Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rahadi Kristiyanto SH MH

PRINSIP-PRINSIP TEOLOGIS DAN ETIS DALAM TEORI DAN METODOLOGI PENEMUAN HUKUM SYARIAH

Agama | Tuesday, 15 Jun 2021, 07:53 WIB

Prinsip Teologis dalam Islam

Sejarah Islam mencatat bahwa perkembangan teologi Islam di dunia Islam dibagi ke dalam tiga periode atau zaman, yaitu zaman klasik (650-1250 M), zaman pertengahan (1250-1800 M) dan zaman modern (1800 dan seterusnya). Teologi memiliki peranan yang cukup signifikan dalam upaya membentuk pola pikir yang nantinya akan berimplikasi pada perilaku keberagamaan seseorang. Pendekatan teologis normatif adalah upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya. Pendekatan teologis normatif menekankan pada bentuk formal atau simbol simbol keagamaan yang masing masing mengklaim dirinya yang paling benar, sedangkan yang lainnya salah. Dampak dari pendekatan teologis normatif adalah lahirnya corak pemikiran yang teosentris sehingga teologi Islam menjadi ahistoris, tidak kontekstual, tidak empiris, hanya berbicara tentang dirinya sendiri dan tentang kebenarannya sendiri (truth claim). Disamping itu sulitnya membedakan antara aspek normatif yang sakral dengan aspek yang hanya merupakan hasil pemikiran (ijtihad ulama) yang bersifat relatif dan profane. Sebagai upaya untuk rekonstruksi pemikiran teologi, maka diperlukan pendekatan antrophosentris. Pendekatan teologis antrophosentris tentu saja tidak bermaksud mengubah doktrin sentral tentang ketuhanan, tentang keesaaan Tuhan, melainkan suatu upaya untuk reorientasi pemahaman keagamaan, baik secara individual maupun kolektif dalam menyikapi kenyataan kenyataan empiris menurut perspektif ketuhanan. (Mufidah,2007)

Dr. Hamim Ilyas, M. Ag. dalam bukunya Fikih Akbar, menyatakan bahwa Konsep Islam Rahmatan lil ‘alamin berpangkal pada Ketuhanan Yang Maha Rahman dan Rahim, dasar paradigmanya adalah agama rahmat bagi seluruh alam. Hal ini mengandung makna bahwa agama bukanlah untuk Tuhan, akan tetapi diturunkan dari Tuhan untuk umat manusia dan alam semesta. Fungsi agama adalah untuk mempersatukan umat manusia, menyelamatkan umat manusia dan memperbaiki kehidupan umat manusia. Prinsip-Prinsip Teologis Islam Rahmatan Lil’alamin; terdapat lima pelajaran besar yang dapat disimpulkan yakni: Pertama, Islam tidak statis, pemikiran Islam dapat berkembang dengan menyesuaikan ruang dan waktu. Kedua, definisi Islam sebagai Diin dan Nikmah. Ketiga, ragam konseptualisasi (konsep rahmatan lil‘alamin) yang menyebutkan Islam adalah risalah untuk mewujudkan hidup baik, Islam adalah agama rasional, mudah, hanif, peduli, sebagai agama peradaban dan bukan agama prajurit (yangpenuh peperangan). Keempat, landasan agama Islam yang meliputi tauhid rahamutiyah (Ketuhanan yang Maha Rahman dan Rahim yang penuh dengan kasih sayang). Kerasulan Rahmat (Rasul diutus untuk mewujudkan hidup lebih baik), dan kitab Suci Rahmat (al Qur’an juga diturunkan untuk mewujudkan hidup lebih baik). Kelima, menjelaskan tentang fungsi agama Islam. Perbaikan kehidupan manusia dilakukan dengan gerakan dakwah,gerakan amar ma’ruf nahi munkar. (Ilyas, 2018:225)

Prinsip Etik dalam Hukum Islam Pengertian Etika dalam Islam Secara etimologis, menurut Endang Syaifuddin Anshari, etika berarti perbuatan, dan ada sangkut pautnya dengan kata-kata Kholiq ( pencipta) dan Makhluq (yang diciptakan). Akan tetapi, ditemukan juga pengertian etika berasal dari kata jamak dalam bahasa arab “akhlaq”. Kata mufradnya adalah khulqu, yang berarti : sajiyyah: perangai, mur’iiah : budi, thab’in : tabiat, dan adab: adab kesopanan. (Muhammad Alfan, 2011)

Etika pada umumnya diidentikkan dengan moral (moralitas). Meskipun sama terkait dengan baik-buruk tindakan manusia, etika dan moral memiliki perbedaan pengertian. Secara singkat, jika moral lebih cenderung pada pengertian “nilai baik dan buruk dari setiap perbuatan manusia, etika mempelajari tentang baik dan buruk”. Jadi bisa dikatakan etika berfungsi sebagai teori dan perbuatan baik dan buruk (ethics atau ‘ilm al-akhlaq) dan moral (akhlaq) adalah praktiknya. Sering pula yang dimaksud dengan etika adalah semua perbuatan yang lahir atas dorongan jiwa berupa perbuatan baik maupun buruk. (Muhammad Alfan, 2011).

Etika adalah salah satu cabang filsafat yang mempelajari tentang tingkah laku manusia, perkataan etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos yang berarti adat kebiasaan. Etika adalah sebuah pranata perilaku seseorang atau kelompok orang yang tersusun dari suatu sistem nilai atau norma yang diambil dari gejala-gejala alamiyah sekelompok masyarakat tersebut. (Faisal Badroen, 2006)

Istilah etika diartikan sebagai suatu (standard of conduct) yang memimpin individu, etika adalah suatu studi mengenai perbuatan yang sah dan benar dan moral yang dilakukan seseorang. Aristoteles mendefinisikan etika sebagai suatu kumpulan aturan yang harus dipatuhi oleh manusia. Etika juga memiliki stressing terhadap kajian sistem nilai-nilai yang ada. Oleh karena itu apabila kita kaitkan etika dengan penemuan hukum dalam Islam, maka akan melahirkan suatu kesimpulan bahwa upaya penemuan hukum harus mengacu nilai-nilai keislaman yang telah baku dari sumber aslinya yaitu al-Qu'ran dan as-Sunah.

Jika etika diartikan sebagai kumpulan peraturan sebagaimana yang diungkapkan oleh Aristoteles, maka etika dalam Islam dapat diartikan sebagai suatu upaya penemuan hukum yang harus mematuhi kumpulan aturan-aturan yang ada dalam hukum Islam. Pemakaian istilah etika seringkali disamakan dengan akhlak, adapun persamaannya terletak pada objeknya, yaitu keduanya sama-sama membahas baik buruknya tingkah laku manusia. Segi perbedaannya adalah, etika menentukan baik buruknya manusia dengan tolak ukur akal pikiran. Sedangkan akhlak tolak ukurnya adalah ajaran agama (al-Quran dan as-Sunnah). Sementara dalam bahasa arab etika dikenal juga sebagai akhlak yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku dan tabiat. Sedangkan secara istilah ada beberapapengertian tentang etika itu sendiri seperti :

1. Menurut Hamzah Ya’kub etika adalah ilmu tingkah laku manusia yang berkaitan dengan prinsip-prinsip dan tindakan moral yang betul , atau tepatnya etika adalah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk. (Hamzah Ya’kub, 1983)

2. Menurut Amin etika atau akhlak adalah ilmu yang menjelaskan arti yang baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia kepada lainnya. Menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat. Ajaran etika berpedoman pada kebaikan dari suatu perbuatan yang dapat dilihat dari sumbangsihnya dalam menciptakan kebaikan hidup sesama manusia, baik buruknya perbuatan seseorang dapat dilihat berdasarkan besar kecilnya dia memberikan manfaat kepada orang lain. Dalam menentukan baik atau buruknya perbuatan seseorang, maka yang menjadi tolak ukur adalah akal pikiran. Selain etika ada juga yang dapat menentukan suatu perbuatan baik atau buruk yaitu akhlak. Namun dalam menentukan baik atau buruknya perbuatan yang menjadi tolak ukur dalam akhlak yaitu al-Quran dan as-Sunnah.

Etika pada umumnya diidentikkan dengan moral (moralitas). Meskipun sama terkait dengan baik-buruk tindakan manusia, etika dan moral memiliki perbedaan pengertian. Secara singkat, jika moral lebih cenderung pada pengertian “nilai baik dan buruk dari setiap perbuatan manusia, etika mempelajari tentang baik dan buruk”. Jadi, bisa dikatakan, etika berfungsi sebagai teori dan perbuatan baik dan buruk (ethics atau ilm’al-akhlaq) dan moral, (akhlaq) adalah praktiknya. Akhlak merupakan bentuk praksis ajaran Islam dalam mengatur tindakan moral manusia. Akhlak juga sering didefinisikan sebagai ilmu tentang keutamaan-keutamaan dan cara mendapatkannya, sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan ilmu tentang hal yang buruk dan bagaimana cara menjauhinya. (Taufik, 2016).

Sering pula yang dimaksud dengan etika adalah semua perbuatan yang lahir atas dorongan jiwa berupa perbuatan baik maupun buruk. Etika adalah salah satu cabang filsafat yang mempelajari tentang tingkah laku manusia, perkataan etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos yang berarti adat kebiasaan. Etika adalah sebuah pranata perilaku seseorang atau kelompok orang yang tersusun dari suatu sistem nilai atau norma yang diambil dari gejala-gejala alamiyah sekelompok masyarakat tersebut (Badroen, 2006).

Di dalam agama Islam pemakaian istilah etika disamakan dengan akhlak, adapun persamaannya terletak pada objeknya, yaitu keduanya sama-sama membahas baik buruknya tingkah laku manusia. Segi perbedaannya etika menentukan baik buruknya manusia dengan tolak ukur akal pikiran. Sedangkan akhlak dengan menentukannya dengan tolak ukur ajaran agama. (Badroen, 2006).

Sumber etika dalam Islam (etika Islam) adalah al-Qur'an dan as- Sunnah yang mana kedua sumber tersebut selalu menjadi tolak ukur akan baik buruknya perbuatan yang dilakukan oleh kaum muslimin. Kedua sumber ini juga selalu menjadi pedoman atau bisa disebut juga penuntun kehidupan manusia untuk meraih kebahagiaan di dunia maupun diakhirat. Al-Quran adalah wahyu Allah yang disampaikan kepada umat Islam melalui Nabi Muhammad SAW. Perilaku Nabi dipandang sebagai penafsiran al-Quran paling faktual. Bahkan di banyak riwayat ditegaskan bahwa Nabi tidak bertindak atau berperilaku melainkan karena tuntunan wahyu, dan akhlak Rasulullah adalah al-Quran. Itu sebabnya dalam keilmuan Islam, etika Islam tidak melepaskan dasar pemikirannya dari al-Qur’an dan sunah Nabi SAW.

Al-Qur'an merupakan kitab yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril yang bertujuan terwujudnya insan kamil yang mempunyai posisi yang mulia di sisi Allah SWT serta memiliki nilai-nilai humanisme yang tinggi. Allah menurunkan wahyu melalui para Nabi-Nya, dan menjelaskan hukum-hukum kehidupan semua, itu semata-mata untuk kepentingan manusia sendiri, dan merupakan wujud kasih sayang kepada manusia, agar manusia memperoleh keselamatan dan kebahagiaan. (Asy’arie, 2002).

Kembali ke pengertian etika, menurut Burhanuddin Salam, istilah, etika berasal dari katalatin, yakni “ethic”, sedangkan dalam bahasa Greek, ethikos yaitu a body of moral principle or values. Ethic, arti sebenarnya ialah kebiasaan (habit). Jadi, dalam pengertian aslinya, apa yang disebutkan baik itu adalah yang sesuai dengan kebiasaan masyarakat (pada saat itu). Lambat laun pengertian etika itu berubah dan berkembang sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan manusia. Perkembangan pengertian etika tidak lepas dari substansinya bahwa etika adalah suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dinilai baik dan mana yang buruk. Istilah lain dari etika, yaitu moral, susila, budi pekerti, akhlak. Etika merupakan ilmu bukan sebuah ajaran. (Salam, 2000).

Etika dalam bahasa Arab disebut akhlaq, merupakan jamak dari kata khuluq yang berarti adat kebiasaan, perangai, tabiat, watak, adab, dan agama. Masalah kemerosotan moral menjadi problem saat ini, meskipun demikian, tidak jelas faktor apa yang menjadi penyebabnya. Masalah moral adalah masalah yang muncul pada diri manusia, baik ideal maupun realita. Secara ideal ketika manusia diberikan ruh oleh Allah untuk pertama kali dalam hidupnya, padanya disertakan rasio penimbang baik dan buruk. Oleh sebab itu masalah moral adalah masalah normatif.

Di dalam hidupnya manusia dinilai atau akan melakukan sesuatu karena nilai. Nilai mana yang dituju tergantung pada tingkat pengertian akan nilai tersebut. Pengertian tersebut bahwa manusia memahami apa yang baik dan apa yang buruk serta ia dapat membedakan keduanya dan selanjutnya pada tahap pengamalannya. (Alfan, 2011)

Majid Fakhri membagi aliran etika Islam menjadi empat kelompok; Pertama, moralitas skriptural, ini berarti sebuah tipe etika di mana keputusan-keputusan yang terkait dengan etika tersebut diambil dari al-Qur’an dan as-Sunnah dengan memanfaatkan abstraksi-abstraksi dan analisis-analisis para filosof dan para teolog di bawah naungan metode-metode dan kategori-kategori diskursif yang berkembang pada abad VIII dan IX. Kelompok yang termasuk tipe etika ini sebagian para ahli tafsir dan para ahli hadits. Kedua, etika teologis ini berarti sebuah tipe etika dimana dalam mengambil keputusan keputusan etika, sepenuhnya mengambil dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Kelompok etika tipe ini ada pada kelompok aliran Mu’tazilah. Ketiga, etika filosofis.Tipe etika ini dimana dalam mengambil keputusan-keputusan etika mendasarkan diri sepenuhnya pada tulisan Plato dan Aristoteles yang telah diinterpretasikan oleh para penulis Neo Platonik dan Galen yang telah digabung dengan doktrin-doktrin Stoa, Platonik, Phitagorian dan Aristotelian. Termasuk kelompok ini antara lain Ibnu Miskawaih dan penerusnya. Keempat, etika religius, merupakan tipe etika dimana keputusan etikanya berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah, konsep-konsep teologis, kategori-kategori filsafat, dan sedikit sufis. Unsur utama etika ini biasanya terkonsentrasi pada dunia dan manusia. Tipe pemikiran etika ini lebih kompleks dan berciri Islam. Beberapa tokoh yang termasuk mempunyai tipe pemikiran etika ini, antara lain Hasan al Bashry, al Mawardi, al Ghazali, Fakhrudin ar Razi dll. (Haris, 2010).

Dalam Islam etika memiliki karakter yang khusus. Islam bukanlah agama takhayul yang mengajarkan penganutnya untuk mengisolasi diri dari masyarakat umum. Islam juga bukanlah agama yang mengatur masalah ritual saja. Namun, Islam mengajarkan penganutnya untuk beretika secara Islami yang mana telah diajarkan oleh agamanya sendiri (Islam) sehingga nilai-nilai etika ditegakkan untuk mengaturnya. Ajaran etika dalam Islam menyangkut seluruh sisi kehidupan manusia, yaitu beretika dengan sesama manusia, lingkungan, hewan dan lain sebagainya. Kedudukan etika Islam dalam kehidupan manusia menempati tempat paling baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. (Amin, 1983).

Apabila etika seseorang itu baik maka ia akan sejahtera lahir dan batin namun jika etikanya buruk maka buruklah lahir batinnya. Sumber-sumber etika Islam secara umum berhubungan dengan empat hal yaitu sebagai berikut:

1. Dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia.

2. Dari segi sumbernya, etika bersumber dari akal pikiran atau filsafat. Sebagai hasil pemikiran maka etika tidak bersifat mutlak, absolut dan tidak universal.

3. Dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia yakni apakah perbuatan itu akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat atau hina. Etika merupakan konsep atau pemikiran mengenai nilai-nilai untuk digunakan dalam menentukan posisi atau status perbuatan yang dilakukan manusia. Etika lebih mengacu kepada pengkajian sistem nilai nilai yang ada.

4. Dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relatif yakni dapat berubah-ubah sesuai tuntunan zaman.

Sumber Etika Dalam Islam

Sumber etika Islam adalah al Qur-an dan as-Sunnah. Sebagai sumber etika Islam, al-Qur’an dan as-Sunnah menjelaskan bagaimana cara berbuat baik. Kedua sumber etika Islam ituberfungsi sebagai pedoman umat untuk mengetahui bagaimana cara-cara berbuat baik sesuai dengan apa yang telah disampaikan ataupun dicontohkan langsung dari Rasulullah melalui tingkah laku beliau yang mengacu langsung dari al-Qur’an. Itulah yang menjadi landasan dan sumber dari ajaran Islam secara keseluruhan sebagai pola hidup dan menetapkan mana yang baik dan mana yang buruk. (Abdullah, 2006).

Al-Qur’an juga berfungsi sebagai pembenar dan penguji kitab-kitab suci agama yang lain dan juga memuat konsep-konsep dan prinsip-prinsip etik yang bertujuan untuk menghasilkan sikap-sikap yang benar bagi tindakan manusia, baik dalam tindakan politik, sosial, ekonomi dan terutama dalam perdagangan. (Aziz, 2003). Di dalam ranah perdagangan saja kita lihat bahwa disitu seseorang dituntut untuk selalu ramah tamah ketika melakukan interaksi antar pembeli dan penjual, sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah untuk selalu jujur di dalam menimbang barang, mengisi harga jual dan mengambil keuntungan yang sesuai dengan harga telahditentukan. Bukankah di sini telah mencerminkan sikap atau perilaku kita terhadap sesama yang mana telah dicontohkan langsung oleh Rasulullah untuk membentuk akhlak yang sesuai denganperintah langsung dari al Qur’an dan as-Sunnah. Maka di sini juga al-Qur’an pun turut andil menentukan hukum-hukum bagi mereka yang curang atau merugikan orang lain di dalam melakukan perdagangan. Fazlur Rahman menyatakan bahwa semangat dasar al-Qur’an adalah semangat moral, dengan landasan monotheisme untuk terwujudnya keadilan sosial. Hukum moral adalah abadi, ia adalah perintah Allah. Manusia tak dapat membuat atau memusnahkan hukum moral, ia harus menyerahkan diri kepadanya. Penyerahan ini dinamakan Islam dan implementasinya dalam kehidupan disebut ibadah atau pengabdian kepada Allah.(Jurnal Al-Aqidah: Jurnal Ilmu Aqidah Filsafat, Volume 12). Karena Penekanan al Qur’an terhadap hukum moral, maka Allah di dalam al-Qur’an tampak bagi banyak orang terutama sebagai Tuhan keadilan. (Rahman, 2010). Al-Qur’an adalah suatu ajaran yang bertujuan terutama untuk menghasilkan moral yang benar bagi tindakan manusia. Tindakan yang benar, apakah tindakan politik, keagamaan atau sosial, dipandang al-Qur’an sebagai ibadah atau pengabdiankepada Allah. Karena itu al-Qur’an mengutamakan semua penekanan-penekanan moral danfaktor-faktor psikologis yang melahirkan kerangka berpikir yang benar bagi tindakannya. AlQur’an memperingatkan manusia terhadap kesombongan dan rasa cukup diri, yakni humanis memurni di satu pihak, dan putus asa serta hilang semangat hidup di pihak lain. (Rahman, 2010). Hadits Rasulullah SAW merupakan pedoman yang kedua setelah al-Qur’an yang meliputi perkataan dan tingkah laku beliau. Hadits juga dipandang sebagai lampiran penjelasan dari al-Qur’an terutama dalam masalah-masalah yang tersurat pokok-pokoknya saja. Jadi telah jelas bahwa al-Qur’an dan as-Sunnah Rasul adalah pedoman hidup yang menjadi asas bagi setiap muslim, maka teranglah keduanya merupakan sumber etika Islam. Dasar etika Islam yangdijelaskan dalam al Qur'an adalah sebagai berikut: Di dalam al-Qur'an surah Al Ahzab ayat 21dikatakan “sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyakmenyebut Allah." (QS. AlAhzab [33]: 21).

Etika dalam Islam merupakan misi kenabian yang paling utama setelah pengesaan Allah SWT (attauhid). Dalam hal ini Rasulullah pernah bersabda: “bahwasanya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik”.

Dalam tataran khazanah keilmuan Islam, etika biasanya disebut dengan filsafat praktis. Ia menempati bagian penting didalam diskursus pemikiran Islam klasik. Filsafat praktis itu sendiri berbicara tentang segala sesuatu bagaimana seharusnya yang berdasar kepada filsafat teoritis, yakni pembahasan tentang segala sesuatu sebagaimana adanya. (Taufik, 2016).

Tentang akhlak pribadi Rasulullah SAW dijelaskan pula oleh Aisyah RA. Diriwayatkan oleh Imam Muslim. Dari Aisyah RA. berkata, “sesungguhnya akhlak Rasulullah itu adalah al-Qur'an”. (HR.Muslim). Hadits Rasulullah meliputi perkataan dan tingkah laku beliau, merupakan sumber akhlak yang kedua setelah al-Qur’an segala ucapan dan prilaku beliau senantiasa mendapat bimbingan dari Allah SWT.(Nasrul, 2015).

Majid Fakhry menegaskan di dalam bukunya Etika Dalam Islam, etika adalah menerangkan dan menginventarisasikan ayat-ayat al-Qur'an yang mencakup tiga masalah pokok yaitu: Hakekat benar dan salah; Keadilan dan kekuatan Tuhan; dan terkhir adalah Kebebasan.

Penemuan Hukum

Hukum memiliki tujuan yakni untuk mewujudkan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Akan tetapi diantara tujuan hukum tersebut dalam pelaksanaannya menemui pertentangan, sisi keadilan,sisi kepastian dan sisi kemanfaatan hukum sering kali menjadi dilema bagi para penegak hukum. Sisi kepastian hukum lebih mudah diterapkan meskipun kadang-kadang mengabaikan keadilan dan kemanfaatan, sementara asas-asas hukum tidak mengenal hierarki sehingga tidak ada satu asas pun yang lebih superior sehingga dapat mengesampingkan asas hukum lainnya. Keadaan hukum yang memiliki tiga sisi tersebut, menuntut adanya pemikiran progresif dari para ahli hukum untuk dapat merekonstruksi hukum menjadi hukum yang terbuka dengan perubahan dalam konteks masyarakat yang ada pada saat itu. Paradigma hukum progresif yang menempatkan hukum bukan sebagai satu skema yang final, akan tetapi menempatkan hukum sebagai sesuatu yang dinamis, terus bergerak, berubah dan mengikuti dinamika kehidupan manusia menjadi relevan dalam pembahasan ini. Hukum tidak dipandang sebagai sesuatu yang hidup pada ruang hampa, akan tetapi hukum lahir dari norma yang hidup dalam masyarakat (ibisocietas ibi ius). Oleh karena itu hukum harus terus digali melalui upaya-upaya yang progresif untuk menemukan kebenaran sejati untuk mencapai tujuan hukum. Salah satu upaya menggali hukum adalah dengan cari melakukan penemuan hukum. Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses konkretisasi peraturan hukum yang bersifat umum terhadap peristiwa-peristiwa konkret yang terjadi di masyarakat. Ada beberapa aliran yang menjadi lahirnya penemuan hukum yakni aliran Legisme dan Freirechtslehre. Aliran legisme adalah aliran yang tumbuh pada abad ke-19, karena kepercayan kepada hukum alam yang rasionalis hampir ditinggalkan orang sama sekali. Aliran legisme ini menekankan bahwa hakikat hukum itu adalah hukum tertulis (undang-undang), semua persoalan masyarakat diatur dalam hukum tertulis. Pada hakikatnya merupakan pandangan yang berlebihan terhadap kekuasaan yang menciptakan hukum tertulis, sehingga dianggap kekuasaan adalah sumber hukum. Dalam perkembangannya, aliran legisme ini semakin lama semakin ditinggalkan. Karena semakin lama semakin disadari bahwa undang-undang memiliki kelemahan lagi selain sifatnya statis dan kaku, yakni tidak dapat mencangkup kebutuhan masyarakat akan suatu permasalahan hukum. Sifat undang-undang yang abstrak dan umum itulah yang menimbulkan kesulitan dalam penerapannya secara in concreto oleh para hakim di pengadilan. Tidak mungkin hakim akan dapat memutus suatu perkara, jika hakim hanya berfungsi sebagai terompet undang-undang belaka, sehingga hakim masih harus melakukan kreasi tertentu. Akibat kekurangan-kekurangan yang ditemui dalam perjalanan aliran Legisme, kemudian lahirlah aliran Freie Rechtslehre atau Freie Rechtsbewegung atau Freie Rechtsschule sebagai penentang aliran legisme yang memiliki banyak kekurangan. Aliran Freie Rechtslehre ini bertolak belakang dengan aliran legisme. Aliran ini lahir karena melihat kekurangan-kekurangan dalam aliran legisme yang ternyata tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan tidak dapat mengatasi persoalan-persoalan baru. Ciri utama pada aliran ini adalah hukum tidak dibuat oleh legislatif. Hakim menentukan dan menciptakan hukum (judge made law), karena keputusannya didasarkan pada keyakinan hakim. (Achmad Ali, 2005)

Yurisprudensi adalah sumber hukum primer, sedangkan Undang-Undang adalah sekunder. Keputusan hakim lebih dinamis dan up to date karena senantiasa mengikuti keadaan perkembangan di masyarakat dan bertitik tolak pada kegunaan sosial (social dolmatigheid). Tujuan utama aliran ini yakni memberikan kemanfaatan dalam masyarakat. Namun dalam perkembangan selanjutnya, ternyata ditemukan bahwa solusi menemukan yang pada awalnya menjadi tujuan utama aliran Freie Rechtslehre justru menimbulkan ketidak pastian dalam perjalanan selanjutnya. Pandangan Legisme dan Freie Rechtslehre yang ekstrem tersebut secara tegas membedakan hukum yang berasal dari perundang-undangan dan hukum yang berasal dari peradilan. Pandangan Legisme yang menjunjung tinggi akan kepastian hukum, sedangkan ajaran Freie Rechtslehre yang menjunjung akan kemanfaatan bagi masyarakat. Jika dicermati, sebenarnya tertera beberapa ketentuan yang menjadi dasar terjadinya penemuan hukum dalam praktik peradilan di Indonesia. Apabila melihat Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman mulai dari Undang-Undang Nomer 14 Tahun 1970, Undang-Undang Nomer 4 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomer 48 Tahun 2009, terdapat pasal yang menegaskan agar hakim wajib menggali mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Pasal-pasal tersebut tentu berkaitan dengan tugas pokok hakim yakni memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Metode Penemuan Hukum Hakim dalam melakukan penemuan hukum, berpedoman pada metode-metode yang telah ada. Metode-metode dalam penemuan hukum meliputi metode interpretasi (interpretation method), metode kontruksi hukum atau penalaran (redeneeruweijizen). Interpretasi hukum terjadi apabila terdapat ketentuan Undang-Undang yang secara langsung dapat ditetapkan ketentuan undang-undang yang secara langsung dapat ditetapkan pada peristiwa konkret yang dihadapi, sedangkan kontruksi hukum terjadi apabila tidak ditemukan ketentuan undang-undang yang secara langsung dapat diterapkan pada masalah hukum yang dihadapi, atau dalam hal peraturannya tidak ada, jadi terdapat kekosongan hukum (recht vacuum) atau kekosongan undang-undang (wet vacuum). Untuk mengisi kekosongan undang-undang inilah, hakim menggunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang. Interpretasi memiliki arti pemberian kesan, pendapat, pandangan teoritis terhadap sesuatu atau biasa dikenal dengan sebutan tafsiran. Menurut Soeroso, “metode interpretasi atau penafsiran ialah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-dalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang dikehendaki dan yang dimaksud oleh pembuat Undang-Undang.”

Sedangkan menurut Shiddiq Armia, “metode kontruksi, memiliki arti bahwa hakim membuat suatu pengertian hukum yang mengandung persamaan ketika tidak dijumpai ketentuan yang berlaku dalam peraturan perundang-undangan.”.

Mengenai pengertian interpretasi dan kontruksi, Ahmad Ali membedakannya sebagai berikut : 1. Pada interpretasi, merupakan penafsiran terhadap teks Undang-Undang;

2. Pada kontruksi, hakim menggunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks Undang-Undang, dimana hakim tidak lagi berpegang pada bunyi teks, tetapi dengan syarat hakim tidak mengabaikan hukum sebagai suatu sistem.

Pengertian Penemuan Hukum (Rechtsvinding) oleh Hakim

Kegiatan kehidupan manusia sangat luas, tidak terhitung jumlah dan jenisnya, sehingga tidak mungkin tercakup dalam suatu perundang-undang dengan tuntas dan jelas. Sehingga tidak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas sejelas jelasnya. Karena hukumnya tidak lengkap dan tidak jelas, maka harus dicari dan ditemukan. Hukum diartikan sebagai keputusan hukum (pengadilan), yang menjadi pokok masalah adalah tugas dan kewajiban hakim mengenai tugas dan kewajiban hakim dalam menemukan apa yang menjadi hukum, hakim dapat dianggap sebagai salah satu faktor pembentuk hukum. Karena undang-undang tidak lengkap maka hakim harus mencari dan menemukan hukumnya (recthsvinding).

Penemuan hukum menurut Sudikno Mertokusumo, yaitu: “lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas petugas hukumyang diberi tugas melaksanakan hukum atau menerapkan peraturan-peraturan hukum terhadap suatu peristiwa yang konkret.” (Sudikno, 2014)

Keharusan menemukan hukum baru ketika aturannya tidak saja tak jelas, tetapi memang tidak ada, diperlukan pembentukan hukum untuk memberikan penyelesaian yang hasilnya dirumuskan dalam suatu putusan yang disebut dengan putusan hakim, yang merupakan penerapan hukum. Eksistensi penemuan hukum begitu mendapatkan perhatian yang berlebih, karena penemuan hukum dirasa mampu memberikan suatu putusan yang lebih dinamis dengan memadukan antara aturan yang tertulis dan aturan yang tidak tertulis. Rechtsvinding hakim diartikan sebagai ijtihad hakim dalam memberikan keputusan yang memiliki jiwa tujuan hukum. Menurut Paul Scholten sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali, “penemuan hukum diartikan sebagai sesuatu yang lain daripada penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya, dimana kadangkala terjadi bahwa peraturannya harus dikemukakan dengan jalan interpretasi.”

Dari pengertian penemuan hukum diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud penemuan hukum yaitu proses pembentukan hukum oleh hakim, hakim harus melihat apakah undang-undang tersebut tidak memberikan peraturan yang jelas, atau tidak ada ketentuan yang mengaturnya, jika terjadi demikian maka hakim dapat melakukan penemuan hukum. Hal tersebut bertujuan untuk menciptakan hukum yang konkrit dan sesuai kebutuhan masyarakat. Dapat ditarik kesimpulan pula bahwa yang dimaksud penemuan hukum yaitu proses pembentukan hukum oleh hakim, yang mana hakim tersebut tidak hanya melihat pada tekstualnya atau dalam arti hanya dari undang-undang saja, namun dapat juga dari sumber hukum yang lain. Sistem hukum islam juga mengenal adanya penemuan hukum (recthsvinding).

Penemuan Hukum Islam

Dalam konteks hukum Islam, istilah penemuan hukum lebih tepat digunakan, karena diyakini bahwa hukum itu tidak dibuat tetapi ditemukan. Dalam rangka menemukan hukum terhadap berbagai persoalan yang tidak ada atau tidak jelas hukumnya, para juris muslim telah mengembangkan metode penemuan hukum Islam yang bertolak dari sumber-sumber hukum Islam itu sendiri. Dalam Hukum Islam ada tiga metode ditemukannya hukum, pertama, metode interpretasi literal yaitu hukum yang ditemukan adalah bukan hukum-hukum baru tetapi menafsirkan kembali apa yang ada dalam teks, karena bunyi teks dianggap tidak atau kurang adanya kejelasan hukum. Kedua, kausasi (ta’lili), yaitu mencari dasar penetapan hukum baik dari segi alasan maupun tujuan tujuan ditetapkannya hukum syara’. Metode ini mecakup dua temuan hukum yang meliputi metode qiyas, yaitu menetapkan hukum berdasarkan adanya kesamaan indikasi dan metode teleologis, yaitu menetapkan hukum karena adanya tujuan-tujuan hukum. Ketiga metode sinkronisasi, yaitu mencari solusi terhadap perlawanan antara dua dalil yang sama derajatnya, misalnya antara ayat al-Qur'an dengan ayat al-Qur'an yang lain, antara hadits mutawatir dengan hadits mutawatir yang lain, dan seterusnya.

Berbeda dengan ad-Dawalibi, beliau berpendapat ada tiga model (penemuan hukum) ijtihad yang dilakukan oleh para sahabat Nabi, hanya saja tidak ditegaskan istilah-istilahnya, yaitu ijtihad bayani, ijtihad qiyasi dan ijtihad istislahi. Dalam sistem hukum Islam juga dikenal adanya penemuan hukum yang disebut dengan istilah “ijtihad”. Ijtihad menurut istilah ulama ushul, yaitu mencurahkan daya kemampuan untuk menghasilkan hukum syara’ dari dalil-dalil syara’ secara terinci. Adapun lapangan ijtihad inimeliputi dua hal, yaitu: (1) sesuatu yang tidak ada nashnya sama sekali, dan (2) sesuatu yang ada nashnya yang tidak pasti. Kedua lapangan ijtihad inilah merupakan objek yang sangat luas untuk melakukan ijtihad. Karena seorang mujtahid itu meneliti agar sampai kepada mengetahui hukumnya dengan cara qiyas (analogi), atau istishan (menganggap baik), atau istishab (menganggap berhubungan), atau memelihara ‘Urf (kebiasaan), atau maslahah mursalah (kepentingan umum). Secara umum, hukum ijtihad itu adalah wajib. Artinya, seseorang mujtahid wajib melakukan ijtihad untuk menggali dan merumuskan hukum syara’ dalam hal-hal yang syara’ sendiri tidak menetapkannya secara jelas dan pasti. Adapun sandaran diperbolehkannya melakukan ijtihad berdasar untuk mencari titik temudalam setiap putusan berlandaskan pada Surat Al-Hasyr ayat 2 yang artinya : "maka ambilah pelajaran hai orang-orang yang berakal"

Firman Allah dalam al-Qur’an tersebut di atas menjadi dalil adanya ijtihad dalam menetapkan hukum, terutama jika dalam masalah yang dihadapi ketentuan hukumnya tidak terdapat dalam al-Quran dan As-Sunnah. Ijthad dapat dilakukan bukan hanya oleh fuqaha atau ushuliyyin. Seorang hakim di pengadilan, jika menemukan masalah yang membutuhkan pemikiran mendalam, dapat melakukan ijtihad dalam memutus perkara yang dihadapi. Hal itulah yang dalam lingkungan peradilan disebut dengan penemuan hukum. (Hasanuddin, 2003)

Kesimpulan

1. Dalam sistem hukum Islam dikenal adanya penemuan hukum yang disebut dengan istilah ijtihad. Ijtihad menurut istilah ulama ushul, yaitu mencurahkan daya kemampuan untuk menghasilkan hukum syara’ dari dalil-dalil syara’ secara terinci. Adapun lapangan ijtihad ini meliputi dua hal, yaitu: (1) sesuatu yang tidak ada nashnya sama sekali, dan (2)sesuatu yang ada nashnya yang tidak pasti. Kedua lapangan ijtihad inilah merupakan objek yang sangat luas untuk melakukan ijtihad. Karena seorang mujtahid itu meneliti agar sampai kepada mengetahui hukumnya dengan cara qiyas (analogi), atau istishan (menganggap baik), atau istishab (menganggap berhubungan), atau memelihara ‘Urf (kebiasaan), atau maslahah mursalah (kepentingan umum). Secara umum, hukum ijtihad itu adalah wajib. Artinya, seseorang mujtahid wajib melakukan ijtihad untuk menggali dan merumuskan hukum syara’ dalam hal-hal yang syara’ sendiri tidak menetapkannya secara jelas dan pasti.

2. Upaya penemuan hukum harus mengacu nilai-nilai ke islaman yang telah baku dari sumber aslinya yaitu al-Quran dan as-Sunnah. Jika etika diartikan sebagai kumpulan peraturan sebagaimana yang diungkapkan oleh Aristoteles, maka etika dalam metode penemuan hukum, dapat diartikan sebagai suatu upaya penemuan hukum yang harus mematuhi kumpulan aturan-aturan yang ada dalam hukum Islam.

3. Penemuan hukum oleh hakim yaitu proses pembentukan hukum yang dilakukan oleh hakim, yang mana hakim tersebut tidak hanya melihat pada konteks tekstual atau dalam arti hanya dari Undang-Undang saja, namun dapat juga dari sumber hukum yang lain. Dimana sistem hukum islam juga mengenal adanya penemuan hukum (recthsvinding). Dimana dalam proses penemuan hukum itu mengacu pada prinsip-prinsip teologis Islam Rahmatan Lil’alamin; yakni: Pertama, Islam tidak statis, pemikiran Islam dapat berkembang dengan menyesuaikan ruang dan waktu. Kedua, definisi Islam sebagai Diin dan Nikmah. Ketiga, ragam konseptualisasi (konsep rahmatan lil ‘alamin) yang menyebutkan Islam adalah risalah untuk mewujudkan hidup baik, Islam adalah agama rasional, mudah, hanif, peduli, sebagai agama peradaban dan bukan agama prajurit (yang penuh peperangan). Keempat, landasan agama Islam yang meliputi tauhid rahamutiyah (Ketuhanan yang Maha Rahman dan Rahim yang penuh dengan kasih sayang). Kerasulan Rahmat (Rasul diutus untuk mewujudkan hidup lebih baik), dan kitab Suci Rahmat (al-Qur’an juga diturunkan untuk mewujudkan hidup lebih baik). Kelima, menjelaskan tentang fungsi agama Islam. Perbaikan kehidupan manusia dilakukan dengan gerakan dakwah serta gerakan amar ma’ruf nahi munkar. (RK)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image