Selasa 29 Jun 2021 14:16 WIB

Mansek: 2021, Ekonomi RI Diproyeksi Tumbuh 4,1-4,4 Persen

Pemerintah saat ini terus melakukan front loading strategy dalam hal pengeluaran.

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Nidia Zuraya
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi
Foto: pixabay
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mandiri Sekuritas (Mansek) memproyeksikan ekonomi Indonesia akan tumbuh sebesar 4,1-4,4 persen pada 2021. Hal tersebut seiring dengan pemulihan ekonomi yang terus berlanjut sejak awal tahun hingga memasuki kuartal II tahun ini.

Beberapa indikator yang mendukung pemulihan tersebut tercermin dari sisi fiskal. Pemerintah saat ini terus melakukan front loading strategy dalam hal pengeluaran, tidak hanya untuk belanja sosial tetapi juga untuk belanja modal.

Baca Juga

Menurut catatan Mandiri Sekuritas, belanja modal pemerintah tumbuh 121 persen yoy selama lima bulan pertama 2021. Pada periode yang sama tahun lalu, belanja modal pemerintah hanya tumbuh 7,5 persen yoy.

"Front-load belanja modal ini menjadi salah satu alasan perbaikan signifikan investasi riil Produk Domestik Bruto (PDB) di kuartal I 2021," kata Chief Economist Mandiri Sekuritas, Leo Putera Rinaldy, Selasa (29/6).

 

Selain itu, Leo menjelaskan, pendapatan pemerintah juga mengalami perbaikan ditopang oleh tarif perdagangan internasional, penerimaan negara bukan pajak, maupun pajak penghasilan. Perbaikan pendapatan pemerintah ini juga mencerminkan berlanjutnya pemulihan ekonomi di level domestik dan global.   

Dari sisi konsumsi, indikator seperti indeks keyakinan konsumen sudah berada pada level di atas 100 pada April dan Mei 2021. Perbaikan tren juga terlihat pada kinerja penjualan ritel, impor barang konsumsi, penjualan mobil dan perputaran uang. Dari sisi investasi, indikator seperti PMI, penjualan semen, dan capital goods import juga mengalami peningkatan.   

Sementara itu, komposisi Foreign Direct Investment (FDI) dan ekspor Indonesia lebih bervariasi memasuki 2021. Menurut Leo, ini diakibatkan juga oleh pemulihan ekonomi global yang didorong negara-negara maju seperti AS dan negara-negara EU. 

"Apabila Indonesia bisa mempertahankan stuktur FDI dan ekspor yang lebih beragam ke depannya, kondisi ini positif bagi exchange rate resiliency di jangka menengah dan panjang," kata Leo.

Meski demikian, Leo melihat, deviasi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia masih cenderung ke bawah karena adanya risiko gelombamg kedua Covid-19. Karena itu, kecepatan menekan laju kenaikan kasus Covid-19 dan proses vaksinasi secara nasional, menjadi kunci pemulihan ekonomi dalam jangka pendek.

Lebih lanjut, realisasi stimulus fiskal di level pemerintah daerah juga harus ditingkatkan. Sebabnya, total pengeluaran pemerintah daerah masih kontraksi -7,8 persen yoy selama lima bulan pertama 2021 dibandingkan dengan pengeluaran pemerintah pusat yang sudah tumbuh 21 persen yoy.

Pemulihan ekonomi yang tidak merata antara negara-negara maju dan berkembang termasuk Indonesia berpotensi menciptakan risiko volatilitas portofolio di 2022. Penyesuaian kebijakan moneter di Amerika Serikat diperkirakan dapat terjadi lebih cepat. 

The Federal Reserve sendiri sudah memajukan ekspektasi kenaikkan FFR  2023 yang kemungkinan akan didahului oleh taper di 2022. "Namun, kami melihat risiko volatilitas tidak akan setinggi 2013 karena kondisi ekonomi yang berbeda," kata Leo. 

Pada 2013, siklus ekonomi Indonesia berada pada kondisi overheating sedangkan siklus ekonomi Indonesia ke depan masih berada tahap recovery. CAD diperkirakan di bawah rata-rata -2,5 persen dari PDB dua tahun ke depan dan inflasi tetap akan berada di kisaran target Bank Indonesia. 

Lebih lanjut, posisi cadangan devisa Indonesia juga lebih tinggi, dimana posisi per Juni 2021 mencapai 136 miliar dolar AS atau setara dengan 9,5 bulan impor. Kondisi ini jauh lebih baik dibandingkan akhir 2013 dimana cadangan devisa hanya 99 miliar dolar AS atau setara dengan 5,6 bulan impor. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement