Rabu 23 Jun 2021 15:46 WIB

Polemik Baju Nussa, Ini Perkembangan Busana Muslim Nusantara

Busana Muslim merupakan hasil akulturasi dengan budaya lain

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Esthi Maharani
Pedagang memasang baju muslim ke manekin
Foto: Rony Muharrman/ANTARA
Pedagang memasang baju muslim ke manekin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Media sosial kembali dihebohkan soal pakaian di film Nussa yang disebut merupakan hasil propaganda. Sebelumnya, pada Januari lalu, persoalan ini juga diperdebatkan. Salah satu akun Twitter Eko Kuntadhi mengatakan pakaian tersebut berasal dari Afghanistan.

“Apakah ini foto anak Indonesia? Bukan. Pakaian lelaki sangat khas Taliban. Anak Afganistan. Tapi film Nusa Rara mau dipromosikan ke seluruh dunia. Agar dunia mengira, Indonesia adalah cabang khilafah. Atau bagian dari kekuasaan Taliban. Promosi yg merusak!” tulisnya.

Mari menelisik lebih jauh soal busana Muslim yang ada di Nusantara. Ada beragam jenisnya, mulai dari gamis hingga sarung. Dilansir Al Thawb, Rabu (23/6), gamis adalah pakaian Arab sepanjang mata kaki yang dilengkapi lengan panjang mirip jubah atau kaftan. Gamis atau Thawb dipakai bersama sirwal, celana panjang. Setiap negara memiliki gaya gamis sendiri. Misal, di Maroko disebut dengan djellabah. Sementara di Uni Emirat Arab (UEA), gamis disebut kandura. Kandura tidak memiiliki kerah dan ditandai dengan rumbai panjang longgar yang tergantung di leher.

Sejarawan Universitas Indonesia, Tiar Anwar Bachtiar mengatakan busana Muslim merupakan hasil akulturasi dengan budaya lain. Jadi, tidak sepenuhnya merupakan asli Indonesia.

“Gamis berasal dari Arab. Namun, perbedaan gamis Arab dan di Indonesia, terletak pada fungsinya. Jika di Arab digunakan untuk pakaian sehari-hari, di Indonesia digunakan untuk acara keagamaan saja. Ada semacam pelokalan atau reduksi dari fungsi asal,” kata Tiar.

Busana Muslim lain, baju koko juga merupakan hasil akulturasi budaya. Sebagian besar Muslim Indonesia pada setiap acara keagamaan selalu memakai baju koko. Baju koko yang juga disebut baju takwa tidak hanya melambangkan kesalehan tapi identik dengan busana Muslim. Padahal, asal usul baju koko bukan dari Arab melainkan dari Tionghoa.

Dr. Sofyan A. P. menjelaskan dalam bukunya berjudul Argumen Islam Ramah Budaya, secara historis, baju koko merupakan hasil adopsi warga Betawi dari baju sehari-hari masyarakat Tionghoa yang memakai baju tui-khim. Warga Betawi menyebutnya sebagai baju tikim. Baju tikim sudah ada sejak abad ke-17. Keberadaan awal baju koko digunakan oleh engkoh-engkoh Betawi sehingga saat dieja dalam bahasa Indonesia menjadi koko.

Sebagian pendapat menyebut koko karena baju tui-khim digunakan oleh pria Tionghoa yang biasa dipanggil koko. Mengutip penjelasan KH Ali Mustafa Yaqub dalam Cara Benar Memahami Hadits, pakaian bukan bagian dai ajaran agama melainkan aspek budaya. Karena pakaian adalah hasil kreasi manusia baik bahan, bentuk, model, dan ukurannya. Meski begitu, pakaian berfungsi mewujudkan kehendak ajaran agama tentang kewajiban menutup aurat. Apa pun bentuk dan model sebuah pakaian dari budaya mana pun dapat dipakai oleh setiap orang.

Selain baju koko, sorban yang merupakan budaya Arab bisa juga dipakai oleh Muslim atau non-Muslim. Sorban, tidak identik dengan Islam. Sebuah pakaian hanya disebut pakaian Islami jika memenuhi standar syar’i, yaitu menurutup aurat.

Terakhir, busana yang sering dikaitkan dengan Muslim adalah sarung. Sebenarnya, pemakaian sarung tak menunjuk pada identitas agama tertentu. Sarung juga digunakan oleh berbagai kalangan di beragam suku. Dalam pengertiannya, sarung adalah sepotong kain lebar yang pemakaiannya dibebatkan pada pinggang untuk menutup bagian bawah tubuh mulai dari pinggang ke bawah.

Menurut Ensiklopedia Islam Nusantara yang diterbitkan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kementerian Agama RI,  sarung berasal dari Yaman. Di sana, sarung biasa disebut futah. Sarung juga dikenal dengan nama izaar, wazaar atau ma’awis. Penduduk Oman menyebut sarung dengan nama wizaar sementara Arab Saudi mengenalnya dengan nama izaar. Penggunaan sarung meluas mencapai banyak kawasan, termasuk Indonesia. Sarung pertama kali masuk ke Indonesia pada abad ke-14 dibawa oleh para saudagar Arab dan Gujarat. Dalam perkembangannya, sarung di Indonesia identic dengan kebudayaan Islam.

Di dunia Arab, sarung bukan pakaian untuk melakukan ibadah. Namun, di Indonesia, sarung menjadi salah satu pakaian kehormatan dan menunjukkan nilai kesopanan tinggi. Tak heran, jika sebagian masyarakat Indonesia sering mengenakan sarung untuk shalat di masjid.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement