Senin 14 Jun 2021 05:01 WIB

Kebutuhan Hidup Dasar Rutin Dijadikan Projek APBN

Rutin dijadikan projek APBN, kebutuhan hidup dasar dijadikan objek pajak.

Pedagang sayur mayur di Pasar tradisional Blega, Bangkalan, Jawa Timur, Selasa (8/6/2021). Kementerian Kesehatan meminta Pemkab Bangkalan untuk memperketat protokol kesehatan terkait lonjakan kasus COVID-19 di daerah itu serta meningkatkan pemeriksaan spesimen, penelurusan dan perawatan.
Foto: Antara/Saiful Bahri
Pedagang sayur mayur di Pasar tradisional Blega, Bangkalan, Jawa Timur, Selasa (8/6/2021). Kementerian Kesehatan meminta Pemkab Bangkalan untuk memperketat protokol kesehatan terkait lonjakan kasus COVID-19 di daerah itu serta meningkatkan pemeriksaan spesimen, penelurusan dan perawatan.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: DR Fuad Bawazier, Mantan Menteri Keuangan.

Saya mendengarkan berbagai kritik atas pemborosan APBN dari Anggota DPR kepada petinggi negara dalam kesempatan Raker maupun Rapat Dengar Pendapat (RDP). Antara lain dari Ibu Andi Yuliani Paris (F-PAN) terhadap Menteri ESDM dan jajarannya.

Ibu Yuliani, misalnya, menyesalkan pemborosan anggaran utk berbagai kajian/studi ini itu dalam ruang lingkup Kementeriannya dengan anggaran yang aduhai besarnya. Berbagai kajian atau studi seperti ini sebenarnya sudah tugas rutin kementeriannya, sudah tugas pokoknya, tidak perlu diproyekan. Apalagi sering berulang ulang yang mirip mirip saja. Jadi kesannya memang mau cari duit “legal” untuk dibagi bagi. Menghabiskan anggaran saja.  

Kejadian seperti ini tidak saja di Kementerian ESDM tapi hampir merata di semua Kementerian termasuk di Kementerian PPN/Bappenas. Dan dengan dalih bahwa untuk merumuskan kebijakan dalam bentuk Keputusan Menteri, Keppres, Peraturan Pemerintah dll itu perlu riset/ seminar/konsultan dan lainnya, sehingga  anggarannya terus membengkak dan sedang jadi trend. 

Padahal semua itu sudah merupakan tugas pokoknya selaku pejabat di bidangnya. Tidak perlu di proyekkan. Tidak perlu ada anggaran khusus. 

Kenapa praktik pemborosan anggaran seperti di atas ini justru muncul di era reformasi?  

Sebagai pejabat di era Orba, saya menyelesaikan 10 RUU Perpajakan baik UU baru maupun revisi. Juga memperkenalkan pajak final yang meski dulu dikritik habis habisan, kini semakin digemari dan penggunaannya meluas. Toh tidak diproyekkan. Tidak meminta anggaran khusus untuk merumuskannya. 

Di tengah keuangan negara yang sedang megap-megap, pendapatan negara yang redup, mengapa sampai hati menyiasati pencurian uang negara dengan dalih untuk kajian ini itu, yang dananya kemungkinan besar dari uang pajak rakyat atau dari utang negara.

Karena itu APBN terus membengkak dan “mau tidak mau” pemerintah berburu pajak untuk menutupi atau mengurangi defisit anggaran. Berburu pajak dengan mata gelap, sampai sampai  akan memajaki kebutuhan hidup dasar seperti sembako, jasa/pelayanan kesehatan dan jasa pendidikan swasta. 

Kebijakan itu bukan saja akan mencekik rakyat tapi juga mematikan perguruan swasta yang akan semakin tidak mampu bersaing dengan perguruan negeri yang dibiayai negara dan bebas pajak. 

Padahal dulu, sekitar pertengahan 1990an, sebagai Dirjen Pajak saya merumuskan semua perguruan swasta tidak akan dikenakan pajak atas surplus atau keuntungannya, sepanjang digunakan atau di investasikan kembali untuk pendidikan. 

Bila betul issue-issue diatas akan menjadi kebijakan baru pemerintah seperti sebagiannya tertuang dalam RUU KUP,  saya kira ini panic policy. Yang bukan saja tidak adil tapi juga menyengsarakan kita semua. 

Protes publik tidak akan jauh jauh dari kalimat bahwa kami rakyat kecil yang tidak berdaya ditambah pajaknya, sementara para pemodal dan kaum kaya diringankan. 

Pejabat berwenang berkali kali menekankan bahwa pajak pajak baru itu tidak akan dikenakan dalam waktu dekat ini. Pasti saja tidak mungkin dalam waktu dekat ini sebab UU-nya juga belum ada. Belum lagi persiapan administrasinya. Juga belum di anggarkan dalam APBN. 

Tapi issue atau masalahnya  bukan pada kapan waktu penerapan atau pemungutannya  tapi pada kelayakan dan dampak dari pemungutan pajak pajak baru tersebut. Seakan akan, bagi pemerintah, pajak pajak baru itu tidak ada yang salah asalkan tidak di terapkan dalam masa pandemi covid-19 atau waktu dekat ini. Sedangkan bagi rakyat yang akan terdampak, setelah pandemi berakhirpun pajak pajak atas pendidikan, kesehatan dan kebutuhan hidup dasar itu tidak layak di kenakan. Orang sakit baik dengan biaya sendiri maupun BPJS, tidak layak di kenai PPN. 

Sejak zaman penjajahan, rasanya kita belum pernah menerapkan pajak atas jasa pendidikan, jasa kesehatan dan kebutuhan dasar hidup. 

Argumentasi demi keadilan utk memajaki beras premium sedangkan yang non premium tetap bebas PPN, hanya akan memunculkan penyelundupan administrasi dan kongkalikong.

Lalu bagaimana mengatasi defisit APBN bila tidak bikin pajak baru?

Presiden Joko Widodo harus berani mengakhiri praktik korupsi “legal”  maupun tidak. Akhiri dulu pemborosan dan kebocoran APBN. Pembengkakan anggaran negara untuk di korupsi itu sesungguhnya tidak bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi. Tidak ada negara yang bisa maju, sukses, maupun makmur bila korupsinya marak seperti di Indonesia.

Sejujurnya saya kasihan pada Kemenkeu khususnya Ditjen Pajak yang dibebani dengan tugas tambahan pemungutan pajak yang harus berhadapan dengan kemarahan publik sementara yang lain “keenakan” membelanjakannya. Mereka harus berani memberikan masukan yang fair kepada Presiden. 

Sebagai penutup, masihkah kita bisa berharap bahwa anggaran yang boros dan  bocor serta gagasan gagasan pajak yang nekad itu akan diakhiri oleh Presiden dan DPR? 

Wallahualam bisawab. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement