Jumat 02 Jul 2021 12:28 WIB

PPKM Darurat, Pengusaha: Langkah Mundur untuk Pacu Ekonomi

Realisasi tujuh persen angka pertumbuhan pada kuartal kedua diiminta dikoreksi.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Teguh Firmansyah
Suasana di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, Selasa (29/6/2021).
Foto: Antara/Galih Pradipta
Suasana di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, Selasa (29/6/2021).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat di wilayah Jawa dan Bali dinilai pengusaha sebagai langkah mundur dari pemerintah. Meski demikian, pengusaha optimistis jika hal itu berhasil bakal memberikan dampak signifikan bagi perekonomian nasional pada kuartal III tahun ini.

Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Himpi), Ajib Hamdani, menuturkan, dengan ketentuan darurat yang ada, idealnya pemerintah semestinya menetapkan kebijakan lockdown. Namun, masih terdapat dua hal mendasar, yakni masalah data base penduduk yang belum terintegrasi serta alokasi dana sebagai konsekuensi kebijakan.

Baca Juga

Dengan Produk Domestik konsumsi sekitar 57 persen atau sekitar Rp 8.797 triliun, maka pemerintah membutuhkan dana sekitar Rp 169 triliun setiap minggu. Ketika PPKM darurat ditetapkan dua minggu, maka setidaknya diperlukan anggaran Rp 338 triliun. Kebutuhan besar itu yang menjadi pertimbangan pemerintah memilih PPKM darurat menjadi jalan tengah.

"PPKM darurat ini menjadi kebutuhan bersama, termasuk masyarakat luas untuk bisa menekan laju penyebaran Covid-19," kata Ajib dalam keterangan tertulisnya kepada Republika.co.id, Jumat (2/7).

Ia mengatakan, seiring penerapan PPKM darurat, setidaknya pemerintah harus mendorong dua hal. Pertama, terus mengedukasi pentingnya disiplin protokol kesehatan. Kedua, mengakselerasi program vaksinasi sehingga target pemerintah bisa terealisasi dengan awal 2020 sudah lebih 70 persen penduduk sudah tervaksin.

Dari sisi ekonomi, pemerintah sangat optimis kuartal kedua bisa tumbuh sampai dengan 7 persen. Ajib menilai, angka itu perlu dikoreksi karena pada akhir kuartal kedua, sudah mulai terjadi lonjakan Covid-19 dan momentum lebaran kurang maksimal memberikan kontribusi karena terjadi banyak pembatasan.

"Ini membuat aliran orang dan aliran uang agak terhambat. Tetapi, secara umum dalam konteks ekonomi, kuartal ketiga sedang mengalami momentum yang positif," ujarnya.

Tren pertumbuhan ekonomi kuartal pertama masih pada angka minus 0,74 persen, kemudian diperkirakan bisa positif di kuartal kedua. Selain itu, indikator purchasing manager's index (PMI) juga dalam tren yang positif. Bulan Maret PMI di angka 53,2 kemudian April menunjukkan angka 54,6 dan Bulan Mei terus naik ke 55,3.

Artinya, sektor manufaktur mengalami tren positif dan ini akan memberikan multiplier efect dalam ekosistem bisnis yang ada di Indonesia. "Dengan tren ekonomi yang sedang naik, tapi kemudian sisi kesehatan mengalami tekanan, pemerintah perlu mengambil langkah yang komprehensif," ujar dia.

Di sisi permintaan, pemerintah harus terus menopang kemampuan konsumsi masyarakat. "Yang paling praktis adalah kembali menggelontor bansos atau BLT. Kemudian di sisi supply dan produksi, pemerintah harus terus mendorong lebih banyak likuiditas yang mengalir di masyarakat dan pelaku usaha," ujarnya.

Selain itu, instrumen fiskal dan moneter harus dioptimalkan. Pemberian kredit mudah dan murah, perlu terus didorong, dan kebijakan pajak harus pro dengan masyarakat luas dan pro dengan UKM.

Menurut dia, dengan langkah-langkah komprehensif yang diambil pemerintah,  harapan masyarakat adalah PPKM darurat ini bukan menjadi paradoks atas harapan meroketnya pertumbuhan ekonomi di kuartal ketiga ini.   "Tetapi sekedar sebuah langkah mundur sedikit dari pemerintah, untuk bisa lebih laju melesat di sisa waktu sampai akhir 2021. Sehingga target pertumbuhan ekonomi secara agregat di tahun 2021 sebesar 4,5-5,5 persen bisa tercapai," ucapnya.

--

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement