Selasa 22 Jun 2021 12:17 WIB

Presiden Iran Ebrahim Raisi Tolak Bertemu Joe Biden

Presiden Iran mendesak AS kembali ke kesepakatan nuklir 2015 atau JCPOA.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Presiden terpilih Iran Ebrahim Raisi berbicara selama konferensi pers pertamanya setelah memenangkan pemilihan presiden, di Teheran, Iran, 21 Juni 2021. Raisi mengatakan bahwa pemerintahnya akan mengikuti negosiasi nuklir dengan kekuatan dunia, tetapi tidak untuk waktu yang lama. Dan, menambahkan bahwa AS harus mencabut sanksi dan kembali ke kesepakatan JCPOA.
Foto: EPA-EFE/ABEDIN TAHERKENAREH
Presiden terpilih Iran Ebrahim Raisi berbicara selama konferensi pers pertamanya setelah memenangkan pemilihan presiden, di Teheran, Iran, 21 Juni 2021. Raisi mengatakan bahwa pemerintahnya akan mengikuti negosiasi nuklir dengan kekuatan dunia, tetapi tidak untuk waktu yang lama. Dan, menambahkan bahwa AS harus mencabut sanksi dan kembali ke kesepakatan JCPOA.

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Presiden terpilih Iran Ebrahim Raisi mengisyaratkan bahwa dia tidak akan bertemu dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dalam keadaan apa pun. Hal itu termasuk jika Washington memenuhi tuntutan Teheran dalam negosiasi untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015 yang sedang berlangsung di Wina, Austria.

Dalam konferensi pers perdananya pada Senin (21/6), Raisi ditanya apakah dia bersedia bertemu dengan Biden untuk menyelesaikan perselisihan antara AS dan Iran jika Washington mencabut sanksi terhadap Teheran dan memenuhi tuntutannya negara terlebih dulu. Raisi menjawab dengan, “Tidak”.

Baca Juga

Dia mendesak AS kembali ke kesepakatan nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) dan mencabut semua sanksi terhadap Iran. “Semua sanksi yang dijatuhkan kepada Iran harus dicabut dan diverifikasi oleh Teheran,” katanya, dikutip laman Al Arabiya.

Raisi menegaskan kembali posisi Iran bahwa program rudal balistik dan dukungannya terhadap milisi regional tidak dapat dinegosiasikan. Saat ditanya tentang keterlibatannya dalam eksekusi massal tahanan politik Iran pada 1988, Raisi menggambarkan dirinya sebagai pembela hak asasi manusia (HAM).

“Jika seorang jaksa membela hak-hak rakyat dan keamanan masyarakat, dia harus dipuji dan didorong. Saya bangga telah membela keamanan di mana pun saya berada sebagai jaksa,” kata Raisi, yang merupakan wakil jaksa Teheran pada 1988.

Raisi telah memenangkan pemilihan presiden Iran pada Sabtu (19/6). Ulama ultrakonservatif itu memiliki sejarah keterlibatan dalam pelanggaran berat HAM. Menurut situs kampanyenya, Raisi menerima gelar doktor dalam bidang hukum dan yurisprudensi dari Universitas Mottahari di Teheran. 

Raisi telah menjadi tokoh kunci dalam peradilan Iran sejak awal 1980-an. Pada 1981, ketika dia berumur 20 tahun, Raisi diangkat menjadi jaksa Kota Karaj, dekat Teheran. Dua tahun kemudian, dia diangkat menjadi jaksa Hamedan, sebuah kota yang jaraknya 180 mil dari Karaj. 

Dia menjabat sebagai jaksa di dua kota tersebut secara bersamaan selama beberapa bulan. Raisi akhirnya dipromosikan menjadi jaksa Provinsi Hamedan. Pada 1985, Raisi pindah ke Teheran. Di sana, ia menjabat sebagai wakil jaksa. 

Jabatan senior lainnya yang pernah dijabat Raisi, termasuk wakil ketua pengadilan dari 2004 hingga 2014. Pada 2014-2016, dia menjadi jaksa agung.

Eksekusi Massal 1988

 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement