Jumat 25 Jun 2021 11:04 WIB

Paradoks Imaji Warisan Jengis Khan

Kisah kesan paradoks bangsa Mongol.

Bangsa Mongol.
Foto: google.co.id
Bangsa Mongol.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Jaya Suprana, Budayawan, Penggagas Rekor MURI, Pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan.

Saya sempat tidak sadar bahwa secara kuantitas imperialisme Mongol merupakan kemahakaisaran dengan wilayah terluas kedua setelah Romawi.

Sementara, laskar Romawi tidak tertahankan di mana pun mereka merambah, maka sebagai warga Indonesia saya layak bangga bahwa Raden Wijaya berhasil menahan gelombang ekspansi bangsa Mongol merangsek masuk ke dalam wilayah Nusantara.

Akibat termakan arus hitam yang ditulis oleh para sejarawan bangsa yang sempat ditaklukkan oleh  bangsa Mongol, semula saya menduga bangsa Mongol adalah bangsa terbelakang yang hanya hebat dalam hal militer berjaya menaklukkan bangsa-bangsa lain lewat jalur kekerasan destruktif.

Pendek kata yang terbayang di benak saya orang Mongol adalah orang biadab yang menguasai dunia dengan naik kuda dan bersenjata anak panah. Ternyata, bangsa Mongol bukan hanya hebat dalam hal menyelenggarakan perang yang mewariskan kesengsaran, melainkan juga memiliki peradaban tinggi yang mewariskan kesejahteraan bagi umat manusia. 

OTONOMI

Bangsa Mongol memiliki tradisi sistem kepemerintahan yang memang berpusat di pusat kepemerintahan. Namun, kekuasaan mereka dilengkapi dengan sistem distribusi kekuasaan yang menberikan otonomi kepada wilayah-wilayah yang ditaklukkan untuk menatalaksanakan kepemerintahan sesuai dengan kebudayaan masing-masing wilayah.

Terbukti ketika bangsa Mongol berhasil menembus Tembok Besar untuk menguasai China pada masa Dinasti Yuan. Kebudayaan China tidak dimusnahkan, tapi kemudian disinergikan dengan kebudayaan Mongol. 

Bahkan, di dalam peradaban genderisme sangat jelas bahwa bangsa Mongol menempatkan kaum perempuan pada posisi terhormat setara dengan kaum lelaki. Tidak kurang dari Jengis Khan sendiri yang menempatkan putri-putrinya sebagai para pemimpin wilayah-wilayah yang berhasil dikuasai kemahakaisaran Mongol. 

Tradisi ini menurun kepada dinasti Mughal yang membangun Taj Mahal di Agra, India, yang memang secara genealogikal merupakan keterkaitan dengan para tokoh penguasa Mongol. Sama halnya dengan suku Tatar dan Kosak di Eropa Timur. 

KEBUDAYAAN

Pada hakikatnya busana celana yang memisahkan dua kaki manusia yang kini lazim dipakai oleh umat manusia di seluruh pelosok planet bumi, termasuk celana jeans berakar pada busana tradisional Mongol yang memudahkan manusia menunggang kuda. Dan, kini kuda sudah diganti dengan sepeda dan sepeda motor.

Bangsa  yang paling mengutamakan kuda adalah Mongol sehingga kemudian kuda dibawa dari Eropa ke benua Amerika Serikat. Secara ragawi penampilan kaum pribumi Amerikat Serikat yang keliru disebut sebagai Indian mirip dengan suku Mongol, termasuk dalam kemahiran menunggang kuda.

Arsitektur tenda tradisi Mongol bahkan dilanjutkan sampai ke masa kini sebagai arsitektur tenda modern yang bisa kita lihat pada Stadion Olimpiade Munich dan petilasan situs di Anatolia, Turki, masa kini.

Kuliner steak ala Mongolia populer di seluruh dunia sama halnya olahraga gulat sebagai olahraga utama Mongol maupun teknik seni suara tenggorok Mongolia benar-benar unik tiada dua di planet bumi ini.

Legenda dan dongeng yang diwariskan secara lisan oleh kakek-nenek moyang Mongolia merupakan mahasastra tertua dalam peradaban umat manusia.

Tanpa latar belakang sejarah Mongol menjajah China, maka Jin Yong mustahil mampu mencipta trilogi mahakarya Sia Tiauw Eng Hiong, Sin Tiauw Hiap Lu, To Liong To yang berakhir dengan kisah Thio Buki yang menolak segenap takhta kekuasaan demi menyusul kekasihnya di padang rumput Mongolia.

Namun, di depan para pejabat tinggi Partai Komunis China, sebaiknya kita jangan memuja-muji peradaban Mongol yang berisiko berdampak kurang bagus mirip dengan memuja-muji peradaban Belanda di depan para pejabat tinggi Republik Indonesia. 

 

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement