Senin 21 Jun 2021 07:03 WIB

Tapering The Fed dan Covid Berpotensi Tekan IHSG Pekan Ini

Pekan ini pelaku pasar menantikan pidato pejabat The Fed.

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Nidia Zuraya
Karyawan melintas di dekat layar monitor pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta. ilustrasi
Foto: ANTARA/Galih Pradipta
Karyawan melintas di dekat layar monitor pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan pengetatan moneter atau tapering oleh bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve, diperkirakan akan menjadi sentimen utama yang mempengaruhi pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada pekan ini. 

Hasil pertemuan Federal Open Market Commettee (FOMC) mengisyaratkan adanya kenaikan suku bunga secara bertahap pada 2023. Sejalan dengan rencana itu, The Fed berpeluang mengurangi program pembelian obligasi (quantitative easing) atau tapering.

Baca Juga

"Hal ini masih akan menjadi sentimen negatif bagi pasar pada pekan ini," kata Direktur Anugerah Mega Investama, Hans Kwee, Ahad (20/6). 

Presiden The Fed, St. Louis James Bullard, mengatakan bank sentral dapat mulai mengetatkan suku bunga pada awal tahun 2022. Ini sebagai respons alami terhadap pertumbuhan ekonomi dan inflasi AS yang bergerak lebih cepat dari yang diharapkan.

 

Pekan ini pelaku pasar menantikan pidato pejabat The Fed sebagai arah pandangan mereka terkait kebijakan moneter bank sentral AS tersebut. Menurut Hans, pidato pejabat The Fed ini akan mempengaruhi pergerakan pasar keuangan. 

Selain kebijakan moneter AS, Hans mengatakan, pergerakan IHSG juga mendapat pengaruh dari perkembangan kasus Covid-19 di dalam negeri. Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 menyatakan lonjakan kasus usai Lebaran 2021 lebih tinggi dari Lebaran tahun lalu. 

Pada pekan keempat usai Lebaran 2020 terjadi kenaikan kasus 93,11 persen, sementara pada lebaran tahun ini terjadi kenaikan kasus hingga 112,22 persen. Kenaikan tertinggi terjadi di Jawa Tengah yang naik mencapai 281,59 persen, disusul DKI Jakarta yang naik 263,26 persen.

"Ini menimbulkan kekawatiran ketersediaan fasilitas kesehatan di tengah naiknya khasus Covid-19. Kenaikan kasus ini menjadi salah satu sentimen negatif bagi pasar keuangan Indonesia," kata Hans.

Di sisi lain, IHSG juga mendapat sentimen positif dari data makro ekonomi Indonesia. Secara umum, data tersebut menunjukan tanda-tanda perbaikan dan cenderung mendorong investor asing kembali masuk ke pasar Indonesia.

Bank Indonesia (BI) memperkirakan pada minggu ketiga Juni 2021 akan  terjadi deflasi 0,11 persen month to month (mtm). Inflasi Juni 2021 secara tahun kalender diperkirakan akan sebesar 0,79 persen year to date (ytd), dan secara tahunan sebesar 1,38 persen year on year (yoy). 

Penyumbang utama deflasi Juni 2021 sampai dengan minggu ketiga yaitu komoditas cabai merah -0,09 persen (mtm), daging ayam ras -0,08 persen (mtm), tarif angkutan antarkota -0,06 persen (mtm), cabai rawit -0,04 persen. Kemudian bawang merah -0,02 persen (mtm), daging sapi, kelapa, tomat dan udang basah masing-masing sebesar -0,01 persen (mtm). 

Untuk komoditas yang diperkirakan mengalami inflasi, antara lain telur ayam ras sebesar 0,04 persen (mtm) emas perhiasan sebesar 0,03 persen (mtm) minyak goreng, sawi hijau, nasi dengan lauk dan rokok kretek filter masing-masing sebesar 0,01 persen (mtm). 

Aliran dana asing yang masuk periode transaksi 14-17 Juni 2021 mencapai Rp3,31 triliun. Jumlah ini masuk melalui pasar SBN sebesar Rp2,80 triliun dan melalui saham sebesar Rp0,51 triliun. Berdasarkan data setelmen selama 2021 (ytd), nonresiden beli neto Rp20,63 triliun. Premi CDS Indonesia 5 tahun naik ke level 73,46 bps per 17 Juni 2021 dari 71,71 bps per 11 Juni 2021. 

Hans memperkirakan IHSG akan mengalami penurunan sepanjang pekan ini. "IHSG diperkirakan akan bergerak melemah dengan support level 5.944 sampai 5.848 dan resistance level 6.050 sampai 6.134," tutup Hans.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement