Senin 21 Jun 2021 06:05 WIB

Studi Sebut Covid-19 Menyebar di AS Sejak Desember 2019

Kini, muncul lebih banyak bukti Covid-19 menyebar di AS sejak akhir Desember 2019.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Nora Azizah
Kini, muncul lebih banyak bukti Covid-19 menyebar di AS sejak akhir Desember 2019.
Foto: PixaHive
Kini, muncul lebih banyak bukti Covid-19 menyebar di AS sejak akhir Desember 2019.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Muncul lebih banyak bukti bahwa Covid-19 telah masuk ke Amerika Serikat (AS) pada akhir Desember 2019. Artinya, bisa jadi virus corona sudah mengintai setidaknya sebulan sebelum kasus Covid-19 pertama yang dilaporkan.

Hal tersebut terungkap dalam studi terbaru yang merupakan bagian dari program "All of Us" besutan fasilitas penelitian biomedis Institut Kesehatan Nasional (NIH). Studi menganalisis lebih dari 24 ribu sampel darah yang dikumpulkan sejak 2 Januari hingga 18 Maret 2020.

Baca Juga

Proyek itu bertujuan untuk mengumpulkan data kesehatan dari beragam populasi di AS. Para peneliti mengidentifikasi tujuh peserta dari lima negara bagian (Illinois, Massachusetts, Wisconsin, Pennsylvania, dan Mississippi) dan menguji antibodi positif terhadap virus SARS-COV-2.

Deteksi keberadaan antibodi paling awal berasal dari sampel yang dikumpulkan 7 Januari di Illinois. Karena dibutuhkan sekitar dua pekan bagi seseorang untuk mengembangkan antibodi ini, besar kemungkinan virus telah beredar di Illinois pada 24 Desember 2019.

Temuan itu telah terbit di jurnal //Clinical Infectious Diseases// pada Selasa (15/6). "Studi ini memungkinkan kami mengungkap informasi lebih lanjut tentang awal epidemi Covid-19 di AS," kata CEO Program "All of Us", Josh Denny.

Kasus Covid-19 pertama yang dikonfirmasi di AS tercatat pada 20 Januari 2020, diidap oleh warga Washington yang baru bepergian ke Cina. Namun, para peneliti telah curiga bahwa virus tiba di AS lebih awal dari waktu tersebut.

Studi sebelumnya dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) juga menemukan bukti bahwa virus sudah ada di AS pada Desember 2019. Namun, ada keterbatasan dari sejumlah riset tersebut.

Meskipun tes antibodi positif menunjukkan infeksi SARS-COV-2, peneliti tidak dapat membuktikan bahwa seseorang benar-benar terserang virus. Tes antibodi yang sangat akurat pun masih berpotensi menghasilkan sejumlah kecil hasil positif palsu.

Menanggapi itu, para peneliti menyampaikan bahwa mereka memang mengesampingkan hasil positif palsu. Mereka menggunakan dua tes antibodi berbeda, dan sampel harus diuji positif pada keduanya untuk dihitung sebagai hasil positif.

Tes pertama mengidentifikasi 147 sampel yang positif untuk antibodi SARS-COV-2, tetapi hanya sembilan yang juga diuji positif pada tes kedua. Dua sampel dikumpulkan setelah kasus pertama Covid-19 diidentifikasi di negara-negara bagian masing-masing peserta.

Ada juga kemungkinan bahwa sampel memiliki antibodi terhadap corona yang "bereaksi silang" sehingga memberikan hasil positif. Untuk perbandingan, tim menggunakan kelompok kontrol dengan 1.000 sampel darah lain yang dikumpulkan sejak Januari hingga Maret 2019.

Hasil dari periode waktu setahun sebelum merebaknya wabah itu menunjukkan tidak ada yang teruji positif terkait antibodi terhadap SARS-COV-2. Para peneliti berencana menindaklanjuti temuan studi dengan menanyakan riwayat perjalanan orang-orang yang punya antibodi positif.

Dalam hasil riset yang sudah ada, tim belum memiliki informasi tentang riwayat bepergian para peserta. Dengan kata lain, belum jelas apakah mereka terinfeksi di dalam komunitas atau karena baru datang dari tempat lain.

Pemimpin studi, Keri Althoff, merencanakan penelitian lanjutan untuk menguak kapan corona pertama kali muncul di AS. "Bulan yang tepat tentang kedatangannya di AS masih belum diketahui," ujar Althoff yang merupakan pakar epidemiologi di Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health, dikutip dari laman Science Alert, Ahad (20/6).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement