Selasa 29 Jun 2021 00:15 WIB

Hakim PT Banten Asal Ubah Putusan Pidana Bandar Narkoba

Semestinya pengurangan hukuman pada tingkat banding itu dipilah dengan matang.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Agus Yulianto
Salah seorang tahanan di penjara (ilustrasi).
Foto: Presstv.ir/ca
Salah seorang tahanan di penjara (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Azmi Syahputra menanggapi, terkait Pengadilan Tinggi (PT) Banten yang menganulir hukuman mati ke bandar sabu, Bashir Ahmed dan Adel menjadi 20 tahun penjara. Keduanya adalah pemilik sabu 821 kilogram yang dikirim dari Iran melalui perairan Tanjung Lesung wilayah Banten Selatan. 

Menurutnya, sanksi menjerakan berupa hukuman mati paling pantas bagi penyebar barang perusak terhadap masyarakat. "Jadi, hakim tidak mendukung upaya pemberantasan narkoba karena sudah jelas terdakwa sebagai bandar sekaligus pengedar dalam kasus ini dan hakim terkesan asal mengubah putusan pidana  terdakwa," katanya dalam keterangan tertulis, Senin (28/6).

Dia mengatakan, majelis hakim pengadilan tinggi keliru mengartikan dan menerapkan Pasal 241 KUHAP. Sebab, pasal tersebut harus diikuti dengan persyaratan oleh hakim, jadi tidak bisa ditafsirkan secara bias oleh hakim apalagi jika hanya ketidaksetujuan terkait pemidanaan.

Artinya, hakim di tingkat banding menggeser makna perbuatan, fakta hukum, alat bukti, keadaan termasuk nilai keyakinan hakim dalam membuat pertimbangan hukumnya telah lari dari tujuan hukum pidana (vide Pasal 197 huruf d KUHAP).

"Pasal 241 KUHAP baru bisa dilakukan, jika semua hal dalam pemeriksaan hakim banding menemukan ada kelalaian dalam penerapan hukum acara atau kekeliruan atau kurang lengkap, baru pengadilan tinggi mengadakan putusan sendiri," kata Azmi.

Jadi, kata dia, tolok ukurnya lihat apa alasan fakta keadaan dan argumentasi hukum dalam pertimbangkan hukumnya, dimana yang terjadi, hakim banding cenderung setuju dengan pertimbangan hukum pengadilan negeri terkait fakta, unsur, dan alat bukti dianggap  mempunyai nilai kekuatan pembuktian.

"Dimana pada praktiknya pengadilan tinggi hanya tidak sepakat tentang penjatuhan hukuman pidana dan lamanya masa pidana. Ini kan kontradiktif? Fakta diakui, bukti diakui, pertimbangan hukum hakim pengadilan negeri diakui dan diambil, hanya tidak sepakat dengan lama hukuman atau jenis hukuman?," kata dia.

Selain itu, semestinya pengurangan hukuman pada tingkat banding itu dipilah dengan matang. Dilihat dulu oleh majelis pada bobot dan kualitas tindak pidananya dan dampak dari perbuatannya bukan asal mendiskon hukuman untuk ubah putusan. 

Sebab, dalam menjaga kualitas penegakan hukum hakim harus mampu mengharmonisasi keadilan dan kepastian  hukum, mengingat kekuasaan kehakiman itu kekuasan negara yang merdeka dan bebas dari campurtangan pihak kekuasaan atau pihak manapun. Sehingga, putusannya harus mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia karena dalam kasus ini Jaksa harus melakukan kasasi. 

Apalagi, lanjut dia, mengingat Reformasi hukum pidana dalam UU Narkoba tampak sekali berproses dalam suatu dinamika perkembangan sosial dan teknologi yang berpengaruh terhadap perkembangan kriminalitas di Indonesia yang menuntut tindakan dan kebijakan antisipastif.

"Karena diketahui perbuatan peredaran bandar narkoba jelas merupakan perbuatan tersebut amoral,merugikan  kepentingan masyarakat, kesehatan masyarakat, jadi perilaku menyimpang dan membawa kerusakan pada masyarakat," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement