Selasa 22 Jun 2021 23:28 WIB

Hukum Internasional Masih Lemah di Konflik Israel-Palestina

Hukum Internasional Masih Lemah Dalam Konflik Israel-Palestina

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Muhammad Hafil
Bendera Palestina. Ilustrasi
Foto: Reuters
Bendera Palestina. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,SLEMAN -- Konflik Palestina dan Israel tidak kunjung usai. Konflik berlanjut dan semakin memanas dengan adanya sengketa di wilayah Sheikh Jarrah. Warga Palestina terancam dari tempat tinggalnya sampai Mei 2021 lalu terjadi gencatan senjata.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof Hikmahanto Juwana menilai, ada banyak faktor yang dapat diamati. Salah satunya peran hukum internasional yang masih saja belum maksimal dalam menyelesaikan konflik Palestina-Israel.

Baca Juga

"Hal ini dikarenakan hukum internasional hanya dijadikan sebagai alat legitimasi oleh berbagai pihak, bukan dijadikan panduan berperilaku," kata Hikmahanto dalam webinar yang digelar SAIL dan FPCI Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII).

Maka itu, penggunaan hukum internasional dalam masalah Palestina dan Israel ini bukan jadi solusi terbaik karena akan menimbulkan banyak keuntungan bagi Israel. Dari konflik terakhir, ada tiga hal pokok yang menjadi pemicu konflik terjadi.

Pertama, Israel mengambil wilayah Palestina. Kedua, Israel mengirim warganya untuk menempati tempat-tempat di wilayah Palestina. Ketiga, ada perselisihan antara Israel dan Palestina dalam hal perebutan-perebutan tanah di Palestina.

Untuk mencari solusi dapat dilakukan dengan mengetahui makna kemerdekaan bagi pemimpin Palestina yakni Hamas dan Fatah. Pertama, makna merdeka menurut Hamas rakyat Palestina sudah menguasai tanah Palestina sebelum Inggris ke luar.

Ini menunjukkan Hamas ingin Palestina bebas secara keseluruhan dari pengaruh dan penjajahan Israel di tanah Palestina. Kedua, makna merdeka menurut Fatah wilayah yang ditempati oleh rakyat Palestina ini dibebaskan dari pendudukan Israel.

"Indonesia condong kepada gagasan two state solution. Meski demikian, ini hanya bisa dilakukan jika ada kesepakatan antara Hamas dan Fatah, Israel dan AS sebagai negara adikuasa pendukung Israel yang juga memiliki hak veto di PBB," ujar Hikmahanto.

Dosen Magister Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Dr Ahmad Sahid melihat, ini merupakan konflik permanen yang tidak pernah usai. Bahkan, sudah dimulai dari orang-orang Yahudi yang diusir Kekaisaran Romawi.

Bangsa Israel merupakan bangsa yang tidak bernegara atau people without land. Tapi, keinginan bangsa Israel mendirikan sebuah negara Yahudi ini yang kemudian menjadi konflik karena wilayah yang diperebutkan merupakan tanah Palestina.

"Strategi bangsa Israel untuk membangun negaranya menggunakan strategi politik yang kuat dalam lobi internasional dan funding," kata Sahid.

Ia merasa, strategi yang digunakan Israel ini sangat kuat. Israel telah lakukan lobi internasional jauh sebelum AS menjadi adikuasa. Kala itu, Israel melakukan lobi internasional kepada Inggris dan Prancis sampai mendapat restu Inggris.

Dalam melakukan strategi funding, sampai saat ini Israel pemasok terbesar dana kampanye presiden-presiden di AS yang tergabung dalam American Israel Public Affairs Committee (AIPAC). Ini yang menyebabkan AS selalu mendukung Israel.

"Indonesia mendukung kemerdekaan rakyat Palestina bisa melakukan dua hal. Baik dukungan materiil berupa donasi dan dukungan moril berupa kegiatan-kegiatan positif yang terkait untuk mendukung rakyat Palestina," ujar Sahid. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement