Selasa 29 Jun 2021 04:48 WIB

Ahli: Virus Corona tak Bertahan di Alloy Berbasis Tembaga

Paduan logam itu menawarkan kemampuan anti-Covid untuk diterapkan di ruang publik.

Rep: Zainur Mahsir Ramadhan/ Red: Reiny Dwinanda
Penumpang membawa sepeda non-lipat di Stasiun MRT Bunderan HI, Jakarta, Ahad (28/3/2021). Pegangan tangan di tangga biasanya terbuat dari baja tahan karat.
Foto: ANTARA/Galih Pradipta
Penumpang membawa sepeda non-lipat di Stasiun MRT Bunderan HI, Jakarta, Ahad (28/3/2021). Pegangan tangan di tangga biasanya terbuat dari baja tahan karat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Paduan bahan logam (alloy) baru berbasis tembaga yang dikembangkan oleh Hygi Group di Amerika Serikat disebut dapat memainkan peran penting dalam membantu mencegah penyebaran virus penyebab Covid-19 (SARS-CoV-2) di masa depan. Hasil riset tim ilmuwan di University of Southampton, Amerika Serikat mendukung klaim tersebut.

“Banyak bangunan publik yang memiliki permukaan sentuh terbuat dari stainless steel, contohnya gagang pintu, pelat untuk mendorong pintu, pegangan tangan, dan sejenisnya. Sayangnya, baja tahan karat bisa menyimpan virus penyebab Covid-19 selama beberapa pekan, meski telah dibersihkan," kata Prof Bill Keevil, salah satu ahli mikrobiologi terkemuka dunia, dikutip dari laman Devonline, Senin (28/6).

Baca Juga

Paduan logam baru tersebut menawarkan kemampuan anti-Covid untuk diterapkan di gedung dan ruang publik. Keevil melanjutkan, saat seseorang bersin atau berbicara dengan keras, ada ribuan partikel di udara yang bisa mengendap dan terbawa jika disentuh. Dalam pemahaman Keevil, transmisi lewat sentuhan permukaan menjadi faktor signifikan dalam penyebaran Covid-19, layaknya kasus influenza.

Keevil menyebut, meski baja tahan karat tampak bersih, namun nyatanya besi itu menyimpan banyak kotoran. Dalam pantauan mikroskop, dia mencontohkan, banyak lubang dan celah di mana patogen, seperti bakteri dan virus, dapat bersembunyi.

Sementara itu, menurut Keevil, paduan logam terbaru dapat membuat virus penyebab Covid-19 hampir sepenuhnya bisa hilang dalam 90 menit. Bahkan, keberadaannya sudah tak terlacak dalam kurun waktu dua jam setelah kontaminasi.

"Dalam kondisi 'kehidupan nyata', virus sebenarnya akan terbunuh lebih cepat karena hasil ini didasarkan pada kondisi laboratorium yang menggunakan konsentrasi virus yang tinggi," tutur Keevil yang memimpin penelitian tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement