Selasa 22 Jun 2021 07:55 WIB

Ekonom: Pajak Sembako Bisa Perlebar Disparitas Kemiskinan

ada barang-barang lain yang seharusnya lebih pas dikenakan PPN.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Gilang Akbar Prambadi
Pedagang sembako dan sayuran melayani pembeli di Pasar Subuh, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Jumat (11/6/2021). Pemerintah terus berupaya untuk mengoptimalkan penerimaan negara melalui sektor perpajakan, dengan berencana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk 13 kategori bahan pokok.
Foto: ANTARA/ADENG BUSTOMI
Pedagang sembako dan sayuran melayani pembeli di Pasar Subuh, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Jumat (11/6/2021). Pemerintah terus berupaya untuk mengoptimalkan penerimaan negara melalui sektor perpajakan, dengan berencana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk 13 kategori bahan pokok.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Baru-baru ini publik dikagetkan dengan adanya isu pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap kebutuhan pokok atau sembako. Apabila rencana itu disahkan, bahan-bahan pokok seperti halnya beras, telur, daging, sayur-sayuran, dan semacamnya akan dikenai pajak dalam pembeliannya.

Ekonom dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Dr. Wasiaturrahma menilai pemerintah perlu menelaah secara matang sebelum memutuskan kebijakan tersebut. Wasiaturrahma menyatakan, pengenaan PPN pada sembako sangat berhubungan dan bisa berdampak pada perut rakyat kecil.

Menurutnya, Indonesia perlu belajar dari prinsip beberapa negara maju yang menerangkan bahwa makanan, kesehatan, dan pendidikan, tidak boleh dikenakan PPN. Itu karena menyangkut kebutuhan primer dalam kehidupan

"Itu negara maju. Kita negara berkembang, yang income per-kapitanya sudah sangat merosot akibat pandemi. Sekarang ini, semua mengalami penurunan daya beli oleh masyarakat. Jadi, kebijakan itu harus dipertimbangkan dengan baik," ujarnya di Surabaya, Senin (21/6).

Rahma memandang pengenaan PPN pada sembako akan menyulitkan masyarakat bawah, baik yang berpenghasilan tidak tetap ataupun berpenghasilan tetap tapi rendah. Menurutnya, daya beli masyarakat saat ini sudah rendah, apabila PPN pada sembako diterapkan, maka daya beli masyarakat bawah akan semakin anjlok.

"Silakan berlakukan kebijakan ini bagi kalangan atas, tapi tidak untuk kalangan masyarakat bawah karena bisa semakin memperlebar disparitas kemiskinan di Indonesia. Kita perlu merujuk kembali pada UUD 1945 pasal 33 yang menerangkan bahwa semua kebijakan itu tujuannya untuk kesejahteraan masyarakat," ujarnya.

Dosen kelahiran Sumenep itu menyebut, ada barang-barang lain yang seharusnya lebih pas dikenakan PPN dibandingkan sembako. Ia mencontohkan barang mewah seperti barang-barang impor yang menurutnya lebih wajib dikenakan PPN cukup tinggi. Hal itu selaras juga untuk mengurangi defisit neraca transaksi berjalan Indonesia.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement