Rabu 16 Jun 2021 09:54 WIB

Covid Terus Melonjak, Apakah PPKM Mikro Cukup?

PPKM mikro ke-10 dibarengi sejumlah larangan bagi daerah zona merah.

Petugas kebersihan melintas di depan mural tentang pandemi Covid-19 di Kawasan Tebet, Jakarta. Pemerintah memperpanjang pelaksanaan PPKM mikro mulai periode 15-28 Juni 2021.
Foto: Antara/Galih Pradipta
Petugas kebersihan melintas di depan mural tentang pandemi Covid-19 di Kawasan Tebet, Jakarta. Pemerintah memperpanjang pelaksanaan PPKM mikro mulai periode 15-28 Juni 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Sapto Andika Candra, Zahrotul Oktaviani, Mimi Kartika, Antara

Kasus Covid-19 harian di Indonesia terus menunjukkan lonjakan signifikan. Tren penambahan kasus harian dalam sepekan terakhir seolah kembali seperti periode awal tahun 2021. DKI Jakarta misalnya, mengalami penambahan lebih dari 7.000 kasus positif dalam sepekan terakhir.

Baca Juga

Satgas Penanganan Covid-19 mencatat ada 22 provinsi yang mengalami penambahan kasus, sementara hanya 12 provinsi yang justru mengalami pengurangan jumlah kasus selama satu pekan terakhir. Dengan lonjakan kasus signifikan ini, pemerintah masih menggunakan PPKM (pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat) mikro sebagai langkah pengendalian Covid-19.

Apakah PPKM mikro cukup? Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, menyampaikan PPKM level mikro masih menjadi ujung tombak pengendalian pandemi saat ini. Menurutnya, pemerintah ikut mempertimbangkan berbagai hal dalam mengambil kebijakan dalam pengendalian pandemi. Selain aspek kesehatan yang jadi prioritas, Wiku melanjutkan, pemerintah juga mempertimbangkan aspek sosial kemasyarakat.

 

"Keberlangsungan sektor kesehatan tidak bisa terpisahkan dengan sektor sosial kemasyarakat lainnya. Layaknya siklus yang saling berhubungan. Lonjakan kasus di beberapa daerah sudah sepatutnya dijadikan pembelajaran bagi daerah itu dan daerah lain untuk evaluasi pengendalian di level komunitas agar kenaikan kasus dapat dicegah menjadi lebih besar," kata Wiku dalam keterangan pers, Selasa (15/6).

Merespons lonjakan saat ini, imbuh Wiku, PPKM mikro adalah kebijakan yang dibuat untuk mengendalikan kasus covid di hulu atau akar masalah, secara komunitas. Pemerintah pun lebih fokus untuk mengoptimalisasi posko yang terbentuk di masing-masing wilayah desa/keluarahan.

"Fungsi pencegahan, penanganan, dan pendukung harus dijalankan seimbang agar tujuan posko untuk menurunkan jumlah kasus di daerah dapat tercapai termasuk penerapan micro lockdown di RT zona merah," kata Wiku.

Yang jelas, Wiku menambahkan, pemerintah tetap memberlakukan pembatasan masyarakat namun di level yang terkecil yakni RT. "Jika kasus meluas, maka basis pembatasan akan menyesuaikan dengan area yang terdampak," kata Wiku.

Pemerintah kali ini memperpanjang pelaksanaan PPKM mikro mulai periode 15-28 Juni 2021. PPKM mikro ini menjadi yang kesepuluh dilakukan pemerintah.

Para pakar mendukung pemerintah memperketat kebijakan penanganan pandemi Covid-19 untuk mengatasi lonjakan kasus di beberapa daerah, terutama di DKI Jakarta. Upaya pengetatan namun dinilai perlu kembali ke pola yang lebih luas.

"Harus ada kebijakan PSBB. Kembalikan ke model semula dengan upaya cakupan lebih luas, tidak berdasarkan kelurahan tapi wilayah kabupaten atau regional," kata pakar kesehatan masyarakat, dr Hermawan Saputra.

Menurut dia, pemerintah perlu meningkatkan kapasitas tracing, testing, dan treatment (telusur, tes, dan tindakan) tiga kali lipat, karena disinyalir terjadi potensi kenaikan kasus hingga tiga kali lipat dari data yang ada. Hermawan mengatakan banyak rumah sakit kelebihan kapasitas akibat kenaikan kasus Covid-19 beberapa pekan terakhir ini sehingga penyediaan ruang rawat atau fasilitas-fasilitas isolasi perlu ditambah.

"Belum lagi adanya kemungkinan banyak data yang tidak terlapor atau tidak terdeteksi, jadi massive transmission di mana-mana," kata dia.

Ia menilai pemerintah perlu segera menyebar dan memperkuat laboratorium-laboratorium uji kultur, terutama untuk mendeteksi varian-varian baru. Contoh, di beberapa daerah wilayah Jakarta tengah terjadi episentrum baru.

Dia berpendapat penyebab kenaikan kasus Covid-19 belakangan ini karena perpaduan beberapa masalah, salah satunya mudik Lebaran 2021. "Dulu waktu orang mudik, dampaknya pasti ada kenaikan kasus. Kemudian, aspek varian barudimungkinkan adanya mutasi genetik yang mempercepat penularan," ujarnya.

Epidemiolog dari Centre for Environmental and Population Health Griffith University, Australia, Dicky Budiman, meminta pemerintah pusat mengubah strategi. "Yang terjadi di Jakarta adalah representasi dari yang terjadi di Jawa, bahkan ada yang jauh lebih buruk potensinya," kata Dicky.

Padahal, kata dia, hasil evaluasi WHO bahwa DKI Jakarta merupakan wilayah dengan kapasitas testing yang sudah memenuhi standar global. Menurut dia, saat ini merupakan situasi yang serius sehinggajika hanya beberapa daerah yang melakukan pengetatan kebijakan maka tidak akan menyelesaikan masalah.

Menurut dia, varian virus dari India lebih cepat menular dan berdampak lebih parah. Varian Delta juga menyiasati sistem imunitas. Ia mengatakan orang yang sudah divaksin dan penyintas bisa tetap terkena sehingga harus siap dengan skenario terburuk, yaitu PSBB Jawa-Bali dan daerah besar lain.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement