Sabtu 12 Jun 2021 15:31 WIB

Ganjar Lebih Populer, Tapi Puan Tetap Lebih Berpeluang

PDIP bisa mengusung capres sendiri di Pilpres 2024.

Presiden Indonesia ke-5 Prof. Dr. (H.C) Megawati Soekarnoputri (tengah) berswafoto  bersama Ketua DPR Puan Maharani (kanan) dan Menteri Pertahanan Prabowo Soebianto (kiri)  seusai prosesi  Pengukuhan Guru Besar,  di Aula Merah Putih, Universitas Pertahanan, Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat (11/6/2021).
Foto: ANTARA/YULIUS SATRIA WIJAYA
Presiden Indonesia ke-5 Prof. Dr. (H.C) Megawati Soekarnoputri (tengah) berswafoto bersama Ketua DPR Puan Maharani (kanan) dan Menteri Pertahanan Prabowo Soebianto (kiri) seusai prosesi Pengukuhan Guru Besar, di Aula Merah Putih, Universitas Pertahanan, Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat (11/6/2021).

Oleh : Teguh Firmansyah, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, DPR, pemerintah, dan penyelenggaran pemilu telah menyepakati pelaksanaan pemilihan presiden dan legislatif pada 28 Februari 2024. Artinya, kurang lebih ada waktu sekitar dua tahun delapan bulan sebelum pemilihan digelar.

Teka-teki siapa pengganti Presiden Joko Widodo masih tanda tanya. Partai dan sejumlah calon kandidat mulai melakukan manuver-manuver. Sebut saja Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang belum lama ini bertemu dengan Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto.

Kemudian, pertemuan antara Ketum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Ridwan Kamil pun disangkutpautkan dengan Pilpres 2024. Sebelum itu, juga ada manuver yang dilakukan di tubuh internal PDIP ketika Gubernur Jateng Ganjar Pranowo 'disudutkan' di tubuh internalnya sendiri.

Ganjar tak diundang dalam acara partai yang dihadiri Ketua DPP PDIP Puan Maharani di Semarang. Spekulasi lain yakni ketika Prabowo berdiri di belakang Megawati saat peresmian patung Bung Karno di gedung Kementerian Pertahanan. Apakah ini pertanda Mega akan mendukung Prabowo?

Sejumlah lembaga survei pun telah mengeluarkan proyeksinya. Nama Prabowo, Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, ataupun AHY masuk dalam radar calon kuat yang bisa digadang-gadang menjadi capres. Popularitas mereka dinilai mengalahkan calon kandidat lain.

Namun sayangnya, ketenaran dalam berbagai survei belum tentu bisa menang atau maju sebagai calon. Sebut saja Anies Baswedan dan Ridwan Kamil. Keduanya memiliki popularitas cukup bagus, tetapi karena bukan kader partai politik, bukan tidak mungkin mereka tak bisa maju sebagai calon. Seperti halnya Gatot Nurmantyo yang dulu sempat digadang-gadang menjadi kandidat capres.

Karena berdasarkan beleid Pemilu, UU No 7 Tahun 2017 dijelaskan secara gamblang bahwa untuk dapat mencalonkan calon presiden, harus dicalonkan dari partai politik. Itu pun tidak semua partai politik bisa mencalonkan. Hanya parpol atau gabungan parpol yang mendapatkan dukungan 20 persen kursi DPR RI atau setidaknya 115 kursi (20 persen dari kursi DPR) bisa mengajukan kandidat.

Artinya, secara politik saat ini hanya PDIP, satu-satunya partai yang bisa mengajukan calon sendiri tanpa harus berkoalisi. Pada Pileg 2019, PDIP meraih 128 kursi dari total 575 kursi anggota DPR.

Nama Puan Maharani disebut-sebut sebagai kandidat yang bakal maju sebagai capres/cawapres. Meski kalah tenar dengan Ganjar Pranowo, Puan memiliki keunggulan karena posisinya sebagai keturunan langsung Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri dan memiliki trah Bung Karno. Ganjar bisa sangat mudah didepak jika dirasa tidak sesuai dengan keinginan dari Mega.

Spekulasi lain yang beredar adalah Megawati diusulkan ikut dalam persaingan capres. Kemungkinan itu ada, tetapi bukanlah hal mudah. Mengapa begitu? Karena, bagaimanapun Megawati punya pengalaman tak bagus maju sebagai capres.

Ia pernah maju dengan Prabowo, tapi kalah. Begitu pun saat maju dengan Hasyim Muzadi, juga tak berhasil. Di sisi lain, Megawati juga harus memikirkan generasi dalam kepemimpinan PDIP selanjutnya. Tapi, mungkin saja dia maju lagi kalau memang masih berambisi.

Kurang tenar

Jika melihat koalisi pemerintahan sekarang, boleh dibilang kekuatan pemerintah di dewan cukup solid. Posisi PKS yang hanya mendapatkan 50 kursi dan Demokrat 54 kursi, tak bisa berbuat banyak dalam 'mengadang' kebijakan-kebijakan pemerintah yang dirasa kontroversial.

Bahkan, bila koalisi pemerintahan sekarang kembali melanjutkan aliansinya, bukan tidak mungkin kandidat itu akan melawan kotak kosong. Kondisi itu tentu akan lebih mudah untuk memenangi pemilihan umum.

Namun, apakah mereka masih akan berkoalisi kembali? Sepertinya sulit, meski peluang itu ada.

Pada 2024, era Presiden Joko Widodo telah habis. Artinya, tidak ada lagi kandidat yang memiliki keuntungan sebagai pejawat. Wakil Presiden Ma'ruf Amin pun dirasa kurang cukup kuat sebagai pejawat mengingat perannya saat ini yang sangat terbatas.

Partai seperti Golkar, Gerindra, Nasdem, dan PKB yang berada di posisi lima besar pada Pemilu 2019, bukan tidak mungkin akan berupaya memajukan kandidatnya masing-masing.

Namun uniknya, dari partai-partai yang ada saat ini, hanya Prabowo, sebagai ketum yang memiliki tingkat popularitas cukup baik. Sementara, Ketum Golkar Airlangga Hartarto, Ketum PKB Muhaimin Iskandar, atau Ketum Nasdem Surya Paloh tidak ada yang melejit. Ketum Demokrat Agus Harimurthi Yudhoyono pun belum terlalu bagus.

Kendati popularitas masih kalah, tapi dari sisi bargaining politik mereka punya kekuatan cukup besar. Sistem politik kita hanya memungkinkan partai politik sebagai satu-satunya jalur jika ingin maju sebagai capres.

Jadi, sekali lagi, kalaupun Anies dan Emil mau maju, ia harus melakukan deal-deal politik dengan ketum dan pengurus partai, dan jika dirasa kurang pas, Anies/Emil bisa dijegal.

Bicara soal Anies, jalan gubernur DKI itu untuk maju dalam persaingan capres RI masih terjal. Mengapa demikian? Karena pada tahun depan, masa jabatan sebagai orang nomor satu di ibu kota akan habis dan pilkada baru akan dilakukan serentak pada 2024.

Tanpa kendaraan politik, posisi Anies akan sangat lemah. Apalagi, jika ia disangkutpautkan dengan kasus hukum yang bisa menurunkan popularitasnya. Anies bisa menjadi sasaran empuk lewat beragam celah yang mungkin bisa menghantam eks mendikbud itu.

Lantas, siapa kandidat paling mungkin untuk maju?

Calon yang mungkin paling berpeluang untuk bisa maju, pertama, adalah Puan Maharani. Meski popularitasnya kurang bagus, dia adalah anak 'pemilik rumah'. Dengan begitu, bila restu ibu mengiringi, ia akan melenggang maju. PDIP tidak butuh berkoalisi untuk bisa mencalonkan pasangan capres/cawapres. Adapun Ganjar Pranowo atau Tri Rismaharini, masih akan menunggu setelah melihat peluang Puan.

Kandidat selanjutnya adalah Prabowo Subianto. Dari sisi popularitas, Prabowo signifikan. Kemudian, dari sisi Partai, boleh dibilang ia adalah 'pemilik rumah', bukan yang 'ngontrak' atau 'numpang tinggal'.

Hanya saja, ia masih harus mencari koalisi dengan menggandeng partai lain. Ketum politik lain yang juga digadang maju adalah Airlangga Hartarto dan Muhaimin Iskandar. Tapi, secara popularitas masih kalah dengan Prabowo.

Di sisi lain, peta politik saat ini masih sangat cair. Bisa saja akan ada tiga pasangan yang maju. Dari kubu Hambalang bersatu dengan Teuku Umar, atau poros Cikeas dengan menggandeng PAN, PKB, PPP, dan PKS. Bisa juga dari poros koalisi Golkar dan Nasdem. Poros ini bisa menggandeng PKS, PKB, atau partai lainnya.

Tak menutup peluang, calon hanya dua seperti Pemilu pada 2019. Jika ini terjadi, segregasi politiknya akan sangat kencang. Dan, kondisi itu akan melanjutkan apa yang sudah ada sekarang.

Kemungkinan lain yang mungkin terjadi, adalah satu calon. Jika ini terjadi, kekuatan oligarki benar-benar nyata. Partai dengan kursi besar bersekutu meniadakan peluang calon lainnya. Rakyat tidak disuguhkan dengan pilihan-pilihan. Jika demikian terjadi, 'sandal jepit' pun bisa jadi presiden.   

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement