Ahad 04 Jul 2021 06:09 WIB

Banyak Hoaks Soal COVID di Indonesia, Sangat Berbahaya

Informasi hoaks menyebar luas kebanyakan melalui media sosial di Indonesia

Red:
Hoaks Covid-19
Hoaks Covid-19

Dua minggu yang lalu, Gusman Suherman kehilangan ayahnya yang tertular COVID-19.

Komedian yang tinggal di Bandung, Jawa Barat tersebut mengatakan ayahnya termakan oleh hoaks.

"Almarhum bapak kemakan hoaks yang katanya kalau ke rumah sakit akan di-COVID-kan," kata Gusman. 

"Efeknya ketika sakit, beliau enggak mau dibawa ke rumah sakit padahal kondisinya sudah lumayan buruk," kata Gusman yang juga 'podcaster' untuk 'Belagu Podcast'. 

Gusman tahu kalau banyak informasi yang salah soal COVID, termasuk teori konspirasi yang beredar. 

Awalnya ia tidak peduli jika ada yang percaya soal teori konspirasi. 

Tapi kini ia menjadi khawatir. 

"Saya khawatir kalau informasi ini sampai ke orang-orang yang malas mencari tahu kebenaran atau membaca, seperti grup di WhatsApp," ujarnya kepada ABC Indonesia.

"Kemungkinan mereka untuk mencari informasi tandingan agak sulit … jadinya menelan bulat-bulat informasi yang terima di WhatsApp."

Hilangnya kepercayaan publik

Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia mencatat 1.723 sebaran hoaks menyangkut soal vaksin dan COVID-19 sepanjang Januari hingga Juni 2021 di berbagai platform media sosial, terbanyak ditemukan di Facebook.

Menurut laporan terbaru yang dikeluarkan oleh ISEAS-Yusof Ishak Institute teori konspirasi global COVID-19, seringkali dikaitkan dengan sentimen anti-vaksin, anti Pemerintah Indonesia dan anti-China.

Penelitian yang berfokus pada pengguna TikTok di Indonesia tersebut juga menemukan kebanyakan pesan disebarkan oleh mikro-influencer keagamaan.

Dr Yatun Sastramidjaja, salah satu penulis laporan tersebut, mengatakan tren ini mengkhawatirkan.

"Alasan pertama, karena menunjukkan kegagalan kronis Pemerintah untuk mendapatkan kepercayaan publik," jelas Dr Yatun yang juga asisten profesor di University of Amsterdam.

"Kedua, dalam iklim ketidakpercayaan, kebingungan, dan ketakutan yang berkembang, mikro-influencer religius dapat menawarkan rasa perlindungan kepada pengikut mereka, dengan cara memelihara keyakinan pada kekuatan agama yang melindungi dan rencana yang lebih besar dari Yang Mahakuasa."

Yanuar Nugroho, sosiolog di ISEAS menilai kondisi masyarakat yang rentan terhadap disinformasi salah satunya karena persepsi soal risiko di kepala masyarakat soal pandemi tidak terbentuk.

Menurutnya, di masa krisis seperti saat ini, Pemerintah bertanggung jawab menyampaikan persepsi risiko karena akan menentukan bagaimana masyarakat bersikap menghadapi virus corona.

"Mixed messages [pesan yang berbeda] itu enggak boleh. Kesalahan paling fatal pertama dari Pemerintah adalah bahwa pesan yang disampaikan ambigu, bahkan sampai detik ini."

Yanuar mencontohkan, pemerintah melarang mudik tetapi memperbolehkan warga ke tempat-tempat wisata.

"Atau imbauan jangan traveling dulu, tapi sekarang Garuda membuat promo: Terbang dengan Garuda, dapatkan vaksinasi gratis."

"Ini menurutku menunjukkan ketidakmampuan Pemerintah membangun persepsi risiko."

Menurutnya pesan yang berbeda-beda ini disebabkan karena Pemerintah sendiri tidak punya pemahaman, persepsi, dan satu suara tentang pandemi.

"Tentu saja ada banyak faksi di pemerintah, tapi tidak bisa tidak, dalam keadaan segenting ini, pemerintah perlu punya persepsi tunggal," katanya.

Kondisi yang dihadapi Indonesia saat ini, menurut Yanuar, adalah gabungan antara ketaatan masyarakat pada protokol kesehatan yang rendah dan pemerintah yang terus-menerus terlihat ragu, tidak bisa mengambil sikap, antara mendahulukan kesehatan atau ekonomi, atau politik.

Tak merasa sedang ada krisis

Epidemiolog Universitas Indonesia, Dr Pandu Riono menggunakan istilah yang lain.

Ia menyebut bahwa alih-alih mencapai 'herd immunity', Indonesia sudah mencapai 'herd stupidity'.

 "Istilah herd stupidity itu bermula ketika saya mengomentari orang yang mau mudik, enggak dilarang oleh pemerintah, masyarakatnya juga enjoy aja, malah pulang duluan, ada mudik tahap pertama, ada mudik yang gampang, yang susah, itu semua terjadi," kata Dr Pandu kepada ABC.

Dr Pandu juga menyebut Pemerintah Indonesia tidak belajar, tidak mau belajar dan tidak mau mendengar pendapat para ahli dan pakar kesehatan masyarakat.

Menurut Dr Pandu, tidak tertutup kemungkinan 'stupidity' atau kebodohan ini juga terjadi di kalangan akademik.

Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Indonesia, Profesor Wiku Adisasmito menanggapi istilah 'herd stupidity' tersebut kepada ABC Indonesia.

"Kita perlu bersatu untuk melawan COVID-19," tegas Profesor Wiku.

"Kalaupun ada yang dinilai stupid, siapa yang dinilai pintar dalam menanganinya?" ujarnya kepada Hellena Souisa.

Profesor Wiku mengatakan Pemerintah Indonesia telah melakukan yang terbaik dan bertanggung jawab atas situasi pandemi COVID-19 saat ini.

Gusman mengatakan istilah 'herd stupidity' sebenarnya sedikit 'jahat', namun di satu sisi ia setuju.

"Setuju enggak setuju, tapi setujunya mungkin karena beberapa kalangan memang sudah bebal," ujarnya. 

"Tapi untuk beberapa kalangan yang tidak percaya dengan COVID gara-gara ekonomi terdesak, saya juga tidak bisa menyalahkan mereka."

Kini telah kehilangan sang ayah, Gusman berharap agar orang-orang tidak langsung menyebarkan informasi yang belum tentu benar.

"Tapi kalau memang malas buat mencari apakah info itu benar atau tidak, ya sudah jangan langsung diyakini atau disebarkan dulu."

"Simpan buat diri sendiri dulu saja."

Baca laporannya dalam Bahasa Inggris

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement