Selasa 15 Jun 2021 12:30 WIB

Mempertanyakan Pertimbangan Korting Masa Hukuman Pinangki

Hukuman bagi mantan jaksa Pinangki dikorting jadi empat tahun saja oleh hakim PT DKi.

Mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari pada Senin (15/6) mendapatkan potongan hukuman masa penjara dari 10 tahun menjadi empat tahun. Keputusan tersebut diambil oleh  ketua majelis hakim Muhammad Yusuf dengan hakim anggota Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Renny Halida Ilham Malik  di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari pada Senin (15/6) mendapatkan potongan hukuman masa penjara dari 10 tahun menjadi empat tahun. Keputusan tersebut diambil oleh ketua majelis hakim Muhammad Yusuf dengan hakim anggota Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Renny Halida Ilham Malik di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Zainur Mahsir Ramadhan, Ronggo Astungkoro, Antara

Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memotong hukuman mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari dari sebelumnya 10 tahun menjadi empat tahun penjara dalam kasus penerimaan suap, permufakatan jahat, dan pencucian uang. Korting masa hukuman Pinangki pun dipertanyakan.  

Direktur Eksekutif Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Dio Ashar Wicaksana, menyoroti pertimbangan hakim dalam meringankan hukuman Pinangki. Meskipun, vonis penjara yang kini menjadi empat tahun, kata dia, sesuai dengan tuntutan jaksa sebelumnya.

"Yang jadi masalah, pertimbangan di hakim apakah sudah tepat untuk menjadi alasan peringanan?" tanya dia.

 

Dio menjelaskan, masalah tersebut terjadi karena belum ada pedoman pemidanaan suap di MA. Berbeda dengan pasal 2 dan 3 UU Tipikor yang ada. ‘’Sehingga bisa menjadi panduan bagi hakim dalam menentukan ringan dan beratnya putusan,’’ tambah dia.

Oleh sebab itu, lanjut Dio, berkaca pada kasus Pinangki, MA harus segera merespons dampak itu dengan membuat penelitian terkait konsistensi. Utamanya, menyoal pertimbangan putusan hakim di kasus suap.

"Juga membentuk kebijakan pedoman pemidanaanya," tutur Dio.

Ketika ditanya Pinangki yang melakukan kejahatan saat berstatus sebagai jaksa, Dio tak menampiknya. Kendati demikian, hal itu kata dia, secara aturan belum dijadikan sebagai indikator pemberat hukuman.

"Itu bergantung pada hakim. Kalau indikator pemidanaan itu ada, bisa ditentukan indikator mana yang jadi pemberat (hukuman)’’ ungkap dia.

Juru Bicara Komisi Yudisial (KY), Miko Ginting, menyatakan pihaknya tidak memiliki kewenangan untuk menilai benar atau tidaknya suatu putusan pengadilan. KY, kata dia, hanya berwenang ketika terdapat pelanggaran perilaku dari hakim yang mengeluarkan suatu putusan.

"Dengan basis peraturan perundang-undangan saat ini, KY tidak diberikan kewenangan untuk menilai benar atau tidaknya suatu putusan. Namun, KY berwenang apabila terdapat pelanggaran perilaku dari hakim, termasuk dalam memeriksa dan memutus suatu perkara," ujar Miko lewat keterangan tertulis, Selasa (15/6).

Hal tersebut ia sampaikan terkait dengan permintaan Indonesia Corruption Watch kepada KY untuk menelusuri kejanggalan vonis banding eks jaksa Pinangki Sirna Malasari. Dalam vonis banding, hukuman bagi jaksa Pinangki disunat dari yang semula 10 tahun menjadi hanya empat tahun penjara.

Lebih lanjut Miko menerangkan, undang-undang (UU) yang ada saat ini memberikan kewenangan bagi KY untuk menganalisis putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Analisis itu dilakukan untuk kemudian dijadikan sebagai rekomendasi mutasi hakim.

"Putusan yang dianalisis harus sudah berkekuatan hukum tetap dan tujuannya untuk kepentingan rekomendasi mutasi," jelas Miko.

Menurut dia, keresahan publik terhadap putusan banding Pinangki sejatinya bisa dituangkan dalam bentuk eksaminasi publik oleh perguruan tinggi dan akademisi. Dari sana, kata Miko, nantinya dapat diperoleh analisis yang cukup objektif dan menyasar pada rekomendasi kebijakan.

"Sekali lagi, peraturan perundang-undangan memberikan batasan bagi KY untuk tidak menilai benar atau tidaknya suatu putusan. KY hanya berwenang apabila terdapat dugaan pelanggaran perilaku hakim," kata dia.

Sebelumnya, ICW menilai putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta terharap Jaksa Pinangki Sirna Malasari benar-benar keterlaluan. Pinangki yang semestinya menerima hukuman 10 tahun, dipangkas menjadi empat tahun penjara.

"Patut untuk diingat, saat melakukan kejahatan Pinangki menyandang status Jaksa yang notabene merupakan penegak hukum. Ini harusnya merupakan alasan utama pemberat hukuman," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Senin (14/6).

Selain itu, lanjut Kurnia, Pinangki terbukti melakukan tiga kejahatan sekaligus, yakni korupsi suap, pencucian uang, dan pemufakatan jahat. Dengan kombinasi ini saja publik sudah bisa mengatakan bahwa putusan banding Pinangki telah merusak akal sehat publik.

Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta ini sekaligus memperlihatkan secara jelas bahwa lembaga kekuasaan kehakiman kian tidak berpihak pada upaya pemberantasan korupsi. Hal tersebut sebenarnya sudah tampak jelas dalam tren pemantauan persidangan yang ICW lakukan, rata-rata hukuman koruptor sepanjang tahun 2020 hanya 3 tahun 1 bulan penjara

Dengan kondisi ini, maka semestinya para koruptor layak untuk mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Mahkamah Agung. "ICW juga menagih janji KPK untuk melakukan supervisi atas perkara tersebut," tegasnya.

Sebab, sebelumnya KPK pernah mengeluarkan surat perintah supervisi. Namun, sepertinya kebijakan itu hanya sekadar lip service semata. Alih-alih menjadi agenda prioritas, pimpinan KPK malah sibuk untuk menyingkirkan sejumlah pegawai dengan Tes Wawasan Kebangsaan yang penuh dengan kontroversi itu.

Melihat ini, lanjut Kurnia, jaksa mesti segera mengajukan kasasi untuk membuka kesempatan Pinangki dihukum lebih berat. Selain itu, Ketua Mahkamah Agung harus selektif dan mengawasi proses kasasi tersebut. Sebab, ICW meyakini, jika tidak ada pengawasan, bukan tidak mungkin hukuman Pinangki dikurangi kembali, bahkan bisa dibebaskan.

Dalam perkembangan pengusutan perkara korupsi Pinangki, ICW masih melihat ada beberapa kelompok yang belum diusut oleh Kejaksaan Agung, salah satunya klaster penegak hukum. Sebab, dalam pengamatan kami, mustahil Pinangki bergerak sendiri dan melakukan kejahatan bersama dengan buronan Joko Tjandra.

"Pertanyaan sederhananya yang belum terjawab, bagaimana mungkin Joko S Tjandra dapat percaya begitu saja dengan jaksa yang tidak menduduki jabatan strategis seperti Pinangki? Apakah ada pihak yang menjamin Pinangki agar Joko S Tjandra percaya lalu sepakat untuk bekerjasama?," ucap Kurnia.

"Untuk itu, ICW merekomendasikan agar Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung menelusuri kejanggalan di balik putusan tersebut," tambahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement