Rabu 23 Jun 2021 10:01 WIB

Oxford Kaji Ivermectin untuk Pengobatan Covid-19

Pada beberapa penelitian laboratorium, ivermectin hasilkan pengurangan replika virus.

Pada beberapa penelitian laboratorium, ivermectin hasilkan pengurangan replika virus.
Foto: PxHere
Pada beberapa penelitian laboratorium, ivermectin hasilkan pengurangan replika virus.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Universitas Oxford pada Rabu (23/6) mengatakan, sedang menguji obat anti parasit ivermectin sebagai pengobatan yang memungkinkan untuk COVID-19. Hal itu sebagai bagian dari penelitian yang didukung pemerintah Inggris dan bertujuan untuk membantu pemulihan di lingkungan selain rumah sakit.

Dilansir reuters, Rabu, dalam beberapa penelitian laboratorium, Ivermectin menghasilkan pengurangan replikasi virus. Uji coba kecil menunjukkan bahwa pemberian obat lebih awal dapat mengurangi muatan virus dan durasi gejala pada beberapa pasien dengan COVID-19 ringan.

Baca Juga

Dijuluki PRINSIP, penelitian di Inggris pada Januari itu menunjukkan bahwa antibiotik azithromycin dan doxycycline umumnya tidak efektif melawan COVID-19 tahap awal. Sementara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dan regulator Eropa dan AS telah merekomendasikan untuk tidak menggunakan ivermectin pada pasien COVID-19. Ivermectin digunakan untuk mengobati penyakit itu di beberapa negara, termasuk India.

"Dengan memasukkan ivermectin dalam uji coba skala besar seperti PRINSIP, kami berharap dapat menghasilkan bukti kuat untuk menentukan seberapa efektif pengobatan tersebut terhadap COVID-19, dan apakah ada manfaat atau bahaya yang terkait dengan penggunaannya," kata peneliti yang juga ketua bersama dalam percobaan itu, Chris Butler.

Orang dengan kondisi hati yang parah, yang menggunakan obat pengencer darah warfarinatau menjalani perawatan lain yang diketahui berinteraksi dengan ivermectin, akan dikeluarkan dari uji coba, tambah universitas itu. Ivermectin adalah pengobatan ketujuh yang diselidiki dalam uji coba tersebut. Saat ini sedang dievaluasi bersama obat antivirus favipiravir, kata Universitas Oxford.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement