Ahad 20 Jun 2021 17:35 WIB

Menyoal Persoalan Tata Kelola Komunikasi Indonesia

Perlu satu lembaga Independen di bidang Komunikasi.

Indonesia memerlukan kehadiran lembaga komunikasi independen.
Foto: Pxhere
Indonesia memerlukan kehadiran lembaga komunikasi independen.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr. Fal. Harmonis, Doktor Broadcasting (Penyiaran) dengan Kompetensi dibidang Sistem dan Regulasi Penyiaran, Dosen Magister Ilmu Komunikasi (Mikom) FISIP UMJ, bidang Media dan Regulasi Dan Konsultan Riset Kualitas Program Siaran Televisi KPIP

Tata kelola yang baik, good governance, dalam berbagai bidang pembangunan merupakan sebuah keniscayaan ataupun keharusan. Untuk itu sudah menjadi keniscayaan pula bagi sebuah Negara untuk selalu konsen melahirkan berbagai kebijakan dan melakukan berbagai program yang terkait dengan tata kelola yang baik dimaksudkan.

Dalam konteks komunikasi, tata kelola komunikasi diharapkan juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari konsen Negara. Untuk itu Negara, dalam hal ini diwakili oleh stakeholder (pemangku kepentingan) yang terkait dengan komunikasi, seperti pemerintah, membuat regulasi ataupun kebijakan yang berkaitan dengan tata kelola komunikasi, secara khusus tentang regulator komunikasi.

Regulator komunikasi, seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), sangat dibutuhkan dalam menata komunikasi sehingga terwujud komunikasi yang baik. Sebab, kehadiran regulator dapat membuat berbagai regulasi ataupun peraturan perundang-undangan di bidang komunikasi dan bisa mengawalnya. Sehingga operator komunikasi, seperti media cetak dan penyiaran serta media baru, berfungsi sebagaimana yang diharapkan, secara khusus melaksanakan fungsi edukasi (pendidikan).

Institusi komunikasi, seperti televisi, surat kabar, majalah, dan media sosial, akan berfungsi dengan baik karena self sensorship yang dilakukan pengawas atau regulator internal dan kehadiran secara fungsional regulator independen eksternal yang komisionernya juga bersifat independen dan berorientasi kepada kebenaran demi kepentingan masyarakat secara keseluruhan.

Pertanyaan mendasarnya, dalam konteks Indonesia, jika dibandingkan dengan beberapa negara lain di dunia, apakah sudah terdapat kesamaan dan diasumsikan tidak terdapat persoalan antara satu lembaga regulator dengan yang lainnya ataupun dari sisi kuantitas (hanya lembaga tunggal atau beberapa lembaga pengawas)?

Amerika Serikat (AS) sebagai contoh, regulator yang mengurus ataupun mengawal komunikasi hanya satu lembaga, lembaga tungal, yaitu Federal Communication Commission (FCC). Demikian juga dengan Malaysia dengan lembaga Suruhanjaya Komunikasi dan Multi Media  Malaysia (SKMM). Hal yang sama juga terdapat di Korea Selatan, dengan nama Korean Communication Commission (KCC), dan masih banyak lagi negara lain di belahan dunia.

Lain halnya dengan Indonesia, terdapat beberapa lembaga yang melakukan penataan ataupun yang mengawal komunikasi. Di Indonesia terdapat beberapa regulator komunikasi, mulai dari pemerintah sampai kepada lembaga negara yang bersifat independen ataupun quasi. Sehingga jika terjadi masalah di bidang komunikasi, seperti dalam menilai sebuah berita melanggar atau tidak, sesuai atau tidak dengan peraturan perundang-undangan, tidak tertutup kemungkinan terjadi perbedaan persepsi antara regulator yang satu, yang diwakili komisioner masing-masingnya, seperti antara komisioner Dewan Pers (DP) dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tentang karya jurnalistik ataupun dengan Lembaga Sensor Film (LSF) tentang layak dan tidak layak lolos sebuah film yang disensor berdasarkan pertimbangan tontonan sekaligus tuntunan, yang signifikan dan cenderung hanya menguntungkan lembaga atau media komunikasi tertentu.

Selain yang terkait dengan konten ataupun pesan komunikasi, juga terdapat regulator yang tidak dapat dipisahkan dari tata kelola komunikasi, yakni Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang merupakan sebuah lembaga yang berfungsi sebagai badan regulator telekomunikasi di Indonesia. BRTI dibentuk melalui UU 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi.

Semua lembaga yang terkait dengan tata kelola komunikasi tersebut lahir karena amanah dari undang-undang yang dibuat oleh DPR dan Pemerintah, seperti Dewan Pers berdasarkan UU Pokok Pers No. 40 Tahun 1999. KPI berdasarkan UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002. LSF berdasarkan UU Perfilman Nomor 33 Tahun2009 dan lain sebagainya.

Membandingkan dan memperhatikan paparan di atas, memang sudah selayaknya bagi Indonesia, untuk melakukan tata kelola ulang komunikasi Indonesia (regovernance of Indonesian communication), melalui peraturan perundang-undangan yang baru. Baik dalam bentuk Undang-Undang, seperti Undang-Undang Komunikasi yang di Amerika Serikat (AS) dikenal sebagai Communication Act. Maupun dalam bentuk kebijakan (policy), secara khusus memuat tentang kuantitas lembaga ataupun regulator dengan komisionernya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement