Jumat 11 Jun 2021 16:11 WIB

Prolegnas Harus Sesuai Kebutuhan Hukum Masyarakat

Penyusunannya harus melibatkan koordinasi dengan DPD dan pemerintah.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
Sejumlah anggota DPR mengikuti Rapat Paripurna DPR di kompleks Parlemen.
Foto: Prayogi/Republika.
Sejumlah anggota DPR mengikuti Rapat Paripurna DPR di kompleks Parlemen.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Program legislasi nasional (prolegnas) merupakan instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang (UU) yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. Prolegnas digunakan menghitung berapa jumlah RUU yang direncanakan dan jumlah UU yang berhasil direalisasikan.

Dalam menyusun prolegnas, DPR seharusnya berperan sebagai perantara atas kelompok konstituen tertentu sekaligus sebagai wali amanat representasi kehendak masyarakat umum. Lalu, penyusunannya harus melibatkan koordinasi dengan DPD dan pemerintah.

Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) Yogyakarta, Allan Fatchan Gani Wardhana mengingatkan, prolegnas itu sejak awal perencanaan sampai penetapan harus tetap merujuk kepada Pancasila dan UUD 1945 . Yang mana, merupakan landasan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Agenda konstitusi yang diterjemahkan melalui pembentukan dan penetapan prolegnas harus meliputi penyempurnaan sistem ketatanegaraan dalam semua cabang kekuasaan. Kemudian, harus menata kembali prinsip check and balances antar cabang kekuasaan.

"Serta memperkuat jaminan dan perlindungan hak asasi manusia," kata Allan, dalam webinar yang diselenggarakan PSHK FH UII.

Ia menekankan, prolegnas yang diprioritaskan seharusnya sesuai kebutuhan hukum masyarakat dan ketatanegaraan. Legislatif perlu memperhatikan masalah kelengkapan dokumen lantaran ada beberapa RUU yang tidak lengkap atau tidak sesuai pedoman.

"Pengesahan prolegnas yang terlambat, kurangnya partisipasi formal maupun substansi dan masalah perwakilan baik formal maupun ide yang dapat dioptimalkan," ujar Allan.

Dosen FH UPN Veteran Jakarta, Wicipto Setiadi menuturkan, pada 2020 terdapat 37 RUU prioritas prolegnas. Namun, hanya 13 UU yang disahkan dan beberapa berasal dari Daftar Kumulatif Terbuka (DKT) seperti lima UU Pengesahan Perjanjian Internasional. "Kemudian, UU APBN ada dua UU dan penetapan Perppu ada dua UU," katanya.

Usulan RUU dilakukan tertulis dari menteri pemrakarsa kepada Menteri Hukum dan HAM. Melampirkan salinan naskah akademik, RUU, surat keterangan selesai penyelarasan NA, panitia antar kementerian/non kementerian dan surat keterangan selesai harmonisasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement