Rabu 16 Jun 2021 04:00 WIB
...

Berpetualang Menuju Konservasi Tuntong Pantai Ujung Aceh

Kami harus mengarungi Sungai Tamiang yang penuh buaya muara.

Anak Tuntong laut (Batagur borneoensis) berada di Hilir Sungai Tamiang usai dilepas liarkan oleh Pegiat lingkungan dari Yayasan Satucita Lestari Indonesia di area Desa Pusung Kapal, Seruway, Aceh Tamiang, Aceh, Rabu (6/11/2019).
Foto:

Oleh : Rusdy Nurdiansyah/Jurnalis Republika

***

Prihatin dengan masa depan tuntong yang angka populasi terus menurun, membuat PT Pertamina EP Field Rantau Aceh terpanggil untuk ikut mencegahnya dari kepunahan. Perusahaan itu bekerja sama dengan YSCLI melakukan pelestarian tuntong dengan membuat fasilitas penangkaran dan pengembangbiakan tuntong, sosialisasi konservasi spesies kepada masyarakat dan juga siswa sekolah, melakukan patroli penyelamatan tuntong beserta telurnya pada musim bertelur, melakukan survei habitat, pengayaan habitat, pemeliharaan telur tuntong, hingga pelepasan tukik ke habitat aslinya.

"Sejak 2013 hingga 2019 kami bersama YSCLI telah melepaskan sebanyak 2.220 anak tuntong atau tukik. Ini sebagai salah satu upaya pelestarian satwa langka tersebut yang merupakan salah satu program Ekowisata Ujung Tamiang," jelas Rantau Field Manager PT Pertamina EP, Totok Parafianto.

Program Ekowisata Ujung Tamiang yang juga didukung Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang serta Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Aceh merupakan program pemberdayaan yang bertujuan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat tanpa merusak kelestarian lingkungan.

"Berawal dari isu pelestarian satwa tuntong, program ini kemudian berkembang kepada pengembangan kapasitas masyarakat dengan membentuk Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kampung Pusung Kapal, Aceh Tamiang," tutur Totok.

Totok menambahkan, kegiatan konservasi satwa langka tuntong sudah dimulai sejak 2011 dan pada 2017 Pertamina EP mulai mengembangkan program tersebut. "Pendirian fasilitas sarana dan prasarana seperti Rumah Informasi Tuntong (RIT) dilakukan sebagai salah satu media bagi masyarakat untuk mengetahui mengenai satwa tuntong," terang Totok.

Menurut Totok, saat survei awal dilakukan kepada anak-anak sekolah di wilayah Aceh Tamiang, lebih dari 80 persen siswa mengatakan tidak tahu tentang spesies tuntong yang langka. Hal tersebut tidak hanya disebabkan oleh kurangnya sosialisasi namun juga karena kebiasaan masyarakat di masa yang lalu dengan budaya ‘betuntong’ untuk mencari telur tuntong menjadi panganan khas.

"Sejak program ini diluncurkan berkat kerja sama yang baik dengan empat pihak, sudah ada peraturan daerah (qanun) yang mengatur tentang porsi pemanfaatan telur tuntong dan substitusi penggunaan telur ayam sebagai bahan bakunya. Program ini juga menjadi ‘endorser’ terkait perlindungan satwa melalui Permen LHK No. P.20/MENLHK/Setjen/kum.1/6/2018," jelas Totok.

Totok mengungkapkan bahwa dampak yang diharapkan tidak hanya dari sisi lingkungan, tetapi juga yang menghadirkan keuntungan bagi masyarakat.

"Program pemberdayaan Ekowisata Ujung Tamiang dibentuk guna menciptakan alternatif lapangan kerja baru yang ramah lingkungan sehingga masyarakat pesisir tidak bergantung lagi pada mata pencaharian mereka yang dapat merusak lingkungan, seperti menebang kayu mangrove untuk dijadikan arang dan mengambil telur satwa langka tuntong untuk diperjualbelikan," ucap Totok.

Totok berharap, penekananan pada konsep ekowisata dapat menjaga keseimbangan ekosistem namun masih mampu memberikan dampak kepada masyarakat melalui peningkatan ekonomi. Masyarakat diarahkan untuk menciptakan atraksi wisata yang dapat menarik pengunjung untuk datang.

"Guna mendukung kegiatan ekowisata, seluruh potensi lokal seperti hasil tangkapan laut yang ada di wilayah Kampung Pusung Kapal diharapkan dapat diolah untuk dijadikan oleh-oleh khas daerah tersebut, seperti blacan dan terasi," harap Totok.

Pelestarian tuntong bukan merupakan pekerjaan rumah yang mudah, pendampingan intensif dilakukan sejak program berjalan hingga kini. "Salah satu potensi permasalahan yang dijumpai adalah banyaknya limbah kayu apung (driftwood) yang berasal dari aliran sungai dan laut di pinggiran pantai sehingga menghambat tuntong untuk bertelur saat musim telur tiba. Permasalahan ini kemudian dilihat sebagai peluang untuk menjadikan sampah kayu apung tersebut menjadi bahan kerajinan atau souvenir khas dari lokasi Kampung Pusung Kapal," pungkas Totok.

photo
Pegiat lingkungan dari Yayasan Satucita Lestari Indonesia melepas liarkan Tuntong laut (Batagur borneoensis) di Hilir Sungai Tamiang, Desa Pusung Kapal, Seruway, Aceh Tamiang, Aceh, Rabu (6/11/2019). - (Antara/Muhammad Adimaja)

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement