Kamis 17 Jun 2021 20:18 WIB

Ormas & Tokoh Madura Samakan Persepsi Terkait Penyekatan

Poin yang dibahas dalam audiensi ini salah satunya meluruskan soal isu diskriminasi.

Ormas & Tokoh Madura Samakan Persepsi Terkait Penyekatan (ilustrasi).
Foto: ANTARA/Didik Suhartono
Ormas & Tokoh Madura Samakan Persepsi Terkait Penyekatan (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,SURABAYA -- Sejumlah tokoh dan organisasi masyarakat (ormas) dari Madura melakukan audiensi di Kantor Humas Pemkot Surabaya, Kamis (17/6), guna menyamakan persepsi terkait tujuan penyekatan Suramadu untuk memutus mata rantai COVID-19.

Koordinator Lapangan Gerakan Selamatkan Jatim (GAS) Bob Hasan menyampaikan bahwa kedatangannya ke pemkot merupakan bentuk aspirasi dari beberapa elemen masyarakat Madura agar penyekatan Suramadu tidak sampai menyebabkan kerumunan.

"Kami mendorong pemerintah agar pelaksanaan tes usap di akses Suramadu tidak hanya dilakukan satu titik lokasi," katanya.

Untuk itu, ia menyarankan agar ada beberapa posko yang harus didirikan, bukan cuma di Surabaya saja, melainkan juga di Bangkalan. Bahkan saat ini informasinya sudah mulai didirikan posko untuk tes usap di Bangkalan oleh Pemprov Jatim dan Pemkab Bangkalan.

"Ini yang akan meminimalisir adanya kerumunan, dan memutus mata rantai penyebaran COVID-19," katanya.

Ketua Umum Aliansi Madura Perantau (AMP) Nawadi menyatakan, bahwa viralnya soal diskriminasi ini ternyata hanya sebuah pemelintiran. Karena itu, audiensi ini dilakukan bukan untuk mencari siapa yang salah dan benar, tapi bagaimana ke depan dapat saling bahu membahu dan kerjasama dalam memutus mata rantai penyebaran COVID-19.

"Jadi mulai sekarang kita berkomitmen, dengan elemen masyarakat, dengan seluruh organisasi Madura. Kita bahu membahu, kita gotong royong terjun ke lapangan untuk memberikan sosialisasi kepada masyarakat Madura," kata Nawadi.

Hal yang sama juga disampaikan, Ketua Madura Asli (MADAS), Berlian Ismail Marzuki. Dia mengaku sepakat dengan upaya pemerintah dalam memutus laju penyebaran COVID-19.

Bahkan, kata dia, pihaknya juga siap menyosialisasikan kepada masyarakat agar disiplin menerapkan protokol kesehatan."Kami ingin seluruh orang Madura patuhi protokol kesehatan. Masalah yang viral barusan itu hanya karena miskomunikasi. Jadi takutnya, dari pihak masyarakat Madura ekonomi kena. Karena apa? di lapangan sebetulnya bukan masalah ekonomi, tapi masalah prosedural, tes usap," katanya.

Sementara itu, dari kalangan Ketua Pemuda Pusura Surabaya Hoslih Abdullah yang juga ikut hadir mengatakan, adanya tudingan diskriminasi dalam penyekatan Suramadu yang dialamatkan kepada Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi kurang tepat.

"Masalah berdampak pada ekonomi, saya kira itu sudah menjadi masalah nasional. Termasuk Surabaya ikut terkena dampak ekonomi yang luar biasa. Tapi sebagai warga Surabaya, kita tetap mendorong dan mendukung agar Forkopimda, Wali Kota Surabaya melakukan langkah terbaik agar pandemi COVID-19 segera dapat diatasi," katanya.

Pendiri Komunitas Jogoboyo Kusnan mengatakan, bahwa hasil dari audiensi para tokoh dan ormas dari Madura di Pemkot Surabaya mendinginkan suasana disaat para petugas menjalankan penyekatan di Jembatan Suramadu.

"Kami berharap semua pihak bisa berfikir jernih, karena pandemi ini juga berdampak secara global. Semoga pandemi ini segera berakhir dan semua bisa berjalan normal kembali," katanya.

Sementara itu, Wakil Sekretaris Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Surabaya Irvan Widyanto mengatakan, bahwa ada beberapa poin yang dibahas dalam audiensi ini salah satunya meluruskan adanya soal isu diskriminasi yang muncul karena penerapan penyekatan di akses Suramadu.

"Salah satunya adalah terkait diskriminasi, tapi bukan menyangkut ras (golongan). Diskriminasi yang dianggap oleh mereka (ormas) adalah diskriminasi kebijakan yang dilakukan pemerintah kota," kata Irvan usai kegiatan audiensi.

Menurut dia, salah satu ormas menilai bahwa kebijakan penyekatan di akses Suramadu sisi Surabaya ini merupakan bentuk diskriminasi kebijakan. Namun demikian, setelah diberikan pemahaman, akhirnya mereka menyadari bahwasanya kebijakan tersebut bukanlah sebuah diskriminasi.

"Setelah kita berikan pemahaman kita terangkan semuanya, ternyata mereka menyadari bahwa ini bukan sebuah diskriminasi. Tapi memang sebuah upaya untuk memutus mata rantai dan mereka memahami. Karena kan tidak bisa keluar dari 3T (Testing, Tracing dan Treatment)," ujarnya.

 

sumber : ANTARA
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement