Senin 05 Jul 2021 18:50 WIB

7 Ajaran Akidah Pokok Menurut Pendiri Mazhab Asyariyah

Imam Abu Hasan Al Asyari mencetuskan pemikiran Aswaja dalam teologi akidah

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Nashih Nashrullah
Imam Abu Hasan Al Asyari mencetuskan pemikiran Aswaja dalam teologi akidah. Ilustrasi teologi akidah
Foto: republika
Imam Abu Hasan Al Asyari mencetuskan pemikiran Aswaja dalam teologi akidah. Ilustrasi teologi akidah

REPUBLIKA.CO.ID, — Abu Hasan Ali bin Ismail Al  Asyari lahir di Kota Basrah pada 260 Hijriyah atau 873 Masehi. Putra seorang ulama hadis ini wafat di Baghdad kira-kira 63 tahun kemudian. 

Sepanjang hayatnya, keturunan sahabat Nabi SAW, Abu Musa Al Asyari, tersebut menekuni dunia dakwah dan pendidikan. Salah satu peran pentingnya ialah sebagai seorang mutakalim besar.

Baca Juga

Pemikirannya membuka jalan bagi teologi Islam yang moderat, sekaligus menyingkirkan ekstrem-ekstrem dalam diskursus kalam, semisal aliran Mutazilah. 

Di antara guru-gurunya adalah Imam Al Hafizh Zakariya bin Yahya Al  Saji, Abu Khalifah Al Jumahi, Abdurrahman bin Khalaf Al Dhabbi, Sahal bin Nuh  Al Bashri, Muhammad bin Ya'qub Al Maqburi, Imam Abu Ishaq Al Marwazi As Syafi'i, dan Abu Ali Muhammad Al Jubbai. Nama yang terakhir itu ialah bapak tirinya. 

Darinya, Abu Hasan Al Asyari mengenal Mutazilah dan sebagaimana disebut beberapa riwayat sempat mengikuti aliran tersebut. Akan tetapi, dirinya saat berusia 40 tahun kemudian memperoleh hidayah. Sejak itu, lelaki yang pernah mimpi bertemu Rasulullah SAW tersebut tidak hanya meninggalkan Mutazilah, tetapi juga menentangnya dengan dalil-dalil dan argumentasi-argumentasi yang mengena. 

Pemikiran teologis yang dicetuskan Al Asyari pada gilirannya menjadi dasar dari manhaj Asyariyah. Sekurang-kurangnya, terdapat tujuh ajaran pokok dalam hal ini. Semuanya termaktub dalam kitab Al-Luma' Fi ar-Radd 'ala Ahl az-Ziyagh wa al-Bida (Bekal dalam Menjawab Orang-orang yang Menyimpang dan Melakukan Bid'ah) dan Al-Ibanah 'an Ushul ad- Diyanah (Uraian tentang Dasar-dasar Agama). 

Pertama, sifat Allah SWT. Kedua, kedudukan Alquran. Alquran adalah kalam Allah (firman Allah SWT) dan bukan makhluk. Karena Alquran adalah perkataan Allah SWT, pastilah Alquran bersifat qadim. Pada poin inilah, Al Asyari menentang konsep khalq al-Qur'an yang digadang-gadang Mutazilah, khususnya pada Era Mihnah (zaman persekusi). Ketiga, persoalan melihat Allah SWT di akhirat. Menurutnya, Allah SWT akan dapat dilihat di akhirat dengan mata kepala. Sebab, Allah SWT mempunyai wujud. 

Keempat, ihwal perbuatan manusia. Perbuatan-perbuatan manusia diciptakan oleh Allah SWT. Walaupun Al Asyari mengakui adanya daya dalam diri manusia, daya itu tidak efektif. 

Kelima, antropomorfisme Al Asyari berpendapat bahwa Allah SWT mempunyai mata, muka, tangan, dan sebagainya, seperti disebut dalam Alquran. Akan tetapi, tidak diketahui bagaimana bentuknya.

Keenam, pembahasan tentang dosa besar. Orang Mukmin yang berdosa besar tetap dianggap Mukmin selama masih beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Ia hanya digolongkan sebagai orang fasik atau durhaka. Tentang dosa besar, perkara itu diserahkan kepada Allah SWT, apakah dosanya akan diampuni atau tidak.

Ketujuh, keadilan Allah SWT. Allah SWT adalah Zat yang menciptakan seluruh alam semesta. Allah memiliki kehendak mutlak terhadap ciptaan- Nya. Karena itu, Dia dapat berbuat sekehendak-Nya. Ia dapat saja memasukkan seluruh manusia ke dalam surga, sebaliknya dapat pula memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka.   

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement