Kamis 17 Jun 2021 18:01 WIB

BI Indikasikan Kenaikan Suku Bunga Tahun Depan

Kebijakan BI terus menyesuaikan dengan segala perkembangan termasuk kondisi global

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Gita Amanda
Layar memampilkan logo Bank Indonesia (BI) di Jakarta, Kamis (17/6/2021). Bank Indonesia memutuskan mempertahankan suku bunga acuan BI (BI 7-Day Reverse Repo Rate/BI7DRR) di level 3,5 persen.
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Layar memampilkan logo Bank Indonesia (BI) di Jakarta, Kamis (17/6/2021). Bank Indonesia memutuskan mempertahankan suku bunga acuan BI (BI 7-Day Reverse Repo Rate/BI7DRR) di level 3,5 persen.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) mengindikasikan suku bunga acuan 7 Days Reverse Repo Rate (7DRRR) akan tetap rendah hingga tahun depan. Gubernur BI, Perry Warjiyo, mengatakan langkah kebijakan BI akan terus menyesuaikan dengan segala perkembangan yang ada, salah satunya kondisi global.

"Seperti yang kita tahu statement terbaru dari Bank Sentral AS, mengindikasikan The Fed arahnya semakin jelas, maka langkah yang kami lakukan terkait ini fokus ke menjaga stabilitas nilai rupiah juga koordinasi fiskal dengan Kementerian Keuangan menjaga dampak pada yield SBN," katanya dalam konferensi pers RDG BI, Kamis (17/6).

Baca Juga

Perry mengatakan tapering The Fed kemungkinan tidak akan terjadi tahun ini, melainkan tahun 2022 dan kenaikan suku bunganya pada 2023. Inflasi AS diperkirakan akan mengalami tekanan tahun ini namun hanya sementara. Tekanan inflasi secara fundamental diperkirakan baru terjadi tahun 2022-2023.

Dari proyeksi ini BI melihat tingkat pengangguran AS masih di atas target jangka panjangnya. Sehingga AS akan mengarahkan kebijakan moneternya untuk menurunkan tingkat pengangguran tersebut.

Perry mengatakan, The Fed akan tetap akomodatif dalam kebijakan moneter dan beranggapan masih terlalu dini untuk tapering off. Diperkirakan hal tersebut akan dilakukan tahun depan, mulai dari pengurangan quantitative easing dan pembelian surat berharga di kuartal I 2022.

"Kami melihat tapering The Fed tidak akan terjadi tahun ini, tapi kami tetap terus pantau segala hal yang bisa membuat perubahan," katanya.

Perry mengatakan pantauan BI melihat tidak terjadi kenaikan signifikan pada yield surat berharga AS US Treasury. Sehingga tidak banyak pengaruhnya ke dalam negeri baik nilai tukar maupun yield SBN.

BI akan terus optimalkan kebijakan agar pengarung dari tapering tersebut dalam batas normal. Sehingga respons BI terhadap spill over lebih dioptimalkan pada stabilitas nilai tukar dan yield SBN.

Terkait kebijakan lain salah satunya suku bunga akan difokuskan pada tujuan-tujuan ekonomi domestik. Perry mengatakan suku bunga acuan akan dijaga tetap rendah, likuiditas tetap longgar, kebijakan makroprudensial akomodatif.

Menurutnya, BI terus memantau perkembangan hingga saat ini dan melihat kenaikan inflasi baru akan terjadi paling cepat tahun depan. Kenaikan suku bunga baru akan terjadi jika BI sudah melihat tanda-tanda kenaikan inflasi.

"Antisipasinya mulai dari tapering dulu, injeksi likuiditas, baru langkah-langkah selanjutnya, kalau sudah yakin baru kita ke kebijakan suku bunga," kata Perry.

Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menyarankan agar BI segera menaikan suku bunga acuan. Menurutnya, tapering off The Fed pasti terjadi tahun ini atau tahun depan dan Indonesia harus sudah bersiap dari sebelumnya.

Ini karena Indonesia kerap disebut negara yang risiko volatilasnya tinggi terhadap guncangan tapering off dari The Fed. Tahun 2013, JP Morgan menempatkan Indonesia dalam the fragile five atau lima negara paling rentan imbas keluarnya dana asing.

Jadi kita tidak bisa berharap taper tantrum tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Perlu dicatat bahwa The Fed itu memprioritaskan kepentingan ekonomi AS bukan ekonomi negara berkembang seperti Indonesia. Artinya The Fed lebih fokus pada indikator inflasi dan data yang ada di AS.

"Melihat hal ini saya sarankan BI untuk segera bersiap lakukan pre-emptive dengan menaikan bunga acuan 25-50 bps sebelum terlambat karena rupiah bisa mengalami tekanan dahsyat di momen Fed mulai membeli kembali aset atau asset purchasing," katanya.

Kombinasi pelemahan kurs rupiah dan kenaikan harga minyak mentah akan menjadi efek mematikan bagi ekonomi Indonesia. Sebab harga BBM dan energi seperti tarif listrik bisa disesuaikan dalam tempo dekat. Inflasi akan naik sementara daya beli sebagian kelompok pemulihannya lambat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement