Rabu 23 Jun 2021 18:58 WIB

GeNose, Saatnya Menghentikan Sementara Penggunaannya?

YLKI usulkan penggunaan GeNose digantikan tes antigen.

Sejumlah warga mengikuti tes cepat COVID-19 dengan metode GeNose C19 di Mal Tangcity, Kota Tangerang, Banten, Sabtu (22/5/2021). Pelacakan menggunakan alat tes GeNose C19 tersebut dilaksanakan di dua titik rawan keramaian sebagai antisipasi penyebaran COVID-19 usai libur lebaran
Foto: Antara/Fauzan
Sejumlah warga mengikuti tes cepat COVID-19 dengan metode GeNose C19 di Mal Tangcity, Kota Tangerang, Banten, Sabtu (22/5/2021). Pelacakan menggunakan alat tes GeNose C19 tersebut dilaksanakan di dua titik rawan keramaian sebagai antisipasi penyebaran COVID-19 usai libur lebaran

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Haura Hafizah, Rr Laeny Sulistyawati, Wahyu Suryana, Antara

Lonjakan kasus Covid-19 di Tanah Air menyeret penggunaan GeNose atau  Gadjah Mada Electric Nose Covid-19 alias alat deteksi Covid menggunakan napas buatan dalam negeri. Penggunaan GeNose di sarana transportasi publik yang ramai seperti kereta api dan bandara dinilai tidak cukup valid sebab GeNose belum terbukti ilmiah sebagai alat deteksi virus corona.

Baca Juga

Media sosial pun diramaikan dengan pro kontra penggunaan GeNose. Terutama sebab GeNose dinilai tidak bisa menjadi rujukan penapisan awal Covid-19. Padahal penggunaan GeNose digemari karena masyarakat tidak harus dicolok hidungnya seperti tes PCR atau antigen, harga tes GeNose yang berkisar Rp 30 ribu juga dinilai sangat terjangkau.

Ahli Biologi Molekuler, Ahmad Rusdan Handoyo Utomo, mengatakan sampai sekarang hasil validasi eksternal penggunaan GeNose C19 belum dipublikasikan. Ia menilai, lebih baik alat tersebut dihentikan sementara waktu.

"Harapan saya terhadap penghentian GeNose sementara bukan karena GeNose memiliki akurasi rendah. Tapi, saya hanya ingin agar validasi eksternal terhadap GeNose yang dilakukan oleh tiga kampus merdeka untuk dipublikasikan ke publik agar muncul kepercayaan dalam penggunannya, mengingat ini teknologi baru," katanya saat dihubungi Republika, Rabu (23/6).

Kemudian, ia melanjutkan sementara memang klaim pengembang GeNose itu keakuratannya tinggi di atas 80 persen dan itu bagus sekali sehingga wajar diberikan surat izin edar sementara oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes). "Namun, sekali lagi itu klaim oleh pengembang. Kami ingin tahu apakah keakuratan sebagus itu juga bisa dikonfirmasi secara independen. Itu saja. Apalagi konsumen yang sudah membeli alat GeNose tentu wajar ingin tahu keandalan alat ini," kata dia.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai akurasi tes Covid-19 GeNose rendah. YLKI mengusulkan penggunaan GeNose diganti dengan tes antigen.

"Tes GeNose kini untuk prasyarat perjalanan atau prasyarat lainnya. Padahal, tingkat akurasinya mengindikasikan rendah," kata Ketua YLKI Tulus Abadi.

YLKI khawatir akurasi hasil tes GeNose yang rendah karena bisa menghasilkan hasil negatif yang 'palsu'. Ia menegaskan, faktor harga seharusnya bukan pertimbangan utama. Sebab, hal ini terkait dengan keselamatan dan keamanan seseorang. Oleh karena itu, Tulus mengusulkan tes Covid-19 menggunakan antigen.

"Ini demi keamanan dan keselamatan bersama. Dan demi terkendalinya wabah Covid-19," ujarnya.

Terkait mengapa merekomendasikan tes antigen, padahal akurasi tes Polymerase Chain Reaction (PCR) lebih tinggi, Tulus mengakuinya. Menurutnya tes PCR memang yang paling ideal karena sangat akurat.

"Tapi mana tahan harganya? Jadi, tes antigen saja sudah cukup terjangkau dan cukup akurat," katanya.

Tim peneliti dan pengembangan GeNose C19 dari Universitas Gadjah Mada (UGM) mengakui bahwa alat skrining dan diagnostik Covid-19 berbasis embusan napas GeNose C19 dapat memunculkan hasil positif maupun negatif palsu. Terutama jika prosedur standar operasi (SOP) penggunaannya belum terpenuhi.

"Jika GeNose C19 dioperasikan ketika kondisi lingkungannya belum ideal dan syarat belum terpenuhi, maka hasil tes bisa menunjukkan low signal atau memunculkan hasil positif maupun negatif palsu," kata Juru Bicara GeNose C19, Mohamad Saifudin Hakim, melalui keterangan tertulis di Yogyakarta, Rabu.

Ia mengatakan Genose C19 yang telah mengantongi izin edar pada akhir Desember 2020 tergolong alat elektromedis non invasif dengan basis kecerdasan buatan (artificial intelegent /AI) yang mengandalkan banyak data dan kepatuhan pada SOP untuk menghasilkan performa yang baik. GeNose C19 terbukti dapat membantu masyarakat yang harus melakukan mobilitas, sehingga tetap dapat memenuhi protokol kesehatan, khususnya saat berada di ruang publik.

Meski demikian, ia meminta semua pihak, termasuk peneliti dan pengembang, distributor, operator, maupun masyarakat pengguna perlu sama-sama dapat memastikan agar tata cara penggunaan alat Genose C19 sesuai dengan SOP. Menurut Hakim, SOP Genose C19 telah disampaikan melalui distributor-distributor dan kepada semua operator secara berkala.

Salah satunya, terkait lokasi penempatan alat, GeNose C19 harus diletakkan di ruangan yang memiliki saturasi udara satu arah. GeNose C19 juga sudah memiliki fitur analisis lingkungan yang otomatis mengevaluasi saturasi partikel di sekelilingnya.

Operator hanya perlu melakukan mode flushing untuk memeriksa udara atau lingkungan di sekitar alat selama 30 hingga 60 menit sebelum menjalankan alat. Software GeNose C19 akan memberi tanda pada layar monitor laptop bahwa lingkungan sudah memenuhi syarat atau belum.

"Tanda warna hijau dan tulisan "GO" artinya sudah oke, sedangkan warna kuning atau merah dengan tanda seru berarti belum oke untuk mengoperasikan GeNose C19," ujar dia.

Jika memaksa GeNose C19 beroperasi ketika kondisi lingkungannya belum memenuhi syarat, maka hasil tes bisa tidak tepat. "Sebagai pengembang GeNose C19, tim peneliti juga telah menyiapkan mekanisme pemantauan penggunaan alat, pemutakhiran perangkat kecerdasan buatan (AI). Secara berkala dan berkelanjutan serta terus disampaikan melalui produsen maupun distributor," kata Hakim.

Saat ini alat tersebut tengah menjalani proses validitas eksternal yang melibatkan tiga universitas. Uji validitas eksternal merupakan bagian dari post-marketing analysis, yakni ketika GeNose C19 sudah digunakan oleh masyarakat umum yang bertujuan untuk menambah data dan memperkuat kerja AI.

"Selain itu, uji validitas eksternal merupakan bagian dari kelanjutan pengembangan serta kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku, setelah alat kesehatan mendapat izin edar untuk penggunaan," katanya.

Ia menyebutkan pakar di tiga universitas, yakni Universitas Andalas, Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Airlangga (Unair) menjadi penguji independen alat GeNose C19, di mana ethical clearance sudah keluar untuk UI dan Unair. Persetujuan etik bertujuan untuk memastikan penelitian GeNose C19 bekerja sesuai kaidah ilmiah.

Seluruh penelitian yang menggunakan manusia sebagai subjek penelitian harus mendapatkan ethical clearance atau keterangan lolos kaji etik. Uji validitas eksternal telah dimulai sejak April 2021 di Universitas Andalas.

Selanjutnya, Rumah Sakit UI memulai tahap uji tersebut pada Juni. Kemudian, Unair dan RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) akan mulai uji validitas eksternal GeNose C19 pada akhir Juni 2021. Periode uji validitas berlansung empat sampai enam bulan, tergantung perjanjian dengan masing-masing institusi tersebut.

"Hasil uji validitas belum keluar, karena prosesnya masih berjalan," tutur Hakim. Hakim juga mengajak para pengguna dan operator GeNose C19 untuk bersama-sama menjaga performa alat ini sebagai satu-satunya alat diagnostik Covid-19 berbasis embusan napas.

"Tim pengembang akan terus menyempurnakan SOP penggunaan GeNose C19 agar lebih mudah dipahami dan lebih antisipatif terhadap kesalahan operasional, yang tanpa disengaja dapat mempengaruhi performa alat," ujar Hakim.

Penggunaan GeNose tidak hanya dimanfaatkan oleh operator kereta api dan bandar udara. Kampus, pesantren, hotel, dan tempat wisata juga tercatat memanfaatkan GeNose sebagai upaya penapisan awal Covid-19.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement