Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Karta Raharja Ucu

Lapor Pak! Keluarga Saya Positif Covid

Curhat | Saturday, 03 Jul 2021, 00:20 WIB
Bapak ketika menjalani swab test

Bulan baru saja berganti, Juni ke Juli. Tak ada lagi hujan. Pukul 08.00 WIB, 1 Juli 2021, Bapak mertua saya yang tinggal satu atap dinyatakan positif Covid-19 setelah melakukan swab test. Istri saya yang menemani swab test pun hasilnya sama: garis dua, positif.

Di rumah kami, ada tujuh orang yang hidup berdampingan. Ibu, Bapak, saya, istri, dan tiga anak; dua laki-laki, satu perempuan. Masing-masing berusia 9 tahun, 2,5 tahun, dan 1 tahun. Ada satu anggota lagi, ART yang menjaga anak saya tetapi tidak tinggal satu rumah melainkan pulang pergi, Mba L namanya.

Setelah Bapak dan istri dinyatakan positif, saya mengajak Ibu dan anak pertama serta anak kedua untuk swab test. Ini kali kedua anak-anak saya swab test, di tempat yang sama. Anak kedua saya, perempuan, sempat takut, tapi saya bujuk karena yang mau di-swab test adalah Aang-nya. "Kan mau jadi dokter, Nok," kata saya membujuk. "Jadi harus ketemu dokter dulu, biar Nok belajar jadi dokter."

Putri saya mengangguk. Namun, anggukan kepalanya berubah menjadi tangisan saat dia yang awalnya sedang memeluk saya karena ngantuk, jadi terbangun ketika melihat petugas perempuan memakai APD lengkap muncul di hadapannya.

"Gak mau jadi dokter, maunya pulang aja," kata putri saya ketika hendak dites usap. Drama terjadi. Alhamdulillah tes rampung dengan sedikit pemberontakan.

Tak sampai 30 menit hasil swab test keluar. Ibu dan dua anak saya itu dinyatakan positif Covid-19. Qadarallah hanya saya yang dinyatakan negatif.

Alhamdulillah, Innalillahi wa Innalillahi Rajiun.

Sementara Mba L memilih isolasi mandiri di rumahnya. Ia penyintas Covid-19, karena beberapa bulan lalu sempat dirawat lantaran terjangkit virus tersebut. Atas permintaan adiknya, Mba L isolasi mandiri karena tidak ada gejala sama sekali, tak mau di-swab test. Ia pun saya liburkan.

Anak bungsu saya yang tidak dites usap, terpaksa ikut isolasi mandiri bersama lima anggota keluarga lainnya. Tak tega tentunya memaksakan dia di-swab test.

Di hari pertama, Bapak sempat pusing, suhu tubuh sempat mencapai 37,2 derajat, mual. Namun Alhamdulillah, beliau tidak merasakan sesak nafas. Bisa beraktivitas seperti biasa meski sedikit lemas, dan menurut pengakuannya tidak merasakan (sakit) apa-apa kecuali pusing. Di hari kedua, suhu tubuh Bapak turun dan demam mulai mereda, meski masih sedikit pusing.

Dari Bapak lah, cerita tamu tak diundang bernama Covid-19 itu mampir ke rumah kami.

Sekitar tujuh hari lalu, Bapak sempat sakit, pusing, dan meriang. Saya menduga itu bukan gejala Covid-19, karena bertahun-tahun tinggal bersama Bapak, setiap kali beliau sakit pasti gejalanya seperti itu. Jadi saya antarkan beliau ke dokter yang selalu ditemuinya ketika sakit. Dokter Dewy namanya. Sugestinya, setiap sakit harus bertemu dr Dewi, setelah itu Bapak akan sembuh. Benar saja, setelah berobat ke dr Dewi, disuntik, diberi obat, minum, istirahat, esok harinya Bapak kembali pulih.

Namun, saat ini kita sedang hidup di atmosfer virus sedang merajalela. Bapak yang daya tahan tubuhnya mungkin belum pulih 100 persen, keluar rumah tanpa prokes yang ketat. Pakai masker seadanya. Jika diberi tahu, terkadang tak dipatuhi. Salah saya juga yang kurang (lebih) bawel sehingga Bapak abai. Entah Bapak tertular di mana dan dari siapa, karena Bapak berinteraksi dengan banyak orang yang terkadang tanpa berjarak. Alasannya, Bapak sudah sulit mendengar sehingga harus mendekatkan telinganya. Celakanya, tak sedikit yang berinteraksi tidak memakai masker.

Banyak orang yang teriak-teriak tidak percaya Covid-19, konspirasi, hoax, pokoknya preketek-lah dengan Covid-19. Namun, ketika tahu ada kenalannya yang dinyatakan positif Covid-19, mereka tidak berani mendekat, takut tertular. Lambemu, cangkemmu jalok dijambak.

Balik lagi ke cerita, di hari ketiga pascaberobat, tubuh Bapak kembali meriang. Panas tubuh 37,2 derajat, pegal-pegal, dan pusing. Saya curiga Bapak gejala Covid-19 kali ini, jadi saya mulai menjauhkan anak-anak. Hingga sore penciuman Bapak masih ada, tetapi selepas Maghrib, setelah saya memijat dengan minyak angin cap kapak Bapak bilang tidak ada rasanya. Tidak berbau. Deng... jantung saya seperti lempengan simbal yang dipukul menggunakan pentungan satpam. Ditambah ketika memijat Bapak, saya tidak memakai masker.

Saya lalu meminta Bapak mencium minyak sereh, minyak wangi, sampai menyemprotkan kamar Bapak dengan semprotan disinfektan rasa lemon. "Gak ada baunya," kata Bapak sembari menggelengkan kepala. Padahal, saya yang langsung keluar kamar untuk mencari dan memakai masker KN95, dobel, masih bisa mencium aroma lemon.

Yup, tak salah, gejala Covid-19 sudah ada di Bapak. Ibu panik, khawatir. Namun saya coba tenangkan. "Besok kita swab test ya, Pak. Karta takutnya gejala Covid," kata saya.

Jam 2 pagi, saat selesai ke kamar mandi, saya minta beliau cek suhu tubuhnya dengan termometer digital. Suhu tubuh Bapak turun, jadi 36,1. Pagi harinya indera penciuman Bapak juga mulai kembali. Beliau mulai mencium aroma minyak kayu putih. Ibu sempat gembira, dikiranya bukan Covid-19. Namun kegembiraan ibu runtuh saat hasil swab test Bapak keluar: positif!

"Ya sudah," kata istri saya dengan nada tenang dan kepala masih terbalut jilbab, cantik. "Jalanin aja, kita isolasi mandiri."

Saya langsung melapor situasi ke kantor via WhatsApp Grup. Tanggung jawab pekerjaan saya terpaksa harus rekan kerja yang memikulnya. "Lapor Pak! Mohon izin, Bapak Ibu, istri dan anak-anak saya positif Covid."

Saya bersyukur bisa bekerja di Republika. Punya rekan-rekan kerja yang sholeh dan sholehah. Tak pernah saling sikut, tak pernah saling julid. Doa dan dukungan pun mengalir dari rekan-rekan saya.

Saya juga langsung lapor RT diteruskan ke RW, juga lapor kepada ketua satgas covid-19 Jakarta Selatan. Pesan sampai, dan saya bilang keluarga saya sedang isolasi mandiri. Kondisi saya dan keluarga pun katanya akan diteruskan ke Puskesmas, tetapi sampai hari ini belum ada yang menghubungi dari pihak Puskesmas.

Sebagai langkah awal, saya memesan berbagai macam vitamin lewat online. Vitamin C, B, sampai obat herbal. Membeli kelapa, buah naga, jeruk, dll. Masha Allah, banyak juga orang baik yang mengirimkan makanan, mainan, dan obat-obatan. Dan tentu saja dibarengi semangat dan doa yang melangit. Terima kasih.

Pagi hari mereka berjemur. Setiap dua jam sekali pun saya meminta istri memantau suhu tubuh, detak jantung, dan kadar oksigen dalam darah mereka. Alhamdulillah sejauh ini normal.

Selama dua hari isolasi pun Bapak, Ibu, istri dan anak-anak saya menjalani kegiatan seperti biasa. Anak kedua dan bungsu saya tetap aktif, kadang bertengkar, kadang tertawa bersama. Si sulung juga tetap seperti biasa. Bapak dan Ibu mengurangi kegiatan.

Sebagai bagian dari ikhtiar, saya akhirnya memisahkan diri ke kamar di rumah samping. Kebetulan ada satu kamar kos kosong karena penghuni sebelumnya pindah. Kamar itu berbeda bangunan tapi masih satu rumah.

Ini hari kedua saya memisahkan diri. Karena saya sendirian, jadinya malah saya yang berasa isolasi mandiri. Sementara anak-anak dan istri serta orang tua berada di satu rumah yang sama. Rasanya sedih, pasti. Apalagi anak perempuan saya selama 1,5 tahun ini, sejak adiknya lahir, selalu tidur bareng saya di kamarnya dengan dinding berwarna pink. Jadi saban malam jika terbangun minta susu pasti yang dicari ayahnya.

Malam pertama, tanpa saya, tentu saja dia jejeritan. Putri saya teriak karena ingin tidur tapi ditemani ayahnya. Sampai akhirnya ditenangkan ibunya dan bersedia tidur sendiri setelah diberi pengertian. Jam 2.30 pagi, seperti biasa dia sempat teriak, minta susu. Karena kamar saya dan kamar yang dia tempati hanya terpisah satu ruangan gudang, suaranya terdengar jelas dan membangunkan saya.

"Abati... Abati... di mana kamu... Ranum sayang Abati..."

Dua menit, selepas itu putri saya kembali diam. Ditenangkan Bundanya. Malam kembali hening. #1

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image