Sabtu 26 Jun 2021 03:35 WIB

Peneliti Oxford Kembangkan Prediktor Tes Darah untuk Vaksin

Data penelitian dapat digunakan untuk memprediksi kemanjuran vaksin baru.

Peneliti Oxford Kembangkan Prediktor Tes Darah untuk Vaksin. Vaksin Covid-19 (ilustrasi)
Foto: PixaHive
Peneliti Oxford Kembangkan Prediktor Tes Darah untuk Vaksin. Vaksin Covid-19 (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Para peneliti di Universitas Oxford pada Kamis (24/6) mengatakan telah mengembangkan sebuah metode untuk memprediksi kemanjuran vaksin Covid-19 baru berdasarkan tes darah. Hal ini berpotensi membuka jalan pintas uji klinis besar-besaran yang semakin sulit dilakukan.

Para peneliti melihat konsentrasi berbagai antibodi penangkal virus dalam darah partisipan uji coba setelah mereka menerima vaksin yang dikembangkan AstraZeneca dan Universitas Oxford, yang kini dikenal sebagai Vaxzevria. Dengan melihat partisipan mana yang kemudian mengalami gejala Covid-19 dan yang tidak, para peneliti menemukan sebuah metode yang diharapkan akan memprediksi seberapa kuat vaksin lainnya, berdasarkan pembacaan darah itu.

Baca Juga

"Data tersebut dapat digunakan untuk memprediksi kemanjuran vaksin baru di mana uji coba kemanjuran yang lebih besar tidak dapat dilakukan," katanya dalam dokumen mereka, yang diunggah pada Kamis dan diajukan untuk tinjauan sejawat untuk publikasi selanjutnya dalam jurnal ilmiah.

Para peneliti Oxford memperingatkan lebih banyak tugas yang dibutuhkan untuk memvalidasi model mereka untuk banyak varian Covid-19 lebih menular yang mengkhawatirkan. "Ada kebutuhan mendesak untuk menambah pasokan vaksin dunia, namun pengembangan dan persetujuan vaksin baru membutuhkan waktu berbulan-bulan. Kami berharap pemanfaatan korelasi antara produsen dan regulator dapat mempercepat proses tersebut," kata Direktur Grup Vaksin Oxford sekaligus investigator utama dalam Uji Coba Vaksin Oxford Andrew Pollard.

Para peneliti dan regulator di seluruh dunia sedang mengupayakan tolok ukur semacam itu, yang dikenal sebagai korelasi perlindungan atau titik akhir pengganti. Hal ini memungkinkan penundaan dalam perlombaan pengembangan vaksin. 

Selain itu, memberikan bukti kemanjuran tanpa harus melakukan uji coba dengan puluhan ribu partisipan. Uji coba massal itu sejauh ini bergantung pada partisipan untuk tertular penyakit tersebut dalam kehidupan normal mereka guna memberi hasil kemanjuran vaksin.

Hal itu menjadi sebuah tantangan yang lebih besar di mana cakupan vaksinasi sudah tinggi dan virusnya tidak menyebar luas. Uji klinis tradisional juga mengharuskan banyak partisipan mendapatkan plasebo sebagai perbandingan terhadap mereka yang menerima vaksin eksperimental, sehingga memunculkan dilema etis di mana vaksin yang disetujui tersedia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement