek, Tencent, punya 1,2 miliar pengguna aktif hanya dalam sepuluh tahun,” kata Mayer.

Dengan jumlah itu, menurutnya, "Tencent menguasai data yang lebih besar ketimbang PKC.”

Hal ini tidak mengejutkan, kata Kirsten Tatlow, peneliti di Masyarakat Jerman untuk Kebijakan Luar Negeri (DGAP). "Cina melihat perekonomian dari kacamata keamanan.” Dia meyakini langkah Beijing berkaitan dengan kebijakan perusahaan teknologi yang mencatatkan diri di bursa-bursa AS.

"Isyarat dari partai ini multi-tafsir,” lanjut Mayer. Dia meyakini PKC ingin memaksa perusahaan tunduk pada target-target partai. "Tapi juga untuk membatasi orangnya sendiri, para pengusaha super kaya yang sering menikmati kultus individu di Cina.”

Namun begitu, kebijakan pemerintah Cina bukan tanpa konsekuensi bisnis. Baru-baru ini, perusahaan investasi Blackrock menyatakan mundur dari saham perusahaan teknologi Cina.

"Kami ingin menjauh dulu dari platform-platform terbesar dan dominan di Cina,” kata Direktur Blackrock, Lucy Liu.

Pun perusahaan-perusahaan AS ikut terdampak. Investigasi terhadap Didi misalnya turut merugikan Apple yang menanam saham di perusahaan itu.

"Saat ini investor mengambil risiko jika menanam saham di perusahaan data di Cina,” tulis Kirsten Tatlow. "Pemerintah akan melakukan segala hal yang diperlukan untuk mempertahankan kekuasaan atas data-data itu.”

Artikel ini diterjemahkan dari bahasa Jerman dan disunting ulang sesuai konteks

rzn/gtp

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement