Sabtu 12 Jun 2021 22:22 WIB

Pakar:  Wacana Pajak Bahan Pokok Ganggu Kestabilan Ekonomi

Wacana pajak bahan pokok seakan-akan pemerintah tidak rasakan kesulitan rakyat

Rep: Febrian Fachri/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Pedagang sembako dan sayuran melayani pembeli di Pasar Subuh, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Jumat (11/6/2021). Pemerintah terus berupaya untuk mengoptimalkan penerimaan negara melalui sektor perpajakan, dengan berencana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk 13 kategori bahan pokok.
Foto: ANTARA/ADENG BUSTOMI
Pedagang sembako dan sayuran melayani pembeli di Pasar Subuh, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Jumat (11/6/2021). Pemerintah terus berupaya untuk mengoptimalkan penerimaan negara melalui sektor perpajakan, dengan berencana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk 13 kategori bahan pokok.

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Pakar Ekonomi Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengatakan wacana pemerintah ingin mengenakan pajak terhadap kebutuhan pokok bukan suatu hal yang positif terhadap stabilitas perekonomian Indonesia. Menurut dia, hal itu justru memperparah keadaan ekonomi yang sudah terpuruk karena situasi pandemi covid-19 berkepanjangan.

"Saya percaya wacana itu tidak positif terhadap stabilitas ekonomi Indonesia yang makin parah dilanda krisis pandemi. Mampu saja rakyat kita menghasilkan kebutuhan pokok dan mampu beli untuk kebutuhan pokok keluarganya, kita mestinya bersyukur," kata Syafruddin, Sabtu (12/6).

Harusnya menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi Unand itu, pemerintah memberi subsidi karena rakyat masih kesulitan akibat krisis pandemi. Syafruddin menilai dengan memunculkan wacana mengenakan pajak terhadap kebutuhan pokok ini mengesankan pemerintah tidak merasakan kesulitan rakyat yang sedang dalam kesulitan kesehatan dan ekonomi.

Syafruddin menyebut pemerintah yang sudah melakukan beberapa upaya untuk merangsang perekonomian rakyat dengan mengucurkan berbagai bentuk bantuan sudah merupakan langkah yang benar. Tapi persoalan lain dari upaya tersebut dimunculkan karena adanya oknum yang justru mengeruk keuntungan sendiri dengan perbuatan korupsi. Seperti korupsi dana bansos.

"Bantuan sosial yang besar sejak awal pandemi mestinya telah berdampak positif buat perekonomian kita. Ternyata bantuan sosial yang besar itu tidak sampai ke rakyat, tapi kandas di tangan koruptor. Rakyat kita tidak hanya butuh bantuan sosial, tetapi bantuan ekonomi agar ekonomi mereka bergerak," ucap Syafruddin.

Syafruddin menyarankan pemerintah supaya memfokuskan bantuan sosial dan bantuan ekonomi kepada masyarakat lapisan 40 persen paling bawah. Karena masyarakat 40 persen paling bawah merupakan penggerak utama perekonomian domestik. Bila  kelompok ini bergerak ekonominya, pertumbuhan akan didorong positif, kesempatan kerja akan bertambah, dan kemiskinan akan turun.

"Kelompok ini mesti menjadi target langsung pemulihan ekonomi," kata Syafruddin menambahkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement